Negara-negara yang diuntungkan oleh regulasi yang tidak ketat selama masa industrialisasi, kini berharap negara lain langsung mengikuti konsep keberlanjutan yang tidak peluang ekonomi yang sama.
Janji multilateralisme sedang terancam, dan buktinya terpampang nyata.
Baru-baru ini, di KTT COP29, APEC, dan G20 terjadi kebuntuan. Hal itu mengungkapkan tren yang meresahkan bahwa forum multilateral telah menjadi medan pertempuran bagi kebijakan proteksionis dan persaingan geopolitik, alih-alih menjadi sarana untuk bersama-sama menyelesaikan tantangan global.
Ada implikasi mendalam dari kegagalan pelaksanaan konsep multilateralisme, terutama bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia. Selama ini, negara-negara berkembang bergantung pada tatanan global berbasis aturan untuk membuka potensi ekonomi mereka.
Proteksionisme tidak hanya muncul saat Donald Trump hadir. Betul, ia mempopulerkan "America First", tapi kebijakan proteksionis telah menyebar ke seluruh dunia.
Pemerintahan Presiden Amerika Serikat Joe Biden, misalnya, telah memberlakukan langkah-langkah seperti Undang-Undang Pengurangan Inflasi. Peraturan itu mengutamakan produk dalam negeri dengan kedok menjaga keamanan dan mengatasi krisis iklim.
Demikian pula Kesepakatan Hijau Uni Eropa (European Union’s Green Deal) yang memberlakukan larangan yang merugikan pasar negara berkembang, Aturan itu pada akhirnya membatasi kemampuan bersaing negara-negara berkembang tersebut. Sinyal kemunduran ini menandakan makin luasnya degradasi prinsip-prinsip perdagangan yang terbuka dan adil.
Ironisnya, Presiden Tiongkok Xi Jinping-lah yang secara tak terduga muncul sebagai pendukung perdagangan bebas. Setelah pernah dikritik karena praktik perdagangan yang tidak adil, Tiongkok sekarang menganjurkan pasar terbuka di forum multilateral, sementara negara-negara Barat justru mundur ke dalam silo proteksionis.
Pendekatan Xi di APEC untuk memperdalam kemitraan perdagangan di Asia membuat pergeseran ini makin jelas. Sama halnya dengan makin aktifnya kepemimpinan Beijing dalam perjanjian perdagangan seperti Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (Regional Comprehensive Economic Partnership atau RCEP).
Bagi Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya, tidak ada lagi yang bisa dikorbankan.
Secara historis, pasar bebas dan terbuka telah memungkinkan negara-negara dengan biaya tenaga kerja yang lebih rendah dan standar lingkungan yang tidak begitu ketat menjadi lebih maju dalam pembangunan. Namun, ketika Indonesia mulai menuai keuntungan dari kondisi ini, negara-negara Barat memperbanyak batasan yang berlaku, atas nama perlindungan lingkungan dan tenaga kerja.
Ada unsur kemunafikan di sini. Negara-negara yang diuntungkan oleh regulasi yang longgar selama industrialisasi, kini berharap negara lain bisa langsung melompat menjalankan konsep keberlanjutan. Padahal peluang ekonominya tentu berbeda.
Namun, Indonesia juga harus bisa menggunakan kebijakannya sendiri sebagai bahan refleksi. Kita tidak dapat menuntut pasar bebas di luar negeri secara kredibel, jika menolak persaingan di dalam negeri.
Contoh kasus adalah kegelisahan yang meningkat akibat membanjirnya produk-produk Tiongkok ke dalam pasar kita. Jika kita menghargai perdagangan bebas, kita harus menerima konsep tersebut secara konsisten, dengan kesadaran bahwa hal itu menguntungkan baik produsen maupun konsumen.
Alih-alih bertujuan meraih swasembada di setiap sektor, kita harus fokus pada bidang-bidang yang menjadi keunggulan komparatif kita. Negara-negara seperti Singapura, misalnya, meskipun sangat bergantung pada impor pangan, menunjukkan ketahanan ekonomi yang terintegrasi ke dalam jaringan perdagangan global.
Bagi Indonesia, tujuan untuk swasembada komoditas seperti beras adalah sesuatu yang masuk akal. Tetapi mengkhawatirkan impor susu, sebagai negara yang banyak warganya rentan terhadap intoleransi laktosa, adalah hal yang kontraproduktif.
Di sisi lain, kegagalan G20 untuk mengatasi masalah global yang mendesak adalah gejala lain dari kelesuan sistem multilateral.
Forum tersebut semakin menjaduh dari tujuannya, akibat sikap geopolitik, dengan blok G7 yang justru berusaha mengisolasi Rusia dan Tiongkok, dan bukannya mengatasi tantangan seperti perubahan iklim, kemiskinan, dan ketahanan terhadap bencana secara bersama-sama.
Ketika perselisihan geopolitik mendominasi agendanya, G20 kehilangan relevansinya. Hal itu mendorong negara-negara anggota forum mencari alternatif seperti BRICS, yang dianggap lebih inklusif.
Jika sistem multilateral membiarkan konflik membayangi langkah-langkahnya, mari lupakan saja pencapaian yang berarti dalam mengatasi ancaman eksistensial seperti perubahan iklim dan kemiskinan.
Dialog yang konstruktif menuntut negara-negara untuk terlibat dengan itikad baik, mengakui serta menghormati perbedaan satu sama lain. Ironisnya, pendekatan transaksional yang dilakukan Trump sebagai kebijakan luar negeri mungkin terbukti kurang maju di dalam negeri, dibandingkan dengan diplomasi Biden yang sarat nilai. Risikonya, negara-negara yang tidak sejalan dengan cita-cita Barat akan jadi terpinggirkan.
Indonesia harus mengadvokasi sistem multilateral yang memberi hasil nyata bagi semua, bukan hanya segelintir orang yang berkuasa.
Jika negara-negara Barat tidak mau terlibat secara konstruktif, mereka harus menyingkir dan bukannya menghalangi kemajuan. Pemerintah harus mengambil langkah berani, untuk mendukung masa depan kolektif yang bergantung pada kerja sama, bukan pada perpecahan.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.