anyak orang mungkin terkejut mendengar bahwa Indonesia, produsen nikel terbesar di dunia, juga mengimpor komoditas tersebut. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) impor yang sudah masuk berjumlah hampir 54.000 ton pada semester pertama 2023, naik dari 22.500 ton pada 2022.
Perusahaan pengolah nikel di Indonesia punya banyak alasan untuk mengimpor mineral tersebut, dan tidak memanfaatkan cadangan domestik. Hampir seluruh impor nikel tahun ini berasal dari Filipina, produsen nikel terbesar kedua di dunia.
Faktor utama di balik peningkatan impor adalah kapasitas peleburan di dalam negeri yang naik secara besar-besaran, dalam dalam beberapa tahun terakhir. Pemerintah berhasil memaksa perusahaan pertambangan untuk berinvestasi besar-besaran dalam pengolahan bahan mentah di dalam negeri.
Terlalu asyik dengan pembangunan di hilir telah mengurangi perhatian pemerintah pada sisi hulu usaha.
Peralihan Indonesia dari eksportir bijih nikel menjadi importir menandai keberhasilan rencana pemerintah untuk meningkatkan rantai nilai komoditas. Meski demikian, penting untuk menjaga keseimbangan pasokan dan permintaan dalam negeri karena industri hilir memerlukan jaminan keamanan pasokan. Dalam konteks geopolitik saat ini, kuncinya terletak pada swasembada mineral penting.
Menurut data Survei Geologi Amerika Serikat, Indonesia punya sekitar 21 juta ton cadangan nikel, setara dengan Australia. Namun, produksi tahunannya adalah sekitar 1,6 juta ton, yang berarti cadangannya akan segera habis.
Eksplorasi cadangan baru harus dipercepat untuk mengimbangi aktivitas penambangan.
Sebagian besar perusahaan pertambangan akan dengan senang hati hanya fokus pada eksplorasi dan produksi nikel, lalu menyerahkan pemrosesannya kepada pihak lain. Bagaimana pun, menambang adalah sumber hidup mereka.
Namun, para penambang terpaksa menghabiskan sebagian besar waktu, tenaga, dan dana mereka untuk membangun smelter dan fasilitas pemrosesan lainnya. Para analis sempat mengatakan kepada The Jakarta Post bahwa perusahaan pertambangan, dan bank yang mendanai mereka, perlu ekosistem bisnis yang lebih menguntungkan untuk meningkatkan tingkat eksplorasi nikel.
Untuk menarik pendanaan, proyek eksplorasi dan produksi harus patuh pada standar lingkungan global, termasuk persyaratan penutupan tambang. Perusahaan-perusahaan kecil, dan tentu saja banyak operasi penambangan liar, sering kali gagal memenuhi standar-standar ini. Namun LSM dan media tampaknya hanya memperhatikan perusahaan multinasional besar.
Saat ini, sedikit saja ada kesan bahwa produksi nikel Indonesia berdampak buruk terhadap lingkungan, dapat mempengaruhi permintaan baik di hulu maupun hilir, yang akhirnya menghambat investasi. Karena itu, perluasan eksplorasi dan produksi harus sangat hati-hati dan terkendali.
Sementara itu, pengembangan industri hilir harus terus dilakukan secara maksimal. Peleburan bijih nikel hanyalah proses permulaan. Untuk mendapatkan nilai tambah dari komoditas ini, Indonesia perlu rantai pasokan yang komprehensif, mencakup industri baja tahan karat dan industri elektronik, serta tentu saja industri baterai dan kendaraan listrik (electric vehicle atau EV) yang banyak digaung-gaungkan.
Rantai pasokan ini tidak akan terbentuk dengan sendirinya. Indonesia memang punya cadangan nikel melimpah, tetapi cadangan ini hanyalah sekadar landasan awal bagi pengembangan industri yang selanjutnya.
Tampaknya Indonesia terlalu berlebihan memperlakukan nikel. Pejabat pemerintah memanfaatkan hampir setiap kongres atau konferensi global sebagai kesempatan memamerkan kelimpahan cadangan nikel di negara ini, seolah-olah hal itu saja sudah cukup meyakinkan calon investor agar mengucurkan uang.
Namun hanya berkah alam saja tidak akan meyakinkan Tesla, BYD, atau pemain EV global lainnya untuk membuka jalur penjualan di Indonesia, terutama karena lithium hadir sebagai alternatif pengganti nikel untuk industri baterai EV. Pemerintah sangat bergantung pada kebijakan soal nikel, sebagian besar melalui larangan ekspor, untuk membuat dunia usaha berinvestasi pada fasilitas kilang dan peleburan, sebagai landasan industri hilir. Perlu banyak dukungan untuk meyakinkan produsen EV global agar membangun fasilitas-fasilitas lain yang dibutuhkan di Indonesia.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.