Negeri ini telah jadi saksi begitu banyaknya politisi yang mengejar gelar doktor, gelar doktor kehormatan, dan bahkan jabatan profesor, hanya demi gengsi semata.
ndonesia telah jadi saksi sejumlah kasus yang mempertanyakan integritas sistem pendidikan tinggi di negara ini. Namun, gelar doktor yang diberikan kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bahlil Lahadalia awal bulan ini oleh Sekolah Kajian Global dan Strategis (SKSG) Universitas Indonesia saat ini berada di posisi puncak sebagai yang paling mengecewakan.
Tim yang menyelidiki masalah ini, yang ditunjuk oleh dewan guru besar dan senat akademik universitas, dijadwalkan mengumumkan temuannya hari ini. Terlepas dari hasilnya, Menteri Pendidikan Tinggi, Ilmu Pengetahuan, dan Teknologi Satryo Soemantri Brodjonegoro harus bertindak dan memastikan lembaga pendidikan tinggi negara kita menegakkan, atau mendapatkan kembali, integritasnya.
Bukan berarti Satryo harus menindak Bahlik sebagai sejawat satu kabinetnya, atau juga menegur pejabat pemerintah serta pejabat negara lainnya yang telah memperoleh gelar akademik melalui cara-cara yang dipertanyakan. Toh, ada otonomi lembaga pendidikan tinggi. Namun, Kementerian Pendidikan Tinggi perlu menetapkan standar ketat yang tidak memberi ruang bagi penyalahgunaan.
Universitas-universitas di Indonesia sudah tertinggal dari universitas negara-negara maju, bahkan di kawasan Asia-Pasifik, dalam hal prestasi akademik. Lebih parah lagi, peneliti Ceko Vit Machacek dan Martin Srholec menemukan dalam sebuah studi yang dilakukan dari 2015 hingga 2017 bahwa Indonesia berada di peringkat kedua negara dalam jumlah pengguna jurnal predator, atau jurnal yang tidak berkualitas. Hal itu menunjukkan betapa rendahnya tingkat integritas akademik di negara ini.
Bahlil, yang juga merupakan ketua Golkar, memperoleh gelar doktornya empat hari sebelum pelantikan Presiden Prabowo Subianto. Prabowo telah mempertahankannya sebagai menteri, dengan memberi jabatan menteri energi dan sumber daya mineral.
Kontroversi bersumber pada fakta bahwa Bahlil hanya membutuhkan waktu satu tahun dan 8 bulan untuk memperoleh gelar doktor tersebut. Waktu sesingkat itu, menurut banyak pihak, tidak masuk akal untuk gelar doktor. Terutama karena ia harus menyeimbangkan pekerjaan akademisnya dengan tugas-tugasnya sebagai menteri di bawah mantan presiden Joko “Jokowi” Widodo.
SKSG telah membantah adanya penyimpangan dalam prosedur pemberian gelar doktor kepada Bahlil. Pembimbingnya, Teguh Darnanti, mengatakan Bahlil telah memenuhi persyaratan untuk meraih gelar tersebut dengan tiga publikasi, satu di antaranya ada di jurnal ternama internasional. Ia juga mengatakan bahwa Bahlil telah mengikuti semua prosedur yang tepat untuk memperoleh gelar tersebut dan tidak pernah mempublikasikan karyanya di jurnal predator mana pun.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Andrinof Chaniago, yang mengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UI, mengatakan bahwa menyelesaikan program doktor, bahkan jika fokus pada penelitian, akan makan waktu lebih dari dua tahun.
Sementara mantan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy mengenang bahwa ia butuh enam tahun untuk menyelesaikan studi doktoralnya di Universitas Airlangga. Dan itu ia selesaikan jauh sebelum ia diangkat menjadi menteri oleh Jokowi.
Di universitas mana pun, tujuan pendidikan doktoral adalah untuk menunjukkan pemikiran kritis tingkat tinggi dengan memberi kontribusi baru pada bidang yang sedang dipelajari. Sekadar memenuhi prosedur administratif saja tidak cukup untuk menunjukkan penguasaan tersebut. Lebih jauh, hal itu merendahkan nilai program akademik itu sendiri.
Seperti yang dikatakan Andrinof, seorang calon sarjana harus membaca ratusan buku dan artikel akademis yang mewakili berbagai sudut pandang, untuk mencapai tingkat penguasaan tertentu. Dan tentu saja, membaca akan memakan waktu.
Namun, SKSG bersikeras bahwa Bahlil mampu menyelesaikan studinya tentang dampak ekonomi hilirisasi nikel. Alasannya, Bahlil berhadapan dengan masalah tersebut dalam praktik sehari-hari.
Semakin lama polemik seputar gelar doktor Bahlil tidak ditangani, semakin besar kemungkinan orang-orang yang berkuasa dan berduit dapat mengambil jalan pintas, atau memangkas waktu kerja bertahun-tahun, untuk memperoleh gelar yang mereka idamkan. Terbukti, banyak contoh politisi di negara ini yang mengejar gelar doktor, gelar doktor kehormatan, dan bahkan jabatan profesor, hanya untuk sekadar gengsi di mata publik.
Namun sikap meraih gelar untuk gengsi sebetulnya hanya membuktikan ketidakmampuan mereka sendiri. Di kepala mereka, tujuan dari gelar akademis adalah untuk menambahkan beberapa huruf pada nama mereka guna menutupi kekurangan. Gelar yang diperoleh dengan pola pikir seperti itu jelas tidak bermakna apa-apa.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.