TheJakartaPost

Please Update your browser

Your browser is out of date, and may not be compatible with our website. A list of the most popular web browsers can be found below.
Just click on the icons to get to the download page.

Jakarta Post

Bisa semakin baik

Demokrasi di Indonesia tidak akan pernah matang jika kita terus membiarkan pembentukan pemimpin baru melalui pola korupsi dan cara pilih kasih.

Editorial board (The Jakarta Post)
Jakarta
Thu, April 4, 2024

Share This Article

Change Size

Bisa semakin baik Healthy democracy: A poll worker hands plastic gloves to a voter on July 22, 2020, during a simulation for the 2020 simultaneous regional elections at the General Elections Commission (KPU) in Jakarta. During the simulation, the committee applied COVID-19 health protocols. (JP/Dhoni Setiawan)
Read in English

Komisi Pemilihan Umum (KPU) secara resmi telah mulai fokus pada persiapan pemilihan kepala daerah (pilkada) pada November mendatang.

Pada acara seremonial di Candi Prambanan, Sleman, Yogyakarta, pada Minggu 31 Maret, Ketua KPU Hasyim Asy'ari mengatakan kepada seluruh jajarannyai untuk menjaga integritas dan mengikuti aturan. Ini seperti mengindikasikan pengakuan singkat terkait permasalahan yang muncul menjelang dan selama proses pemungutan suara pemilihan presiden yang terlaksana Februari lalu.

Bagi banyak orang, pilkada adalah bagian tak terpisahkan dari upaya Indonesia untuk menjadi tuan rumah pemilu berdurasi satu hari yang terbesar di dunia. Namun, bagi sebagian orang bersemangat tinggi yang terpengaruh langsung hasil pemilu yang baru lalu, pilkada mendatang merupakan sebuah kesempatan untuk menganalisis dan lalu belajar dari kesalahan yang terjadi.

Apakah kita berminat untuk melakukan upaya perbaikan, jadi pertanyaan lain.

Pemilu pada 14 Februari lalu merupakan sebuah kerja besar. Dan tentu saja pelaksanaannya masih jauh dari gambaran ideal terkait perayaan demokrasi yang seharusnya.

Pemilu yang baru lalu lagi-lagi menunjukkan kenyataan menyedihkan bahwa ada orang Indonesia yang meninggal dunia gara-gara kelelahan akibat ikut menyelenggarakan pemilu dan terlibat dalam penghitungan suara secara manual.

Viewpoint

Every Thursday

Whether you're looking to broaden your horizons or stay informed on the latest developments, "Viewpoint" is the perfect source for anyone seeking to engage with the issues that matter most.

By registering, you agree with The Jakarta Post's

Thank You

for signing up our newsletter!

Please check your email for your newsletter subscription.

View More Newsletter

Yang lebih penting lagi, para pimpinan KPU masih banyak yang terlibat dalam sidang sengketa pemilu yang diselenggarakan di Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka masih dibayangi dugaan bahkan bukti adanya pelanggaran etika.

Selama beberapa hari terakhir, beredar beberapa petisi yang menolak hasil resmi pemilu. Penolakan dilandasi tuduhan adanya penyalahgunaan kekuasaan yang terkoordinasi, campur tangan negara, dan kecurangan pemilu berskala besar. Semua upaya itu dilakukan untuk menampik kenyataan ada 90 juta suara yang tak terbantahkan mendukung kandidat terpopuler, Prabowo Subianto, dan pasangannya, Gibran. Rakabuming Raka, putra sulung Presiden petahana Joko “Jokowi” Widodo.

Poin penting dalam sengketa hukum kali ini adalah fokus tuntutan tim yang kalah dalam pemilu untuk mendiskualifikasi pencalonan Gibran sebagai wakil presiden. Dasar yang digunakan adalah tuduhan adanya intervensi dari paman Gibran di MK.

Preseden-preseden ini jelas bukan pertanda baik bagi penyelenggaraan pilkada. Yang terjadi di pemilihan presiden dapat membuka peluang bagi praktik-praktik yang lebih tidak adil, misalnya nepotisme dan kronisme, yang telah muncul dalam pemilu Februari lalu.

Nepotisme dan kronisme terutama terlihat dalam aspirasi partai-partai politik, yang mencalonkan anggota keluarga Presiden Jokowi dalam beberapa ajang pilkada. Nama yang muncul termasuk putra Jokowi lainnya, Kaesang Pangarep, sebagai walikota Surakarta atau calon gubernur Jakarta. Sementara istri Kaesang, Erina Gudono, konon dicalonkan untuk ikut pilkada Kabupaten Sleman. Kemudian ada lagi nama Bobby Nasution, sang menantu Presiden, yang kabarnya diajukan dalam pemilihan gubernur Sumatra Utara.

Demokrasi di Indonesia tidak akan pernah matang jika kita terus membiarkan pembentukan pemimpin baru melalui pola korupsi dan cara pilih kasih.

Pilkada pada 27 November mendatang akan menjadi kali pertama masyarakat Indonesia dapat memilih gubernur, walikota, dan bupati secara serentak. Pilkada akan dilakukan di 37 provinsi dan lebih dari 500 kabupaten dan kota di seluruh Indonesia.

Pada pemilu legislatif saja, lebih dari 9.900 calon dari 18 partai politik bersaing memperebutkan 580 kursi DPR, dari total 84 daerah pemilihan.

Banyak wajah-wajah familiar yang menghiasi surat suara pada pemilu Februari lalu. Wajah selebritas dan putra-putri dari tokoh-tokoh politik, baik yang baru maupun yang sudah mapan, yang seperti membentuk dinasti politik. Mereka punya kekuatan jadi bintang di ranah politik karena dukungan terus-menerus dari lingkungan terdekat.

Hal terburuk yang membuat pilkada mendatang jadi makin rumit adalah karena sifatnya yang serentak. Dengan diadakan secara bersama-sama, akan sulit bagi media, kelompok masyarakat sipil, dan pemantau pemilu, atau bahkan masyarakat umum, untuk menjaga agar praktik-praktik buruk nepotisme dan kronisme tidak terjadi.

Mayoritas masyarakat yang punya hak suara mungkin tidak punya keinginan untuk membuat keributan. Sebagian besar dari kita hanya ingin kegiatan ini segera terlaksana. Namun, seandainya negara menunggu momen penting untuk memperbaiki kondisi politik, maka pilkada merupakan momen yang paling pas.

Jika tidak, apa gunanya mengaku sebagai negara demokrasi tapi ternyata hanya sekadar nama saja?

Your Opinion Matters

Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.

Enter at least 30 characters
0 / 30

Thank You

Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.