Menemukan cara untuk menyumbangkan barang impor kepada orang kurang mampu, yang tidak dapat membeli barang baru, seharusnya tidak merugikan produsen dalam negeri, selama kebocoran ke pasar dapat dicegah.
pakah negara kita telah menjadi tempat sampah bagi orang lain? Meski pertanyaan itu terdengar sedikit kasar, beberapa perkembangan menunjukkan bahwa jawabannya bisa jadi lebih kasar lagi.
Impor pakaian dan produk lain – beberapa legal, yang lainnya tidak – telah lama menjadi masalah bagi industri dalam negeri. Industri Indonesia berjuang keras agar bisa menyaingi harga rendah barang-barang buatan luar negeri.
Banyak konsumen, tentu saja, senang mendapatkan beberapa barang murah. Namun, pemerintah tampaknya berpihak pada produsen.
Peraturan baru diberlakukan di berbagai lini, mulai dari bea cukai hingga perdagangan di lokapasar. Aturan itu melarang beberapa barang masuk ke Indonesia, dan membuat biaya masuk menjadi lebih mahal bagi barang-barang yang lain. Tetap saja, banyak produk masih berhasil melewati perbatasan negara, karena importir berusaha keras mencari cara agar bisa masuk ke pasar Indonesia yang sangat menarik.
Belum jelas cara menangani sejumlah besar barang ilegal yang disita oleh pihak berwenang, tapi pemerintah tidak menyetujui usulan mengubah barang selundupan menjadi bahan bakar industri untuk pabrik.
Tampaknya, pemikiran menjadikan barang selundupan jadi bahan bakar diajukan karena biaya yang lebih murah, setidaknya bagi pemerintah, dibandingkan jika harus menghancurkan barang impor. Tetapi, justru industri yang seharusnya diuntungkan telah menolak gagasan “aneh” itu. Usulan dilihat sebagai hal yang tidak praktis. Pihak industri telah mengaku pada media bahwa mereka tidak siap memanfaatkan produk yang akan dijadikan bahan bakar tersebut dengan baik. Kenyataannya, produknya memang macam-macam, tidak hanya tekstil, tetapi banyak jenis barang lainnya.
Selain tantangan teknis, mengapa perusahaan repot-repot berinvestasi dalam fasilitas untuk memanfaatkan bahan yang – menurut rencana pemerintah – pada akhirnya akan berhenti masuk ke Indonesia?
Karena itu, biar saja barang-barang tersebut terus menumpuk untuk saat ini.
Mungkin bahan baku energi yang lebih baik adalah kertas impor dan plastik bekas impor yang masuk Indonesia dalam jumlah yang makin lama makin banyak. Menurut data statistic resmi, impor kertas bekas naik 6 persen tahun lalu menjadi 3,24 juta ton, sementara impor plastik bekas meroket 30 persen menjadi 252.472 ton.
Namun, barang-barang itu juga terus menumpuk. Pasalnya, sebagian besar tidak cukup murni untuk didaur ulang dan berakhir di tempat pembuangan sampah ilegal.
Tiongkok, yang pernah menjadi importir bahan daur ulang terbesar, menghentikan praktik tersebut beberapa tahun lalu. Langkah itu diikuti negara-negara lain di kawasan. Akhirnya, Indonesia menjadi tujuan penting bagi Australia, Uni Eropa, dan Amerika Serikat, negara-negara asal barang-barang bekas tersebut.
Selain masalah sampah dari dalam negeri sendiri, kita juga mengimpor sampah negara lain.
Para pakar dan pelaku industri telah meminta pemerintah untuk mengembangkan industri daur ulang serta infrastruktur pengelolaan sampah. Kedengarannya cukup sederhana, tetapi kita tidak bisa berharap banyak karena masalah ini hanya meraih kemajuan kecil, setelah berlangsung selama bertahun-tahun.
Masalah impor barang ilegal dan impor barang bekas legal harus ditangani secara terpisah. Tapi, ada kesamaan di antara keduanya, yaitu kenyataan bahwa jika kita tidak dapat memproses dengan benar apa yang masuk ke negara ini, maka barang itu tidak boleh hadir sama sekali.
Dalam kasus barang ilegal, pasti ada cara yang lebih baik menanganinya, daripada menghancurkan berton-ton barang baru tersebut. Impornya mungkin ilegal, tetapi tidak ada yang salah dengan produk itu sendiri.
Tidak ada yang terkejut saat ada pengumuman bahwa beberapa kotak minuman keras atau narkotika ilegal yang disita telah dibakar habis, karena itu adalah kejahatan sosial. Tetapi, tentu akan sangat menyakitkan hati jika menyaksikan penghancuran sejumlah besar pakaian atau alas kaki, yang sangat dibutuhkan sekaligus tidak mampu dibeli, oleh banyak orang Indonesia.
Selain itu, di era ekonomi sirkular, ketika kita seharusnya mencoba menggunakan kembali dan mendaur ulang sebanyak mungkin, bagaimana kita bisa membenarkan tindakan memusnahkan barang yang bahkan belum pernah digunakan sama sekali sejak dibuat?
Menemukan cara untuk menyumbangkannya kepada orang miskin, yang tidak dapat membeli barang-barang baru, seharusnya tidak merugikan produsen dalam negeri. Tentu saja selama bisa mencegah kemungkinan kebocoran barang tersebut ke pasar.
Apa pun yang kita lakukan pada barang impor, baik itu kertas, plastik atau pakaian, akan menentukan apakah kita ini adalah tempat sampah atau bukan.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.