TheJakartaPost

Please Update your browser

Your browser is out of date, and may not be compatible with our website. A list of the most popular web browsers can be found below.
Just click on the icons to get to the download page.

Jakarta Post

Orang Thai dan militer

Editorial board (The Jakarta Post)
Jakarta
Wed, May 17, 2023

Share This Article

Change Size

Orang Thai dan militer Move Forward Party leader and prime ministerial candidate Pita Limjaroenrat arrives to give a press conference at the party headquarter in Bangkok on Monday. Thai voters have delivered a clear rejection of nearly a decade of military-aligned rule, election results showed on Monday, backing two pro-democracy opposition parties. (AFP/Jack Taylor)
Read in English

P

ara peserta pemilihan umum di  Thailand telah mengirimkan pesan yang tegas dan jelas bahwa mereka sudah tak ingin ada lagi dominasi militer di politik, juga tak ingin hidup mereka dikendalikan oleh keluarga kerajaan, yang selama ini telah berlangsung puluhan tahun. Namun elit militer dan politik tampaknya akan mencari cara – secara legal atau ilegal, etis atau tidak – untuk memastikan mereka akan tetap berkuasa tanpa peduli keinginan rakyat.

Para pemimpin dan masyarakat ASEAN sedang mengamati perkembangan di Thailand, negara yang jadi salah satu pendiri perhimpunan dan juga yang dipandang sebagai panutan dalam mengembangkan pertanian dan industri pariwisata di kawasan. Pemerintah diktator atau semi-diktator di kawasan berharap Thailand mempertahankan status quo selama mungkin.

Konstitusi Thailand yang dirancang oleh militer memastikan bahwa militer adalah pihak yang akan mengambil keputusan final terkait kepemimpinan nasional negara tersebut. Dari 750 kursi parlemen, 250 kursi Majelis Tinggi sepenuhnya dikuasai militer. Sisanya, 500 kursi Majelis Rendah, diperebutkan dalam pemilihan umum.

Militer Thailand terkenal karena kecenderungannya melakukan kudeta sejak 1932. Total sudah terjadi 22 kali kudeta militer, 19 di antaranya berhasil. Karena itu, kecil kemungkinan mereka akan dengan mudah menerima hasil pemilihan umum kecuali mereka dapat memperoleh keuntungan dari tokoh peraih suara terbanyak. Sejak pemilihan umum di hari Minggu, skenario semacam itulah yang terasa membayangi.

Partai-partai politik yang berafiliasi dengan militer Thai berhasil dikalahkan oleh partai antimonarki dan antikerajaan, Move Forward Party (MFP). Hasil penghitungan suara mencerminkan adanya tuntutan perubahan dari rakyat Thailand, dan mereka mempercayakan perwujudan harapan tersebut pada partai politik yang relatif masih baru.

Tingkat partisipasi masyarakat yang tinggi dalam pemilihan 14 Mei adalah pesan lain bahwa rakyat Thailand ingin negara mereka mengadopsi sistem demokrasi universal dan mengakhiri kungkungan berlebihan dari keluarga kerajaan. Demokrasi seperti yang kita kenal adalah antitesis dari politik yang didominasi militer. Dan konstitusi Thailand telah diamandemen 18 kali untuk mengakomodasi kepentingan militer dan keluarga kerajaan.

Viewpoint

Every Thursday

Whether you're looking to broaden your horizons or stay informed on the latest developments, "Viewpoint" is the perfect source for anyone seeking to engage with the issues that matter most.

By registering, you agree with The Jakarta Post's

Thank You

for signing up our newsletter!

Please check your email for your newsletter subscription.

View More Newsletter

Memenangkan 151 kursi Majelis Rendah, MFP mengungguli Partai Pheu Thai yang dipimpin mantan perdana menteri Thaksin Shinawatra, yang sebetulnya populis dan antimiliter, yang hanya bisa mendapatkan 141 kursi. Sebelum hari pemungutan suara, putri Thaksin, Paetongtarn Shinawatra, 36 tahun, sudah diramalkan akan menjadi perdana menteri, mengikuti jejak ayah dan bibinya, Yingluck Shinawatra.

Menyusul kemenangan itu, Ketua MFP, Pita Limjaroenrat, 42 tahun, menyatakan kesiapannya untuk menduduki kursi PM dan mengklaim bahwa partai-partai oposisi telah menyetujui berkoalisi dengannya. Pihak Thaksin telah mengkonfirmasi rencana aliansi tersebut. Tetapi karena Thailand tidak memiliki tradisi kekuatan oposisi yang kuat, koalisi tersebut terancam goyah dan cepat runtuh.

United Thai Nation Party pimpinan PM Prayuth Chan-ocha hanya mampu meraih 36 kursi. Prayuth, yang berkuasa melalui kudeta pada 2014, menolak mengakui kekalahan, mungkin karena dia melihat masih ada celah untuk mempertahankan kekuasaan.

Panglima militer Thailand Jenderal Narongpan Jitkaewthae telah menyatakan militer akan menerima hasil pemilu dan menahan diri dari melakukan kudeta. Semoga jenderal dan petinggi tentara lainnya memenuhi janji mereka. Jika tidak, artinya mereka mengkhianati rakyat Thailand.

Pemerintah oposisi juga dapat menyebabkan Thailand menjadi monarki konstitusional seperti yang dipraktekkan di Inggris dan beberapa negara Eropa lainnya. Faktanya, monarki Thailand telah kehilangan pesonanya sejak Raja Maha Bhumibol Adulvadej Maharaj mangkat pada Oktober 2016. Mendiang Raja Bhumibol, raja yang paling lama menjabat, dikenal karena kebijaksanaan dan kepeduliannya terhadap pembangunan Thailand.

Masyarakat Thailand telah lama menuntut penghapusan hukum lèse-majesté yang kejam, yang melarang rakyat membuat pernyataan atau mengeluarkan pendapat yang meremehkan raja dan keluarga kerajaan. Setiap pelanggaran dapat diganjar hukuman penjara hingga 15 tahun. Lebih dari 200 orang didakwa dengan undang-undang tersebut ketika terjadi protes besar-besaran berupa demonstrasi di jalanan pada 2020.

Masyarakat telah bersuara. Pertanyaannya kini, apakah militer dan kerajaan Thailand akan menghormati vox populi, suara rakyat. Sekarang seluruh pandangan ASEAN dan dunia mengarah pada mereka.

 

 

 

 

 

 

Your Opinion Matters

Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.

Enter at least 30 characters
0 / 30

Thank You

Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.