TheJakartaPost

Please Update your browser

Your browser is out of date, and may not be compatible with our website. A list of the most popular web browsers can be found below.
Just click on the icons to get to the download page.

Jakarta Post

Tetap percayai demokrasi

Bagaimana jika demokrasi di Indonesia melelahkan, berantakan, dan makan banyak biaya? Artinya kita harus melipatgandakan upaya kita untuk memperbaiki dan memperkuatnya, agar semakin mendekati aspirasi kita sebagai bangsa dan rakyat. Kita perlu pemimpin yang gigih dan teguh, yang akan memandu jalan kita.

Editorial Board (The Jakarta Post)
Jakarta
Tue, March 19, 2024

Share This Article

Change Size

Tetap percayai demokrasi President Joko “Jokowi” Widodo (left) and Defense Minister Prabowo Subianto and speak on March 8, 2024, before boarding the presidential aircraft at Halim Perdanakusumah Air Force Base in East Jakarta to depart for Jokowi’s official visit to East Java. (The Jakarta Post/Antara)
Read in English
Indonesia Decides

Pernyataan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto memunculkan polemik di kalangan masyarakat, khususnya masyarakat sipil. Ia menggambarkan demokrasi sebagai hal yang “sangat, sangat” melelahkan, berantakan, dan mahal.

Pernyataan ini semakin terlihat mengkhawatirkan karena datang dari sosok yang diprediksi akan menjadi pemenang pemilu presiden 14 Februari lalu. Ia juga orang yang baru-baru ini dianugerahi pangkat jenderal kehormatan dari Presiden Joko “Jokowi” Widodo. Fakta soal keterkaitannya dengan pelanggaran HAM berat selama bertahun-tahun di TNI, yang ia sangkal dan tidak pernah terbukti di pengadilan, melipatgandakan kecemasan.

Pada dasarnya, pernyataan Prabowo telah menimbulkan kekhawatiran akan kembalinya tata negara pada pemerintahan otoriter, dengan dukungan penuh militer. Dalam waktu dekat, bisa-bisa kita kembali ke zaman kegelapan yang menandai kediktatoran di bawah Soeharto, yang dulu adalah ayah mertua Prabowo.

Masyarakat sipil punya alasan untuk khawatir terhadap masa depan demokrasi dan kebebasan di Indonesia, jika dan saat Prabowo mengambil alih jabatan presiden pada Oktober mendatang.

Mari berharap kita salah membaca niat Prabowo ketika mengatakan hal itu pada 6 Maret di sebuah forum investasi di Jakarta. Dan kita semua tentu berharap bahwa pernyataannya tidak akan mengarah pada perubahan kebijakan, saat ia memimpin kelak, yang akan menekan kebebasan dan demokrasi di tengah masyarakat. Bagaimana pun, mereka yang berjuang mengakhiri ezim Soeharto dan Orde Baru pada 1998.

Prabowo berupaya membuat pernyataannya sejalan dengan konteks, mengacu pada proses yang ia lalui dengan empat kali maju sebagai calon pemimpin tertinggi. Pada 2009, ia maju sebagai calon wakil presiden Megawati Soekarnoputi. Lalu pada 2014 dan 2019 sebagai calon presiden. Ia kalah di ketiga pemilu tersebut. Kali ini, di pemilu keempat, menurut penghitungan suara tak resmi, ia akhirnya berhasil menang.

Perjalanan pribadi Prabowo menuju kursi kepresidenan memang melelahkan dan mahal, serta mungkin berantakan. Namun kegigihan dan sikap pantang menyerah untuk terus maju hingga hari ini, bagaimana pun, menunjukkan kepada kita bahwa ia adalah sosok yang percaya pada proses politik demokratis.

Mari berharap bahwa dia akan tetap percaya pada demokrasi, meski secara terang-terangan ia telah mengeluhkannya.

Demokrasi tidak pernah sempurna, dan seperti yang dikatakan Prabowo, “masih banyak ruang untuk perbaikan”. Jadi, perbaikan itulah yang harus dijalankan di masa depan. Kita perlu memperbaiki hal-hal yang rusak dalam demokrasi di Indonesia.

Pekerjaan kita pasti akan terhenti setelah pemilu tahun ini, dan kemungkinan besar kita akan bergantung pada Prabowo dalam memimpin upaya kita.

Terkait integritas pemilu, “festival demokrasi” tahun ini adalah yang terburuk di antara enam pemilu pasca-Orde Baru. Hal itu terjadi karena intervensi terang-terangan yang dilakukan Presiden Joko “Jokowi” Widodo dalam proses demokrasi. Sejak 2014, demokrasi Indonesia telah kembali ke sistem otoritarianisme. Ruang sipil menyusut. Kebebasan pribadi dibatasi. Dan saat ini, kita baru saja melaksanakan pemilihan umum yang buruk.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Mahkamah Konstitusi dihujat atas tuduhan pelanggaran etika yang mereka lakukan. Mereka melanggar aturan dengan mengizinkan putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, untuk maju dalam pencalonan, meskipun usianya kurang dari batas minimum dalam persyaratan.

Sebagai presiden yang menjabat, Jokowi bertanggung jawab untuk memastikan integritas pemilu. Namun, ia malah memilih menyabotase banyak proses pemilu demi ambisi politiknya sendiri.

Kita tidak bisa menyalahkan Prabowo terkait hal ini. Meskipun memang ia menjadi pihak yang menuai keuntungan dari manuver Jokowi, melalui pasangannya, Gibran. Namun jika KPU secara resmi mendeklarasikan Prabowo sebagai presiden terpilih minggu depan dan ia dilantik pada Oktober, kita dapat menuntut agar ia mengambil tindakan perbaikan yang diperlukan untuk memulihkan kepercayaan kita terhadap demokrasi di Indonesia.

Bagaimana pun, saat ini, kita sebaiknya tidak berasumsi buruk terhadap Prabowo. “Demokrasi adalah bentuk pemerintahan terburuk, kecuali [jika dibandingkan dengan] semua bentuk [pemerintahan] lain yang telah dicoba dari waktu ke waktu,” tulis Winston Churchill.

Bisa jadi, kontribusi Prabowo terhadap filsafat politik adalah fakta bahwa demokrasi sangat melelahkan, berantakan, dan mahal. Tapi itu bukan alasan untuk berhenti percaya pada demokrasi. Justru, hal ini menjadi alasan bagi kita untuk bekerja lebih keras demi meningkatkan dan memperkuat demokrasi kita.

Your Opinion Matters

Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.

Enter at least 30 characters
0 / 30

Thank You

Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.