Salah satu kekejaman paling besar dari ketidakadilan adalah bahwa dalam banyak kasus, yang jadi korban adalah kaum lemah dan terpinggirkan. Si kuat, pemenangnya.
aru-baru ini, vonis bebas bagi Gregorius Ronald Tannur, putra mantan anggota DPR Edward Tannur, atas tuduhan pembunuhan, menunjukkan bahwa ketidakadilan masih terus menjadi ancaman bagi supremasi hukum di Indonesia.
Langkah jaksa penuntut umum yang pada Senin 5 Agustus mengeluarkan keterangan hendak melawan putusan Pengadilan Negeri Surabaya merupakan keputusan yang menuju arah yang benar. Vonis bebas itu tidak hanya merupakan olok-olok logika, tetapi juga akan mengikis kepercayaan publik terhadap sistem peradilan di negara ini.
Beberapa minggu sebelum putusan kontroversial bagi Ronald pada 24 Juli tersebut, publik telah dikejutkan oleh tindakan salah tangkap terhadap seorang kuli bangunan bernama Pegi Setiawan. Pegi dituduh terkait kasus pembunuhan yang terjadi pada 2016 di Cirebon, Jawa Barat. Polisi tidak terpengaruh oleh liputan media yang terus-menerus, serta tekanan publik yang makin besar, yang menuntut kejelasan atas penangkapan Pegi. Namun, pengadilan lalu memutuskan bahwa polisi telah keliru dan memerintahkan pembebasan Pegi.
Dalam putusan untuk Ronald, majelis hakim Pengadilan Negeri Surabaya tampaknya mengabaikan semua bukti yang diajukan. Bahkan pengadilan tidak menggubris laporan otopsi. Pengadilan beralasan tidak yakin bahwa terdakwa Ronald telah membunuh pacarnya, Dini Sera Afriyanti. Para hakim mengatakan bahwa dalam kejadian pada Oktober tahun lalu itu, Ronald telah membawa Dini ke rumah sakit. Artinya, ia justru mencoba menyelamatkan hidup sang kekasih.
Penyelidikan polisi menemukan bahwa Ronald telah menendang dan mencekik Dini. Ronald juga didakwa memukul kepala Dini beberapa kali dengan botol tequila selama pertengkaran di klub karaoke, yang berlokasi di sebuah pusat perbelanjaan. Kekerasan berlanjut di tempat parkir mal. Di sanalah Ronald diduga melindas Dini yang menolak masuk ke mobil bersamanya.
Jaksa mendakwa Ronald dengan pasal pembunuhan, dengan kemungkinan pelanggaran yang lebih ringan berupa pembunuhan tidak disengaja atau penyerangan berat. Jaksa meminta pengadilan menjatuhkan hukuman 12 tahun penjara dan memerintahkan Ronald membayar ganti rugi kepada keluarga Dini sebesar Rp263 juta.
Laporan otopsi menemukan bahwa Dini meninggal karena pendarahan dalam, organ hatinya juga pecah akibat trauma karena pukulan benda tumpul. Pengacara yang mewakili keluarga Dini juga memberi bukti berupa foto memar di lengan atas, yang cocok dengan bekas roda mobil. Namun, para hakim mengaku sangat yakin bahwa Dini meninggal karena penyakit yang disebabkan oleh penyalahgunaan alkohol.
Betul bahwa kegagalan penegakan hukum dapat terjadi di mana saja di dunia. Namun, tidak berarti kita dapat bertoleransi atau membenarkan ketidakadilan. Jika hukum dibiarkan tidak memutuskan hal yang benar, akan sangat sulit bagi lembaga peradilan dan penegak hukum untuk mendapatkan kembali kepercayaan publik.
Salah satu kekejaman paling besar dari ketidakadilan adalah bahwa dalam banyak kasus, yang jadi korban adalah kaum lemah dan terpinggirkan. Pegi dalam kisah pembunuhan di Cirebon, misalnya. Sementara, sang pemenang adalah si kuat, seperti dalam kasus Ronald.
Jangan pernah melupakan ketidakadilan mengerikan lainnya, dalam kasus petani Sengkon dan Karta dari Kota Bandung, Jawa Barat. Mereka berdua dipenjara masing-masing selama 12 dan 7 tahun atas pembunuhan sepasang suami istri pada 1974. Di bawah penyiksaan polisi, mereka mengakui kejahatan yang tidak mereka perbuat. Mereka dibebaskan hanya setelah pembunuh yang sebenarnya mengakui kejahatan tersebut.
Contoh kasus besar lainnya adalah hukuman penjara yang diberikan kepada orang-orang yang terlibat dalam pembunuhan aktivis hak asasi manusia Munir Thalib pada 2004. Munir terbukti diracun menggunakan arsenik. Hingga hari ini, polisi masih belum menemukan dalang di balik pembunuhan tersebut. Banyak pihak yakin bahwa kasus ini melibatkan para petinggi.
Kekeliruan dalam peradilan terjadi karena sejumlah alasan. Tetapi, sesungguhnya kesalahan dapat diminimalkan melalui penyelidikan ilmiah dan pengumpulan bukti. Selain itu, lembaga peradilan dapat meningkatkan standar pembuktian, untuk mencegah orang yang tidak berdosa divonis bersalah atau harus menghadapi tuntutan pidana. Organisasi masyarakat sipil dan media juga dapat berperan dengan menyuarakan penolakan terhadap pelanggaran tersebut.
Setiap sikap permisif kita atas ketidakadilan akan membuat mereka yang ingin mengeksploitasi sistem peradilan kita menjadi makin semena-mena.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.