Konsumerisme yang berkesadaran memang hal bijak, yang bisa membenarkan aksi boikot. Namun, risiko boikot adalah salah target perusahaan, atau salah target produk.
Boikot beberapa merek global yang terkait dengan Israel telah memengaruhi penjualan mereka di Indonesia. Namun bukan berarti aksi boikot tersebut "berhasil".
Para pewaralaba yang mengoperasikan Starbucks, Pizza Hut, dan KFC di Indonesia, serta raksasa barang kebutuhan sehari-hari, Unilever, telah merasakan dampak boikot. Reaksi keras konsumen dalam menanggapi krisi Timur Tengah berpengaruh pada laba bersih yang mereka terima.
McDonald's dan Danone juga dilaporkan telah merasakan efek kemarahan para pelanggan mereka di sini.
Beberapa orang mungkin mengatakan, turunnya laba perusahaan-perusahaan tersebut sebagai bukti bahwa gerakan boikot telah sukses di Indonesia, terutama sejak krisis Timur Tengah meningkat secara signifikan pada Oktober tahun lalu. Di seluruh dunia, terdapat BDS movement. Akronim dari boycott, divestment, and sanctions, gerakan tersebut diinisiasi untuk mengakhiri dukungan internasional pada tekanan Israel pada Palestina. Konsumen Indonesia mengikuti gerakan ini juga.
Namun, beberapa pihak menunjuk fakta bahwa pendudukan Israel atas wilayah Palestina terus berlanjut. Gerakan militernya juga tetap berlangsung di Gaza, sama halnya dengan serangan ke Tepi Barat dan Lebanon. Semua kejadian terkini tersebut membuktikan bahwa gerakan boikot belum berhasil.
Jika maksud boikot adalah untuk menghukum perusahaan karena hubungan mereka dengan Israel, maka boikot tersebut berhasil. Tetapi jika niat awalnya adalah untuk melakukan perubahan di kehidupan nyata, maka boikot tersebut gagal.
Dan boikot yang berkelanjutan tidak akan banyak membantu meraih tujuan akhir berupa perubahan di kehidupan nyata tersebut. Bagaimana pun, perusahaan yang dirugikan adalah entitas di Indonesia. Memang, kerugian itu akan terasa sampai di kantor pusat global merek tersebut di Amerika Serikat atau Inggris. Namun, dampaknya akan sangat kecil sekali dirasakan oleh Tel Aviv.
“Kami adalah perusahaan Indonesia. Kami tidak memiliki hubungan dengan Israel atau AS,” protes PT MAP Boga Adiperkasa. Perusahaan tersebut ada di belakang hadirnya Starbucks di Indonesia. Ditambahkan bahwa, “Boikot tidak boleh terjadi pada kami, karena hal itu berdampak signifikan pada [bisnis] kami.”
Jadi, apakah boikot tersebut lebih banyak menimbulkan kerugian atau memberi manfaat, dengan memangkas pendapatan perusahaan, yang kemudian mendorong penutupan toko serta pemutusan hubungan kerja di Indonesia?
Ada hal-hal yang tak mungkin terjadi. Hanya karena beberapa orang menghindari Starbucks, tidak berarti mereka tiba-tiba minum kopi lebih sedikit dari biasanya. Sebaliknya, mereka hanya memindahkan pembelian ke tempat lain. Karena beberapa perusahaan multinasional dijauhi, merek lokal mungkin akan jadi pemenang.
Apa pun itu, dan terlepas dari apakah boikot Starbucks dan perusahaan lain merupakan langkah yang adil atau tidak, kasus boikot menunjukkan kesempatan mengumpulkan sekelompok massa konsumen yang kritis di Indonesia. Mereka dapat mendukung suatu tujuan, dan implikasinya jauh melampaui gerakan BDS ini.
Aksi boikot konsumen telah terjadi selama lebih dari satu abad. Contoh yang paling terkenal dalam sejarah adalah kampanye anti produk Afrika Selatan, untuk memprotes kebijakan apartheid yang diskriminatif. Tetapi, sebelumnya, boikot lebih dikaitkan dengan negara-negara maju.
Entitas-entitas di Indonesia pernah menjadi penanggung dampak paling ujung, ketika terjadi aksi aktivis konsumen di luar negeri yang menyoroti masalah deforestasi. Saat itu, boneka Barbie produksi Mattel diboikot karena kertas yang digunakan bersumber dari Indonesia.
Sekarang, masyarakat Indonesia termasuk di antara konsumen yang paling aktivis.
Survei YouGov yang dipublikasikan awal tahun ini menemukan bahwa di antara pasar yang disurvei, Indonesia memiliki proporsi "konsumen yang berpotensi menjadi aktivis" tertinggi kedua setelah UEA, yakni 86 persen. Tercatat angka proporsi 88 persen untuk UEA. Negara ini berada tepat di atas Hong Kong dan Australia, yakni 85 persen. Sedangkan proporsi Kanada adalah 84 persen,Denmark adalah 83 persen, dan Inggris adalah 82 persen.
"Pasar-pasar tersebut juga memiliki angka terkecil untuk pangsa konsumen yang tidak akan pernah memboikot suatu merek: yakni 10 persen atau kurang," demikian menurut laporan tersebut.
Statistik tersebut menunjukkan bahwa pola pikir kritis konsumen merupakan fenomena global. Saat ini bisa dibilang fenomena boikot menjadi lebih global daripada sebelumnya, mengingat sepak terjang media sosial yang dapat secara besar-besaran memperkuat sebuah gerakan.
Konsumerisme yang berkesadaran adalah hal yang baik. Tapi, boikot tetap berisiko, jika menargetkan perusahaan atau produk yang salah. Jadi, pola pikir kritis konsumen harus melalui sebuah penilaian pribadi yang menyeluruh atas setiap dugaan adanya tindakan pelanggaran.
Mengikuti arus merupakan kebalikan dari berpikir kritis. Hal itu berlaku untuk semua hal, termasuk saat menjadi aktivis konsumen.
Selain itu, tidak ada alasan untuk hanya kritis menyoroti perusahaan asing yang besar, karena terdapat banyak hal-hal tidak benar yang dapat ditemukan di perusahaan-perusahaan domestik, termasuk perusahaan kecil dan menengah. Misalnya pelanggaran dari sisi kesehatan dan keselamatan, perlindungan lingkungan, tata kelola yang baik, praktik ketenagakerjaan, atau hal lainnya.
Memboikot suatu merek atau suatu produk dapat menjadi kekuatan yang solid untuk mewujudkan kebaikan, tetapi kekuatan yang besar selalu hadir diiringi tanggung jawab yang besar.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.