TheJakartaPost

Please Update your browser

Your browser is out of date, and may not be compatible with our website. A list of the most popular web browsers can be found below.
Just click on the icons to get to the download page.

Jakarta Post

Ketakutan yang inspiratif

Film horor bukan sekadar tontonan penuh teror, tetapi juga ekspresi budaya yang mencerminkan kekayaan cerita rakyat, mitologi, dan kegelisahan masyarakat di negara ini.

Editorial board (The Jakarta Post)
Jakarta
Sat, April 20, 2024

Share This Article

Change Size

Ketakutan yang inspiratif Moviegoers are seen at XXI cinema in Jakarta. (Kontan/Daniel Prabowo)
Read in English

U

ntuk genre sinematik yang sarat kekerasan dan teror, popularitas film horor yang tidak habis-habis dan bertahan lama merupakan sebuah teka-teki ajaib. Dalam beberapa dekade terakhir, film-film horor menduduki puncak daftar film terlaris di Indonesia. Apa yang membuat ketakutan begitu menyenangkan dinikmati?

Minggu ini saja, terdapat dua film horor yang ditonton oleh lebih dari 2 juta penonton hanya dalam tempo satu minggu penayangan. Dua film itu adalah Badarawuhi di Desa Penari dan Siksa Kubur.

Kedua film merupakan karya sineas terkemuka.

Badarawuhi adalah cerita lanjutan dari film KKN di Desa Penari yang sukses besar pada 2022, yang hingga kini menduduki peringkat teratas dalam daftar film terlaris di Indonesia  yang berhasil menjual lebih dari 10 juta tiket. Film ini disutradarai oleh Kimo Stamboel. Daftar film horor besutan sang sutradara selalu populer selama bertahun-tahun.

Sedangkan Siksa Kubur adalah persembahan terbaru dari sutradara kondang Joko Anwar. Film-film horor besutannya, tercatat selalu sukses. Pembuatan ulang film klasik Pengabdi Setan dan sekuel aslinya berhasil memikat total lebih dari 10,5 juta penonton.

Penting untuk dicatat bahwa, dalam daftar terlaris saat ini, posisi kedua dipegang oleh film komedi bernuansa horor Agak Laen. Film tersebut dirilis awal tahun ini, dan berhasil menarik 9,1 juta penonton.

Viewpoint

Every Thursday

Whether you're looking to broaden your horizons or stay informed on the latest developments, "Viewpoint" is the perfect source for anyone seeking to engage with the issues that matter most.

By registering, you agree with The Jakarta Post's

Thank You

for signing up our newsletter!

Please check your email for your newsletter subscription.

View More Newsletter

Film-film di atas memang beranggaran besar. Lagipula, diproduksi oleh studio dan sutradara ternama. Namun, sejatinya, bahkan dengan anggaran terbatas dan efek yang jelas palsu, film-film horor tetap mendapat tempat di hati masyarakat. Film yang populer terutama yang menampilkan hantu-hantu klasik seperti kuntilanak dan pocong. Dua sosok itu memang simbol populer dalam budaya horor di layar perak.

Para pakar di seluruh dunia yang mempelajari psikologi, biologi, dan teori film telah menyimpulkan bahwa sensasi yang dirasakan penonton berasal dari rasa takut saat berada di tempat yang aman. Untuk mencapai tujuan ini, film-film horor berusaha menjejak di perbatasan antara ketakutan tampak semakin meyakinkan di satu sisi, sambil berusaha sekuat tenaga menghilangkan unsur kemustahilan di sisi lain.

Namun jika film mencerminkan masyarakat, termasuk cermin keinginan dan ketakutan komunal, lalu apa yang dicerminkan oleh film horor? Pertanyaan ini memancing diskursus akademis.

Di seluruh dunia, film horor sering dilihat sebagai corong yang menggaungkan keprihatinan sosial yang ada di masyarakat, di saat film itu dikeluarkan. Di Amerika Utara, misalnya, adalah hal yang umum untuk menghubungkan horor ilmiah tahun 1950-an dengan sekelompok tema yang saling terkait, termasuk ancaman invasi alien, risiko tenaga nuklir, serta peran sains dan para ilmuwan.

Di Indonesia, para peneliti juga menunjukkan adanya ketegangan dan konflik sosiokultural serta politik yang berperan dalam dinamika film horor Indonesia. Sebut saja film tahun 1970an yang didominasi oleh film horor psikologis, dengan menampilkan tokoh antagonis seorang psikopat. Lalu, di akhir tahun 1980an dan era reformasi, film-film horor berlomba menampilkan tokoh-tokoh supranatural. Makhluk seperti kuntilanak dan pocong menjadi penjahat yang mendominasi.

Film horor Indonesia juga terkenal karena refleksi sosialnya. Hal ini kemudian menuai kritik, terkait penggambaran hantu perempuan yang awalnya adalah ibu atau perempuan yang penuh cinta, tetapi kemudian berubah menjadi sosok mengerikan.

Secara kiasan umum, kuntilanak adalah perempuan yang meninggal saat melahirkan, atau meninggal karena keguguran. Sedangkan yang disebut sundel bolong adalah perempuan yang diperkosa kemudian hamil, lalu meninggal saat melahirkan. Para hantu perempuan ini memiliki latar belakang yang sama sebagai korban kesenjangan gender dan kekerasan seksual.

Munculnya horor supranatural juga terlihat berhubungan dengan berkembangnya simbolisasi dan pengaruh ideologi Islam. Ideologi tersebut bahkan berkontribusi dalam pembuatan beberapa film.

Ide yang bersumber dari ideologi agama tersebut akhir-akhir ini mendapat kecaman dari para penonton bioskop. Mereka memprotes semakin banyaknya penggunaan simbolisme agama dalam plot sebuah film, yang oleh banyak orang disebut berlebihan dan “kasar”.

Hal ini juga memicu kemarahan Majelis Ulama Indonesia (MUI) setelah mereka melihat poster film horor Kiblat, yang dijadwalkan segera tayang. Menurut mereka, poster tersebut sangat salah dalam menggambarkan praktik shalat yang dilakukan di agama Islam.

Film horor bukan sekadar tontonan penuh teror, tetapi juga ekspresi budaya, yang mencerminkan kekayaan cerita rakyat, mitologi, dan kegelisahan komunal di negara ini. Namun, film horor juga tak kebal terhadap perangkap komersialisasi dan sensasionalisme.

Sebagai penonton kritis, dari film-film horor, kita bisa memperoleh wawasan tentang ketegangan masyarakat dan dinamika kekuasaan yang membentuk budaya Indonesia. Kita menikmati pengetahuan itu sambil duduk menempel di ujung kursi, dengan jantung berdebar kencang dan keringat dingin bercucuran.

Your Opinion Matters

Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.

Enter at least 30 characters
0 / 30

Thank You

Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.