idak mengherankan jika pertemuan negara-negara ekonomi Kelompok 20 (G20) baru-baru ini di India, yang membahas energi bersih, tidak mencapai kata sepakat tentang penghapusan penggunaan bahan bakar fosil secara bertahap.
Secara global, telah terjadi perubahan perilaku terkait penggunaan batu bara sejak perang Rusia-Ukraina, yang lalu memunculkan krisi energi di Eropa.
Sebelumnya, pada Februari, para menteri luar negeri Uni Eropa juga gagal menyepakati ajakan untuk berhenti menggunakan bahan bakar fosil secara global. Ajakan digaungkan saat Konferensi Iklim PBB (United Nations Climate Conference atau COP28). Kegagalan mencapai konsensus berujung pada kendala bagi para delegasi untuk secara formal mengadopsi narasi KTT iklim, yaitu mendukung penghentian penggunaan bahan bakar fosil.
Seharusnya, hal tersebut bukan alasan bagi pemerintah untuk lamban melangkah dalam menunjukkan komitmen mengurangi penggunaan bahan bakar fosil secara lebih signifikan. Sebagai mantan tuan rumah G20 yang memulai inisiatif KTT iklim tahun lalu, penolakan Indonesia terhadap proposal untuk melipatgandakan kapasitas energi terbarukan, yang jadi pengajuan utama di pertemuan India, seperti menunjukkan ketidakkonsistenan sekaligus pudarnya komitmen terhadap perang iklim.
Dalam dokumen Kontribusi yang Ditentukan Secara Nasional (Nationally Determined Contributions atau NDC) yang dikirim ke badan PBB untuk iklim UNFCCC, Indonesia menargetkan pengurangan emisi karbon sebesar 31,9 persen secara mandiri, atau sebesar 43,2 persen dengan bantuan internasional, pada 2030. Pemerintah juga telah mengumumkan rencana untuk tidak menggunakan batu bara pada 2056 dan mencapai emisi net-zero pada 2060.
Namun, pada 2022, pangsa energi berbasis batu bara meningkat hampir 10 persen menjadi 67,21 persen dalam bauran energi nasional, sementara energi terbarukan hanya tumbuh 1 persen menjadi 14,11 persen.
Indonesia dapat menggunakan beberapa bantuan dalam memperluas sumber energi terbarukannya. Di sinilah pembiayaan swasta dapat berperan lebih besar. Ada banyak harapan untuk Kemitraan Transisi Energi yang Adil (Just Energy Transition Partnership atau JETP) di akhir kepemimpinan Indonesia di G20 tahun lalu. Dalam perjanjian JETP, aliansi pemerintah dan sektor swasta dari negara maju berjanji memobilisasi pembiayaan awal dari publik maupun swasta sebesar $20 miliar dolar Amerika untuk mendekarbonisasi sektor energi Indonesia.
Sejauh ini, belum ada satu pun rencana yang terlaksana. Pemerintah Indonesia mengeluhkan lambannya pencairan dana dari JETP. Di sisi lain, negara-negara donor menunggu Indonesia menciptakan lingkungan kondusif yang sesuai untuk melaksanakan berbagai program transisi energi.
Pemerintah sangat tertarik untuk menghubungkan JETP dengan rencana memaksimalkan industri kendaraan listrik (electric vehicle atau EV) Indonesia. Karena itu, pemerintah berharap dana JETP dapat digunakan untuk memberi subsidi dan insentif bagi masyarakat yang membeli EV.
Namun pemerintah belum melangkah jauh di sisi lain, misalnya dalam meningkatkan regulasi untuk mendorong investasi di bidang tenaga surya, panas bumi, dan jenis energi terbarukan lainnya. Tampak ada keengganan mengendurkan pengaruh di sektor tenaga listrik yang selama ini dikuasai PT PLN. Akibatnya, reformasi, apalagi perbaikan iklim investasi, di bidang ketenagalistrikan tidak mungkin dilakukan.
Meski begitu, penolakan Indonesia terhadap komitmen ekspansi energi terbarukan yang lebih besar dapat dipahami. Sulit bagi pemerintah untuk membuat komitmen baru, mengingat pelaksanaan pengembangan sektor energi terbarukan di dalam negeri masih sangat tersendat-sendat.
Selain itu, pendanaan dari negara-negara maju sudah sering terbukti tidak dapat diandalkan. Jangan lupa nasib Dana Iklim Hijau. Mekanisme pendaaan Green Climate Fund dibentuk PBB pada 2009. Dalam kerangka kerja tersebut, negara-negara kaya berjanji memberikan $100 miliar setiap tahun untuk membantu negara-negara berkembang mengurangi emisi. Ternyata janji tidak terlaksana, mereka tidak pernah memenuhi target. Pada 2020, Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) mencatat bahwa negara-negara maju mengumpulkan $83,3 miliar dolar Amerika, jauh di bawah target.
Sekarang semuanya bagai masalah ayam dan telur. Mana yang lebih dulu? Klasik. Indonesia tentu harus bekerja lebih keras terkait transisi energi. Mungkin bisa dimulai dengan mereformasi peraturan untuk setiap pasar energi terbarukan, dari matahari hingga panas bumi. Indonesia harus benar-benar mengatasi masalah yang menghambat pengembangan setiap sumber energi.
Jika Indonesia masih gagal melakukan pengembangan energi terbarukan, apa gunanya memaksa pemerintah membuat komitmen lain, yang kita tahu tidak akan bisa dilakukan?
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.