TheJakartaPost

Please Update your browser

Your browser is out of date, and may not be compatible with our website. A list of the most popular web browsers can be found below.
Just click on the icons to get to the download page.

Jakarta Post

Bersiap sambut hawa mendidih

Editorial board (The Jakarta Post)
Jakarta
Tue, August 1, 2023

Share This Article

Change Size

Bersiap sambut hawa mendidih A wildfire on June 27, 2023 burns through grass and shrubs in Landasan Ulin district, Banjarbaru regency, South Kalimantan. Indonesia is bracing for more forest and peatland fires from a drier and hotter dry season due to the El NiƱo phenomenon. (Antara/Bayu Pratama S)
Read in English

T

ahun ini, cuaca lebih panas, dengan curah hujan lebih rendah. Lebih banyak kebakaran hutan, lalu banyak yang kekeringan. Selamat datang di musim kemarau yang terik!

Ya, beberapa daerah, Jakarta, misalnya, masih mengalami hujan minimal seminggu sekali. Tapi jangan tertipu, hujan itu bisa saja anomali lokal. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memperkirakan bahwa puncak musim kemarau akan terjadi antara Juli dan Agustus.

Musim kemarau tahun ini bukanlah kemarau biasa. Cuaca diramalkan lebih kering, akibat fenomena El Niño di atas Pasifik yang menyebabkan hawa lebih panas di seluruh nusantara. Ini pertama kalinya El Niño melewati Pasifik, setelah tiga tahun La Niña yang lebih dingin mengakibatkan curah hujan tinggi di seluruh negeri.

Posisi kita tepat di tengah-tengah jalur El Niño. Jadi, mari bersiap menghadapi kemarau yang lebih panjang dan berusaha keras mengurangi dampaknya yang akan mempengaruhi seluruh Indonesia. Saatnya pemerintah berpikir lebih jauh ke depan, bukan sekadar mewaspadai musim kemarau tahun ini saja. Karena, bisa jadi musim kemarau yang lebih panas ini adalah awal dari krisis yang lebih besar dan lebih dahsyat.

Beberapa daerah telah melaporkan terjadinya krisis air. Air bersih jadi langka. Penduduk beberapa desa di Jawa Tengah dan Jawa Timur serta Papua dilaporkan kesulitan mendapatkan air bersih dan harus mengandalkan tangki air dari pemerintah daerah tetangga. Rasanya hanya masalah waktu saja bagi daerah lain untuk juga menghadapi kekeringan.

Beberapa bagian hutan di Kalimantan dan Sumatera sudah mulai terbakar. Data resmi bahkan menunjukkan bahwa tahun ini kebakaran telah merusak lebih banyak lahan di daerah yang rawan terbakar, ketimbang yang terjadi tahun lalu. Menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, hutan Kalimantan Selatan yang terbakar luasnya hampir 2.300 hektar, naik dari 429 hektar yang dikonfirmasi tahun lalu.

Viewpoint

Every Thursday

Whether you're looking to broaden your horizons or stay informed on the latest developments, "Viewpoint" is the perfect source for anyone seeking to engage with the issues that matter most.

By registering, you agree with The Jakarta Post's

Thank You

for signing up our newsletter!

Please check your email for your newsletter subscription.

View More Newsletter

Musim kemarau yang lebih gersang juga dapat menyebabkan kabut lintas batas seperti yang terjadi pada 2015 dan 2019, jika Indonesia gagal memitigasi kebakaran hutan. Salah satu think tank Singapura telah mengeluarkan peringatan merah untuk kabut lintas batas, akibat naiknya risiko kebakaran lahan dan hutan di Indonesia dan Malaysia. Sinyal merah adalah peringkat bahaya asap tertinggi, dan kali Ini pertama kalinya dikeluarkan di Asia Tenggara. Terakhir, sinyal merah dikeluarkan pada 2019, ketika kebakaran melanda 1,6 juta ha di Indonesia.

Skenario paling menakutkan dari datangnya musim kemarau adalah dampaknya terhadap cadangan makanan kita. El Niño diprediksi akan mengurangi produksi beras hingga 5 persen dari target tahun ini, meskipun kalangan pengusaha lebih menyalahkan tantangan logistik ketimbang cuaca. Pemerintah memang mulai mendistribusikan lebih banyak beras, terutama bagi masyarakat miskin. Namun, kita mungkin perlu strategi lain jika cadangan beras Badan Urusan Logistik (Bulog) ludes lebih cepat dari waktu yang diperkirakan.

Musim kemarau tahun ini mungkin saja menjadi awal dari masa depan yang lebih buruk. Meskipun ini mungkin merupakan musim kemarau terpanas dalam hidup kita, bisa saja musim ini sekaligus jadi yang terdingin selama sisa hidup kita.

Menurut badan cuaca PBB dan Eropa, bulan Juli "sangat mungkin" menjadi bulan terpanas dalam catatan. Bahkan Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres pun mengatakan bahwa kita telah melewati era pemanasan global dan sedang menyongsong tahun “pendidihan global”.

Pemerintah perlu melihat sangat jauh ke depan. Pertanyaannya bukan lagi semacam “bagaimana masyarakat bisa makan nasi sampai akhir tahun ini?” tetapi  harus “bagaimana kita bisa punya cukup makanan setiap tahun?”. Kita butuh solusi berkelanjutan yang nyata untuk hawa yang mulai mendidih dan bukan sekadar tindakan penghijauan ala kadarnya. Solusinya harus tepat guna dan bukan membuka perkebunan pangan yang pada akhirnya menciptakan lebih banyak masalah, karena perkebunan dibuat dari hutan yang dibuka, yang artinya justru mengurangi penghijauan. Sungguh bukan solusi keren.

Tak perlu banyak bicara. Mari bergegas bersiap, dunia yang mendidih sudah di depan mata.

Your Opinion Matters

Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.

Enter at least 30 characters
0 / 30

Thank You

Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.