Sangat penting untuk mencermati masalah yang mendasar dalam sistem pensiun di Indonesia.
Ditambahkannya batas usia pensiun oleh negara baru-baru ini telah menimbulkan kontroversi. Masyarakat menuduh pemerintah menunda pembayaran dana pensiun untuk menghemat anggaran negara.
Sentimen tersebut dapat dipahami. Pasalnya, akhir-akhir ini muncul serangkaian pengumuman yang menyebut bahwa pemerintah akan menarik lebih banyak uang dari kantong masyarakat. Dan hal itu dilakukan meskipun situasi dibayangi inflasi yang tetap rendah serta penurunan konsumsi domestik tahun lalu.
Pada Desember, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa tingkat inflasi akhir tahun adalah sebesar 1,57 persen. Ini merupakan tingkat inflasi terendah sejak BPS mulai melacak harga konsumen, lebih dari 60 tahun yang lalu.
Pada saat yang sama, hasil pemilihan presiden dan peralihan kekuasaan telah mengharuskan Presiden Prabowo Subianto dan kabinetnya melaksanakan program-program berskala besar. Salah satunya, program makan bergizi gratis untuk anak-anak di seluruh negeri.
Skema yang ambisius dan berbiaya besar tersebut, menjadi alasan pemerintah mengumumkan rencana untuk melaksanakan program tabungan perumahan umum wajib yang disebut Tapera. Pemerintah juga berencana menaikkan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen. Tapi keduanya mendapat reaksi keras dari masyarakat, hingga ditangguhkan.
Fakta bahwa kedua program tersebut direncanakan oleh pendahulu Prabowo, Joko “Jokowi” Widodo, tampaknya tidak penting lagi. Masyarakat tampak memendam rasa frustrasi tertentu akibat kondisi ekonomi yang lesu dan manuver politisi yang mengutamakan kekuasaan daripada kepentingan rakyat.
Keputusan Kementerian Tenaga Kerja baru-baru ini, untuk melanjutkan pelaksanaan peraturan tahun 2015, yang mengharuskan usia pensiun dinaikkan menjadi 65 tahun pada akhir 2045, ditanggapi dengan amarah yang sama.
Menurut para kritikus, kebijakan tersebut akan menunda pembayaran dana pensiun sehingga menciptakan kesulitan keuangan bagi pensiunan baru. Kebijakan tersebut mengamanatkan agar usia pensiun tahun ini dinaikkan menjadi 59 tahun tahun.
Meskipun tergoda ikut serta dalam gelombang protes, yang juga penting adalah mencermati masalah mendasar dalam sistem pensiun di Indonesia.
Menaikkan standar usia pensiun nasional merupakan hal yang umum di berbagai negara. Alasan yang dijadikan dasar adalah kondisi ekonomi yang membaik dan harapan hidup yang meningkat, sebagai hasil dari gaya hidup yang lebih sehat dan layanan kesehatan yang lebih baik. Bagi Indonesia, usia harapan hidup terus meningkat selama beberapa dekade, mencapai 74,15 tahun pada 2024.
Menaikkan usia pensiun akan mengurangi beban keuangan pada sistem pensiun publik. Hal itu terjadi karena usia pensiun yang makin lama akan mengurangi jumlah penerima pensiun yang diajukan secara bersamaan, dan akhirnya menurunkan jumlah total pengeluaran dana pensiun.
Sementara itu, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BPJS Ketenagakerjaan), perusahaan asuransi negara yang mengelola dana pensiun negara, menghadapi tantangan di bidang lain. Tantangan itu menjadi problematik bagi pemerintah, hingga mau tak mau menaikkan usia pensiun.
Sebuah studi oleh IFG Progress, sebuah lembaga think tank yang didanai oleh Indonesia Financial Group (IFG), menemukan bahwa tabungan dan iuran pensiun yang rendah dapat menyebabkan dana yang dihimpun mengalami defisit pada 2038. IFG merupakan sebuah perusahaan holding milik negara yang menaungi jasa keuangan, asuransi, dan investasi.
Data IFG Progress mencatat bahwa menurut BPS, hanya 40,89 persen tenaga kerja yang bekerja di sektor formal. Sedangkan data dari Kementerian Ketenagakerjaan menunjukkan bahwa hanya 38 persen pekerja formal yang mengikuti program Jaminan Hari Tua (JHT). Proporsi peserta program Jaminan Pensiun (JP) lebih kecil lagi, hanya 11 persen. Hal itu terjadi karena program pensiun publik tidak dapat diakses oleh pekerja informal.
Selain itu, iuran untuk JHT dan JP relatif rendah. Iuran wajib ditetapkan sebesar 8,7 persen dari pendapatan pekerja. Iuran sejumlah itu menjadi salah satu yang terendah di Asia, nomor dua terendah setelah Thailand.
Program pensiun dapat menjadi bom waktu jika pemerintah dan sektor swasta menolak untuk mengatasi masalah ini.
Menaikkan usia pensiun adalah langkah yang baik, tetapi bukan senjata ajaib untuk menyelesaikan masalah yang berkembang di dalam sistem pensiun itu sendiri. Pemerintah harus meningkatkan akses pekerja informal terhadap sistem pensiun publik, sekaligus mengatasi masalah simpanan yang tidak mencukupi serta rendahnya iuran dari peserta yang ada saat ini.
Pengusaha harus meningkatkan partisipasi mereka dalam mendaftarkan pekerja dan membayar iuran pensiun. Mungkin tampak lebih mudah untuk mempertahankan usia pensiun yang lebih muda. Langkah itu juga tampak hemat biaya, karena mengganti karyawan senior yang bergaji tinggi dengan karyawan muda yang gajinya lebih rendah. Tetapi sesungguhnya yang lebih penting adalah terlibat dalam diskusi tentang cara memastikan kesejahteraan karyawan setelah pensiun.
Tidak ada salahnya pemerintah dan pengusaha bersikap lebih peduli terhadap para pekerja Indonesia.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.