TheJakartaPost

Please Update your browser

Your browser is out of date, and may not be compatible with our website. A list of the most popular web browsers can be found below.
Just click on the icons to get to the download page.

Jakarta Post

Dengarkan pemilih muda atau binasa

Editorial Board (The Jakarta Post)
Jakarta
Sat, July 8, 2023

Share This Article

Change Size

Dengarkan pemilih muda atau binasa Activists gesture during a protest march in Jakarta on Sept. 23, 2022 to mark the Global Day of climate Action. (AFP/Bay Ismoyo)
Read in English

Angka pasti sudah hadir: pemilih berusia muda akan mendominasi jumlah pemilih untuk Pemilu 2024.

Sekitar 114 juta orang Indonesia yang berhak mencoblos di tahun depan berusia di bawah 40 tahun. Dari jumlah itu, lebih dari 68 juta adalah kaum milenial yang lahir antara awal 1980-an hingga pertengahan 1990-an. 46 juta sisanya adalah kelompok masyarakat yang dikenal sebagai Generasi Z, lahir antara pertengahan 1990-an hingga dekade pertama milenium ini. Sebagian mereka adalah para pemilih pemula, yang baru pertama kali memberikan suara.

Pemilihan umum 2024 tidak akan menjadi yang pertama dibanjiri pemilih muda Indonesia, hingga jumlahnya lebih dari pemilih usia di atas 40. Namun, Pemilu 2024 akan menjadi  pertama kalinya kita melihat lebih banyak Gen Z, kelompok demografis yang secara luas dianggap apatis pada politik.

Data dari Amerika Serikat membantu mengilustrasikan apatisme yang terasa di kelompok usia ini. Dalam pemilu paruh waktu di AS yang terakhir, yaitu pada November 2022, hanya 27 persen warga berusia 18 hingga 29 tahun yang memberikan suara mereka.

Apatisme bisa menimbulkan masalah bagi partai politik. Mereka jadi punya tugas berat membujuk para pemilih muda berpartisipasi dalam pemilu. Memang, bukan misi mustahil membuat para pemilih muda memberikan suara mereka, asal tahu caranya.

Sebagian besar, jika tidak semua, partai politik mengatakan mereka akan menempatkan kaum muda dan pemilih pemula sebagai inti dari kampanye 2024. Tapi belum ada yang punya program konkret. Beberapa partai bahkan merekrut politisi yang populer di kalangan anak muda untuk menjadi ketua tim sukses, seperti Ridwan Kamil dari Partai Golkar dan Sandiaga Uno dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Viewpoint

Every Thursday

Whether you're looking to broaden your horizons or stay informed on the latest developments, "Viewpoint" is the perfect source for anyone seeking to engage with the issues that matter most.

By registering, you agree with The Jakarta Post's

Thank You

for signing up our newsletter!

Please check your email for your newsletter subscription.

View More Newsletter

Partai lain mengambil langkah lebih jauh dengan mengubah citra diri mereka sebagai partai yang inklusif dan berorientasi pada kaum muda. Yang menempuh jalan ini misalnya Partai Amanat Nasional (PAN). PAN berupaya menanggalkan atribut keislaman dan beralih ke retorika nasionalis. Dan, seperti yang sudah diduga, kampanye partai juga mulai merambah media sosial, tempat para anggota partai bernyanyi dan menari di Instagram dan TikTok.

Tapi daya tarik semacam itu mungkin masih kurang untuk bisa mempengaruhi opini para pemilih muda. Jangan lupa, mereka lahir dan dibesarkan dalam kondisi harus menjalani rangkaian krisis yang bertubi-tubi. Kaum milenial dan Gen Z cenderung punya masalah yang lebih besar untuk dihadapi ketimbang generasi lain. Masalah iklim bisa jadi contoh paling jelas.

Kini, terdapat kekhawatiran nyata di antara kaum muda bahwa planet bumi hanya akan layak huni untuk beberapa dekade lagi. Kekhawatiran ini sudah direspon beberapa politisi dengan sering mengucapkan kata “iklim” dalam pidato mereka. Namun, pemilih muda menginginkan kandidat yang punya aksi iklim yang jelas. Singkatnya, sulit menarik Gen Z untuk hadir di tempat pemungutan suara.

Masalah iklim hanya salah satu dari banyak masalah nyata yang dihadapi kaum muda. Apa masalah lainnya? Banyak. Akankah mereka mampu membeli rumah? Apakah mereka akan bisa mengakses perawatan kesehatan yang terjangkau saat sakit? Bisakah mereka mendapatkan pekerjaan tetap yang baik tanpa kemungkinan tersaingi kecerdasan buatan atau tergantikan oleh otomatisasi?

Politisi juga harus ingat bahwa yang termasuk golongan milenial dan Gen Z bukan hanya anak muda kaya berpendidikan tinggi, penikmat kopi kekinian, dan pengguna Instagram yang tinggal di kota-kota besar. Selain mereka, ada jutaan anak muda kurang mampu yang tinggal di luar kota besar, yang berjuang keras mencari nafkah hanya untuk mencukupi biaya hidup sehari-hari, menghidupi anak-anak, serta menyokong orang tua yang sudah lanjut usia. Orang-orang muda ini tahu apa yang mereka butuhkan, tetapi mereka kekurangan alat dan kekuatan untuk punya kemampuan membuat perubahan.

Jika para politisi punya keinginan merangkul para pemilih muda ini, mereka mungkin bisa lebih memahami masalah yang dihadapi kaum muda dan memikirkan cara membantu menyelesaikannya. Satu-satunya yang bisa dilakukan saat ini adalah mendekati mereka dan mendengarkan harapan mereka. Tapi, jangan pernah menghakimi atau menggurui. Satu hal yang pasti tidak disukai anak muda adalah diceramahi, terutama oleh orang asing. Dan lagi, tolong, jangan juga jual janji kosong.

Sekarang masih tergolong masa awal. Waktu pendaftaran calon belum dibuka hingga Oktober. Artinya, para calon politisi masih punya waktu menyiapkan strategi jitu untuk merayu pemilih milenial dan Gen Z.

Bagusnya, kenyataan demokrasi di Indonesia menunjukkan bahwa jumlah pemilih sejauh ini sangat tinggi. Dalam pemilihan umum 2019, jumlah pemilih mencapai 80 persen, salah satu yang tertinggi di antara negara demokrasi di dunia.

Partai politik tentu tidak ingin menodai rekor jumlah pemilih dengan mengecewakan pemilih muda hingga membuat mereka batal memberikan suara. Untuk semua politisi yang berencana mencalonkan diri tahun depan, rancang program Anda dengan lebih baik. Jika tidak, jangan harap tahun depan mayoritas pemilih muda itu bersedia repot-repot hadir ke tempat pemungutan suara, yang bertepatan dengan Hari Valentine.

Your Opinion Matters

Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.

Enter at least 30 characters
0 / 30

Thank You

Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.