TNI menggunakan istilah OPM tentu bukan sekadar masalah semantik biasa. Kita tunggu langkah mereka untuk menumpas kelompok separatis yang memperjuangkan kemerdekaan Papua tersebut.
ersiaplah menghadapi terjadinya lebih banyak kekerasan di Papua, menyusul keputusan Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk menyebut Organisasi Papua Merdeka (OPM) dengan nama aslinya, yang menunjukkan latar belakang gerakan separatis tersebut. TNI menghilangkan eufemisme. Padahal, sebutan lain kerap digunakan di masa lalu, untuk menghindari pengakuan terhadap kelompok yang berada di wilayah paling timur Indonesia tersebut.
TNI selama ini menghindari penggunaan nama lengkap serta singkatan kelompok tersebut, dan menyebutnya sebagai kelompok separatis teroris (KST) di Papua.
Polri bahkan sama sekali tidak menggunakan istilah “separatis” dan masih menyebut kelompok tersebut sebagai kelompok kriminal bersenjata (KKB). Dalam pemberitaan, sebagian besar media lokal mengikuti sebutan yang dipakai polisi.
Perubahan yang dilakukan TNI, dengan menyebut nama OPM, mungkin lebih dari sekadar masalah semantik. Ada implikasi operasional dan politik. Di satu sisi, hampir pasti penyebutan itu berarti akan semakin banyaknya operasi militer di Papua. Selama satu dekade terakhir, pemerintah telah mengadakan beberapa operasi militer untuk membendung ancaman KST yang semakin besar.
Pada 10 April lalu, Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto mengumumkan bahwa sejak hari itu, militer akan menyebut KST di Papua sebagai OPM, sesuai nama yang mereka nyatakan sendiri. Dia tidak membedakan antara OPM dan pasukan bersenjatanya, Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB). TPNPB sempat bentrok dengan pasukan keamanan di wilayah tersebut.
Dengan menerima nama OPM, Agus mengatakan bahwa TNI menyatakan pengakuannya terhadap adanya “negara di dalam negara” yang tidak bisa ditolerir. “Kami tidak akan tinggal diam. Mereka adalah pemberontak bersenjata,” tambah Agus.
Menurut para analis militer, menyebut anggota OPM sebagai pemberontak bersenjata artinya menghilangkan keraguan di sisi pasukan keamanan untuk menumpas mereka. Hal tersebut sudah sejalan dengan aturan internal kemiliteran dan hukum kemanusiaan internasional.
Akan jauh berbeda jika mereka dianggap sebagai penjahat, seperti yang telah ditetapkan oleh polisi selama ini.
Presiden Joko “Jokowi” Widodo belum mempertimbangkan cara mengatasi OPM. Meskipun pemerintah menetapkannya sebagai organisasi teroris pada 2022, dan menyebutnya sebagai “geng kriminal”. Tetapi, dengan menyebut pemberontak sebagai pelaku kriminal, penanganan terhadap para pemberontak berada di tangan polisi, bukan militer.
Secara teknis, jika mengatasi pemberontak jadi tugas polisi, artinya polisi akan memimpin setiap operasi kontraterorisme, dan pihak militer akan berperan sebagai petugas cadangan saja. Pada kenyataannya, militer menjalankan operasinya sendiri untuk memburu para pemberontak, tanpa bergantung pada polisi.
Secara politis, eufemisme tersebut berfungsi untuk mencegah internasionalisasi konflik Papua. Diplomat Indonesia telah menggunakan sebutan yang digunakan polisi, yaitu KKB, di forum internasional. Dengan begitu, para diplomat Indonesia menegaskan bahwa masalah Papua adalah urusan domestik yang tidak boleh diintervensi oleh negara lain.
Ketegangan telah meningkat di Papua selama setahun terakhir, dengan meningkatnya bentrokan antara pasukan keamanan Indonesia dan para pemberontak separatis. Tak terelakkan, sejumlah warga sipil menjadi korban. Ada juga laporan tentang kekejaman yang melanggar hak asasi manusia, yang dilakukan oleh kedua belah pihak.
Meningkatnya eskalasi ini berarti bahwa pendekatan ekonomi dan kesejahteraan yang dilakukan Jokowi untuk mengatasi konflik di Papua tidak memberikan dampak yang diharapkan.
Sejak menjabat pada 2014, Presiden nyaris 20 kali mengunjungi Papua. Namun, infrastruktur ekonomi yang dibangun oleh pemerintahannya, termasuk jalan yang menghubungkan kota-kota terpencil di kawasan hutan, hanya bermanfaat bagi pendatang, dan sedikit sekali membantu kehidupan penduduk asli Papua.
Tidak jelas jika langkah Agus menyebut nama OPM telah melalui izin Jokowi.
Jika perubahan ini diteruskan, pada akhirnya dapat mengubah situasi di lapangan secara drastis. Pengakuan terhadap OPM sebagai kelompok separatis akan secara efektif menyerahkan perjuangan memberantas pemberontak kepada TNI. Lebih jauh lagi, para diplomat kita harus memikirkan strategi baru guna mencegah internasionalisasi konflik tersebut.
Inisiatif awal dialog yang dibuat oleh Presiden Jokowi telah makin pudar, digantikan dengan meningkatnya bentrokan antara pemberontak dan pasukan keamanan. Memang, harus diakui, menetapkan OPM sebagai kelompok teroris pada 2022 telah mempersempit ruang dialog.
Kini, dengan tekad TNI untuk menumpas OPM, ruang tersebut mungkin akan segera tertutup sepenuhnya.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.