incin api kembali membara pada 3 Desember. Gunung Marapi di Sumatera Barat meletus, memuntahkan menara abu ke langit. Tinggi kepulan abu melebihi puncak gunung itu sendiri. Dan semua terjadi tanpa peringatan yang nyata.
Bagi penduduk setempat, kejadian seperti itu mungkin merupakan hal rutin. Marapi memang gunung berapi paling aktif di Sumatera yang meletus setiap dua hingga empat tahun sekali. Namun, letusan kali ini merupakan peristiwa yang lebih tragis dari biasanya. Pasalnya, letusan itu merenggut nyawa 23 pendaki yang sedang berada di gunung tersebut saat sang gunung bangkit dari tidur.
Mari menyampaikan rasa duka dan mendoakan para korban dan keluarga mereka. Kami yakin pihak berwenang bertanggung jawab atas kematian tersebut. Para pendaki akan membatalkan rencana mereka jika pihak berwenang melarang pendakian gunung berapi. Namun, kenyataannya, yang berwenang terus mengeluarkan izin pendakian meskipun ada peringatan dari ahli vulkanologi.
Setidaknya terdapat 75 pendaki yang sedang mendaki Marapi pada hari terjadinya bencana. Mereka mengantongi izin untuk naik hingga ke puncak gunung tersebut, meski Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) telah meminta para pejabat setempat untuk menjauh dari puncak gunung demi keselamatan masyarakat.
Sebelum bencana mematikan ini terjadi, gunung berapi tersebut sedang berada di tingkat kewaspadaan tertinggi peringkat kedua dari sistem peringatan empat tingkat milik PVMBG. Kondisi tersebut seharusnya membuat semua aktivitas dalam radius 3 kilometer dari kawah dilarang dilakukan. Apalagi, Marapi punya sejarah letusan freatik. yang terjadi tanpa pertanda awal.
Pusat vulkanologi hanya dapat memberikan rekomendasi kepada Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) setempat, dan lembaga induknya, yaitu Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Menurut kepala PVMBG baru-baru ini, kewenangan untuk melaksanan rekomendasi atau tidak ada di tangan dinas setempat.
Seharusnya para pejabat daerah di Marapi belajar dari pengalaman masa lalu. Pada 2017, 16 pendaki terjebak di gunung berapi tersebut ketika gunung tiba-tiba meletus. Beruntungnya, mereka semua berhasil dievakuasi dengan selamat. Keberuntungan masih berlanjut hingga awal tahun ini. Beberapa kali Marapi meletus, mengeluarkan letusan freatik, tapi tanpa menimbulkan korban jiwa.
Ketua PVMBG Hendra Gunawan sangat gusar menanggapi bencana fatal yang terjadi minggu lalu. Ia mengatakan bahwa pihak berwenang “seharusnya belajar dari kejadian 2017, dan bukannya malah membiarkan hal itu terjadi lagi.”
BKSDA mengaku mengeluarkan izin pendakian setelah mendapat lampu hijau dari pemerintah setempat, termasuk Pemerintah Provinsi Sumbar, Badan SAR Padang, dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). BKSDA juga menyatakan telah memperingatkan para pendaki untuk menghindari kawah.
Belakangan, penjabat Kepala BKSDA, Dian Indriati, mengakui kepada media bahwa badan tersebut telah mempertimbangkan faktor-faktor selain keselamatan dalam penerbitan izin pendakian, termasuk “dampak positif terhadap perekonomian lokal”.
Kami hargai pentingnya pariwisata bagi kesejahteraan masyarakat di kawasan ini. Namun, seharusnya keuntungan materi tidak mengorbankan nyawa manusia.
Letusan mematikan Marapi harus menjadi peringatan bagi pemerintah untuk tidak membiarkan mitigasi bencana gunung berapi bergantung pada kemujuran semata. Lebih dari 200 juta orang tinggal di sepanjang Cincin Api Pasifik. Sementara, sekitar 5 juta orang tinggal di dekat gunung berapi aktif yang, seperti Marapi, dapat meletus kapan saja tanpa tanda-tanda sebelumnya.
Sudah waktunya bagi pihak berwenang untuk memprioritaskan nyawa, dan tidak mengagungkan pemasukan untuk pengelolaan gunung berapi di negara ini. Mereka dapat memulainya dengan menghentikan mengeluarkan izin pendakian di 18 gunung berapi aktif berbahaya, yang dapat meletus kapan saja.
Selain itu, mereka harus berinvestasi pada lebih banyak program mitigasi bencana, seperti sistem peringatan dini dan pendidikan masyarakat mengenai prosedur evakuasi. PVMBG mengklaim bahwa alarm di Marapi telah dicuri beberapa kali sepanjang tahun, sehingga menghambat pemantauan gunung berapi tersebut.
Sangat disayangkan bahwa sudah terlambat untuk menyelamatkan nyawa para pendaki yang meninggal pada 3 Desember. Namun, mengingat luasnya aktivitas gunung berapi di Indonesia, kita harus yakin bahwa persiapan yang serius pada saat ini akan menyelamatkan banyak nyawa di masa depan. Kita tidak bisa hanya berkata bahwa kita tidak diberi peringatan apa-apa.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.