TheJakartaPost

Please Update your browser

Your browser is out of date, and may not be compatible with our website. A list of the most popular web browsers can be found below.
Just click on the icons to get to the download page.

Jakarta Post

Pilihan sulit bagi rupiah

Depresiasi nilai tukar rupiah lebih lanjut pada akhirnya akan berisiko tinggi terhadap tingkat inflasi dan pertumbuhan ekonomi Indonesia, mengingat dampak dari inflasi impor.

Editorial board (The Jakarta Post)
Jakarta
Fri, April 19, 2024

Share This Article

Change Size

Pilihan sulit bagi rupiah A woman displays new rupiah bills at a money exchange counter in Lembupeteng sports hall, Tulungagung, East Java, on March 28, 2024. (Antara/Destyan Sujarwoko)
Read in English

Adanya perubahan dalam nilai tukar rupiah dengan dolar Amerika Serikat bagai buah simalakama bagi Bank Indonesia (BI).

Dalam beberapa hari terakhir, mata uang kita telah mencapai titik terendah yang terjadi selama beberapa tahun, hingga mencapai antara Rp16.200 dan Rp16.300 per dolar. Hal itu terjadi setelah Bank Sentral AS mengisyaratkan akan mempertahankan suku bunga tinggi untuk jangka waktu lama, di tengah meningkatkan ketegangan geopolitik. Tensi politik naik di beberapa bagian dunia, khususnya di Timur Tengah. Saat ini, Iran terlibat dalam konflik yang terjadi antara Israel dan Hamas.

Saat ini, kondisi rupiah hampir sama buruknya dengan situasai pada awal 2020. Saat itu, di tengah pandemi COVID-19, nilai tukar rupiah mencapai angka Rp16.640 terhadap dolar AS. Para analis sempat memperkirakan rupiah akan mencapai titik terendah dalam sejarah yaitu Rp16.950 per dolar. Angka serendah itu pernah terjadi saat krisis keuangan Asia 1998.

Padahal, seharusnya kita melihat titik terang di tahun ini. Sempat ada harapan bahwa BI akan menurunkan suku bunga pada semester kedua, berdasarkan prediksi bahwa The Fed akan memberi kita ruang untuk melakukan hal tersebut.

Sebenarnya, data makroekonomi mungkin membenarkan dilakukan penurunan suku bunga. Inflasi tetap rendah dan berada dalam kisaran target bank sentral, yaitu sebesar 2,5 dengan plus minus 1 persen. Inflasi bertahan selama beberapa bulan terakhir. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi berada dalam kisaran yang diinginkan, yaitu sekitar 5 persen.

Dari sudut pandang domestik, BI mungkin punya keleluasaan untuk mulai menurunkan suku bunga di tahun ini. Namun bank sentral tidak menginginkannya. Kita tidak ingin terjadi hal buruk.

Viewpoint

Every Thursday

Whether you're looking to broaden your horizons or stay informed on the latest developments, "Viewpoint" is the perfect source for anyone seeking to engage with the issues that matter most.

By registering, you agree with The Jakarta Post's

Thank You

for signing up our newsletter!

Please check your email for your newsletter subscription.

View More Newsletter

Perekonomian AS saat ini telah terbukti sangat kuat, hingga The Fed enggan menurunkan suku bunga. Hal itu ditunjukkan dengan tingginya inflasi di negara tersebut. Dolar kini sedang jadi topik hangat. Penurunan suku bunga hanya akan membuat nilai tukar rupiah makin terpuruk. Kita tentu tak ingin mengalami hal itu.

Depresiasi nilai tukar rupiah lebih lanjut pada akhirnya akan menempatkan tingkat inflasi dan pertumbuhan ekonomi kita pada risiko yang besar, mengingat dampak dari inflasi impor. Hal ini termasuk stabilitas fiskal kita, karena perannya dalam menyerap guncangan ekonomi melalui subsidi.

Kita mungkin perlu mempertimbangkan kondisi yang ada. Bahwa banyak perusahaan bergantung pada utang luar negeri untuk mempertahankan bisnis mereka. Dengan begitu, keadaan akan menjadi lebih sulit lagi jika depresiasi mata uang menjadikan pembayaran pinjaman menjadi lebih mahal.

Cadangan devisa kita terus menurun, hingga angka $140 miliar pada Maret. Artinya ada penurunan, dari $146 miliar pada Desember 2023.

Idealnya, kita bisa menjaga nilai tukar rupiah tetap stabil tanpa harus bergantung pada suku bunga acuan. BI sudah sering mengingatkan, suku bunga acuan bukan satu-satunya solusi.

Namun, kita mungkin perlu menerima bahwa suku bunga acuan bisa menjadi satu-satunya hal yang dapat menjaga semuanya tetap utuh. Terutama saat ini, mengingat ekspor kita yang terpuruk di tengah melemahnya permintaan global. Jatuhnya harga komoditas dan sistem keuangan kita yang tidak menarik telah gagal meyakinkan mereka yang punya uang, sebagian bahkan memiliki miliaran dolar, untuk menyimpan harta mereka di Indonesia.

Memang benar bahwa Indonesia telah menerapkan cara-cara untuk mempertahankan penerimaan ekspor dalam negeri. Secara teori, cara-cara tersebut akan membantu negara meningkatkan cadangan devisanya, terutama dolar. Namun, kebijakan ini masih harus terus disempurnakan, karena dunia usaha dan pembuat kebijakan belum saling sepakat.

Biasanya, bank sentral di beberapa negara akan mengikuti arahan The Fed. Namun, kali ini, beberapa bank sentral mungkin mengambil langkah berbeda.

Bank Sentral Eropa (European Central Bank atau ECB) telah mengisyaratkan akan segera melakukan pemotongan suku bunga pertama. Beberapa bank sentral lain juga mengikuti langkah tersebut, meskipun ada indikasi dari The Fed bahwa penurunan suku bunganya kemungkinan akan dilakukan lebih lambat dari perkiraan. Para investor meyakini, The Fed baru akan melakukannya pada Maret tahun depan.

Jika BI memutuskan untuk menunggu lebih lama sebelum menurunkan suku bunga, mari kita coba yakini bahwa langkah inilah yang terbaik.

Meskipun beberapa analis menyarankan agar BI mempertimbangkan untuk melakukan kenaikan suku bunga lagi, kita harus berharap bahwa saat ini BI memiliki apa yang diperlukan untuk menjaga stabilitas rupiah. BI juga harus mengelola sentimen pasar terhadap mata uang kita dengan segala upaya yang bisa dilakukannya.

Your Opinion Matters

Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.

Enter at least 30 characters
0 / 30

Thank You

Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.