TheJakartaPost

Please Update your browser

Your browser is out of date, and may not be compatible with our website. A list of the most popular web browsers can be found below.
Just click on the icons to get to the download page.

Jakarta Post

Bukan perpisahan dengan buku

Editorial board (The Jakarta Post)
Jakarta
Sat, May 27, 2023

Share This Article

Change Size

Bukan perpisahan dengan buku Umar Wirahadi Kusuma, owner of the Papat Limo bookstore in Blok M Square mall, South Jakarta, poses among piles of secondhand books on Sept. 8, 2022. Umar said his revenue dropped by around 70 percent over the last decade. (JP/Nina A. Loasana)
Read in English

K

esedihan menghantui ketika mendengar kabar bahwa Gunung Agung, salah satu rantai toko buku tertua di Indonesia, akan tutup tahun ini. Setelah 70 tahun, toko buku legendaris itu akan menutup lima gerai yang saat ini masih tersisa, mengakhiri kerugian yang terjadi selama satu dekade belakangan.

Ditutupnya toko buku tampak seperti ramalan yang jadi kenyataan tentang era digital. Semua yang berbentuk fisik, dari musik, buku, dan bahkan uang, akan berubah menjadi virtual.

Gunung Agung tidak sendiri. Toko buku Borders dari Amerika Serikat sudah lama menghilang dari pasar, sementara toko buku Barnes & Noble mulai menutup beberapa gerai. Di sisi lain, ada Kinokuniya Singapura yang sedang berjuang agar gerainya di Singapura dan Indonesia tetap buka.

Perlu pengamatan lebih dekat agar paham bahwa industri buku tidak melulu suram penuh malapetaka. Kutu buku masih hadir di antara kita; hanya saja para “kutu” tersebut mungkin lebih suka hidup di tempat lain.

Toko-toko buku besar, yang menyediakan alat tulis dan kebutuhan hobi selain buku, boleh saja gulung tikar. Namun, toko buku independen berbiaya operasional rendah, tapi punya hubungan erat dengan komunitas, justru berkembang pesat.

Di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Denpasar, dan banyak kota lainnya, toko-toko buku independen bertumbuhan, menyatukan toko dengan kafe, sekaligus menjalankan fungsi sebagai penerbit kecil. Fenomena yang sama juga terjadi di AS. Terlepas dari kondisi pandemi COVID-19, yang memaksa banyak pengecer berhenti berdagang, rantai toko buku independen baru justru bermunculan. Mereka fokus pada komunitas, kebanyakan imigran dan orang kulit berwarna, mayoritas di lokasi tempat toko buku tersebut membuka gerai.

Viewpoint

Every Thursday

Whether you're looking to broaden your horizons or stay informed on the latest developments, "Viewpoint" is the perfect source for anyone seeking to engage with the issues that matter most.

By registering, you agree with The Jakarta Post's

Thank You

for signing up our newsletter!

Please check your email for your newsletter subscription.

View More Newsletter

Yang mungkin tidak lagi relevan adalah toko buku seluas perpustakaan, dengan deretan katalog berjajar; juga barisan rak panjang yang sering butuh banyak usaha untuk dijelajahi. Semua makin tidak penting terutama jika seseorang sudah punya satu judul buku yang akan dicari di kepalanya.

Sebuah toko buku besar, yang menyediakan hampir segala hal, termasuk sofa nyaman dan kadang juga ada kantinnya, dulu merupakan resep sukses khas Borders serta Barnes & Noble. Siasat itu diikuti toko buku besar lainnya. Persis yang ditampilkan dengan sangat baik dalam film You've Got Mail, pada 1980-an dan 1990-an, jaringan toko buku mencaplok pesaing mereka yang lebih kecil. Kekuatan modal memungkinkan mereka menawarkan berbagai macam buku dan kenyamanan bagi para pelanggan.

Belakangan, arah angin berubah. Puluhan tahun setelah penemuan era digital, orang terbiasa membeli buku yang mereka inginkan secara daring. Bisa juga membaca e-book.

Faktanya, munculnya toko daring adalah alasan matinya Borders pada 2011. Ia memilih untuk memperluas toko fisik dan bagian CD serta DVD-nya, kemudian mengalihdayakan layanan daring ke Amazon. Barnes & Noble memilih untuk mengembangkan bisnis digital dengan berinvestasi di toko daring, dan bahkan mengembangkan aplikasi baca digitalnya sendiri, yaitu Nook.

Satu dekade setelahnya, harga sewa gedung terus meroket. Bukan hanya mempengaruhi toko buku atau perusahaan penerbitan, tetapi juga berdampak pada bisnis restoran dan industri elektronik. Karena kota semakin padat, banyak kemacetan yang membuat perjalanan menjadi semakin melelahkan. Berbelanja dari rumah jadi solusi mudah yang nyaman.

Bisnis ritel buku tampaknya telah berkembang dan menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat dan orang-orang yang terlibat.

Amazon, yang dulu menyelamatkan Borders, entah mengapa secara ironis mencoba mendirikan toko fisik yang menjual buku, mainan, dan perlengkapan rumah tangga. Namun kemudian Amazon menutup semua gerainya di AS dan Inggris pada 2022. Lalu Amazon fokus memperluas bisnis menjadi toko kelontong dan toko serba ada.

Kinokuniya lain lagi. Setelah menutup gerai kesayangannya di Plaza Senayan, Jakarta Selatan,  Kinokuniya membuka toko lain, yang seluas dan senyaman tempat lamanya itu, di Pantai Indah Kapuk. Ini adalah kawasan baru di tanah reklamasi Jakarta Utara yang dihuni masyarakat kelas atas.

Kesimpulannya, buku dan toko buku belum tamat. Yang terjadi hanya sekadar pergantian peran. Era digital mungkin telah jadi norma, dan kita rasakan juga kekurangannya. Buku, baik berbentuk fisik atau digital, tidak saling menggantikan karena keduanya sama-sama jadi pelengkap dalam hidup kita.

Your Opinion Matters

Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.

Enter at least 30 characters
0 / 30

Thank You

Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.