Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang baru, yang disahkan pada 2022 dan akan mulai berlaku tahun depan, dapat menandai langkah maju untuk sepenuhnya mengakhiri hukuman mati.
Indonesia sering bersikap hipokrit. Di satu sisi, negara ini mengutuk pemerintah asing yang telah menjatuhkan hukuman mati kepada warga negara Indonesia. Tetapi di sisi lain, Indonesia tetap teguh mempertahankan hukuman mati di dalam negeri. Dan hal itu mengabaikan seruan untuk mengakhiri praktik tersebut selama puluhan tahun.
Pengadilan Indonesia tidak menolak untuk menjatuhkan hukuman mati. Pada 2024 saja, mereka menjatuhkan hukuman mati kepada 85 terpidana. Menurut laporan terbaru yang dirilis oleh kelompok hak asasi manusia Amnesty International, sebagian besar yang dijatuhi hukuman mati adalah mereka yang melakukan pelanggaran terkait narkoba.
Angka penerima vonis mati di Indonesia merupakan yang tertinggi ketiga di Asia Tenggara setelah Vietnam dan Myanmar. Angka itu merupakan bagian dari total 28.000 lebih terpidana yang dijatuhi hukuman mati di seluruh dunia tahun lalu. Apa yang dilakukan Indonesia sangat berbeda dengan tetangganya, Malaysia. Negara serumpun itu, menurut Amnesty, memberikan "pengurangan hukuman mati dalam skala besar".
Keputusan Indonesia untuk menjatuhkan puluhan hukuman mati tahun lalu merupakan ironi karena negara ini, di bawah Presiden Prabowo Subianto, memutuskan untuk memulangkan dua orang asing terpidana mati. Dua orang tersebut telah dijatuhi hukuman mati selama bertahun-tahun. Mereka direpatriasi atas dasar kemanusiaan.
Meski tahun lalu Indonesia menjatuhkan puluhan vonis mati, tetap ada secercah harapan: belum ada satu pun terpidana mati yang dieksekusi sejak 2016. Hal itu berbeda dengan Tiongkok, Amerika Serikat, dan negara-negara tetangga di Asia Tenggara seperti Singapura dan Vietnam, yang terus mengeksekusi terpidana mati mereka.
Sementara Indonesia menahan diri untuk tidak melaksanakan eksekusi, negara ini juga telah mengambil langkah-langkah untuk memberi kesempatan kedua kepada para terpidana mati.
Aktivis hak asasi manusia secara khusus berharap bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang baru, yang disahkan pada 2022 dan akan mulai berlaku tahun depan, akan menandai langkah maju untuk mengakhiri hukuman mati secara total. Bagaimana pun, hukuman mati merupakan warisan yang tidak manusiawi dari era kolonial.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang baru secara otomatis memberi masa percobaan selama 10 tahun bagi terpidana mati yang berkelakuan baik, sehingga hukuman mereka dapat diringankan. Peraturan tersebut juga memberi wewenang kepada presiden yang sedang menjabat untuk mengurangi hukuman mati menjadi hukuman seumur hidup, atau menjadi 20 tahun penjara, setelah masa percobaan habis.
Kita harus menghargai langkah-langkah kecil menuju penghapusan hukuman mati secara menyeluruh ini. Apalagi berbagai penelitian menunjukkan bahwa hukuman mati tidak memiliki efek jera seperti hukuman jenis lain, misalnya hukuman penjara yang lama.
Pada 2004, dilakukan penelitian di AS, yang menemukan bahwa terdapat hampir enam pembunuhan per 100.000 penduduk di negara-negara bagian yang menerapkan hukuman mati. Bandingkan dengan hanya empat pembunuhan per 100.000 penduduk di negara-negara bagian yang tidak menerapkan hukuman mati.
Kini, Indonesia perlu lebih gencar mendorong penghapusan hukuman mati secara total. Para aktivis berpendapat bahwa penghapusan hukuman mati dapat membantu Indonesia dan Prabowo dalam kampanye untuk memulangkan lebih dari 150 warga negara Indonesia yang dijatuhi hukuman mati di negara-negara asing. Sebagian besar dari mereka adalah mantan pekerja migran di Malaysia.
Salah satu langkah awal yang paling mudah, menurut para pembela hak asasi manusia, adalah peresmian moratorium eksekusi oleh lembaga penegak hukum, serta meringankan hukuman semua terpidana mati.
Presiden Prabowo tampaknya telah melangkah ke jalan yang benar. Dibuktikan dengan pernyataan bahwa ia tidak akan menjatuhkan hukuman mati. Menurut Menteri Koordinator Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra, keputusan itu mencerminkan sikap "kenegarawanan dan kemanusiaannya".
Yusril menambahkan bahwa hukuman mati tidak dapat dihapus dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Tapi, menurut Yusril, pemerintah akan menyusun peraturan teknis tentang penjatuhan hukuman mati.
Beberapa alternatif yang disebutkannya adalah jaksa menawarkan hukuman alternatif kepada hakim, meski tetap menuntut hukuman mati. Yusril juga menyarankan bahwa peraturan baru tersebut dapat mengamanatkan terpidana atau keluarga dan pengacara mereka untuk mengajukan permintaan grasi kepada Presiden. Grasi dapat diajukan sebelum pengadilan memerintahkan eksekusi terhadap narapidana, setelah masa percobaan 10 tahun.
Mari menyambut baik segala upaya, terutama dari pemerintah, yang akan mengarah pada penghapusan hukuman mati. Hal itu bisa dilakukan melalui pembuatan kebijakan maupun cara lain. Dengan banyaknya kesalahan hukum yang diyakini telah terjadi, selalu ada risiko bahwa kita akan membunuh orang-orang yang tidak bersalah jika tetap memberlakukan hukuman mati.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.