Para ahli politik masih memperdebatkan seberapa besar pengaruh orang terkenal dalam pemilihan umum. Bagaimana pun, kita punya alasan untuk mencemaskan partai politik yang mengeksploitasi pesona selebritas dan tokoh masyarakat.
abu 25 September menandai dimulainya musim kampanye untuk pemilihan kepala daerah (pilkada) yang dijadwalkan diselenggarakan pada 27 November di seluruh negeri. Para selebritas lintas generasi, dari aktor hingga komedian, akan bergabung dengan partai politik dan kandidat mereka dalam meramaikan kampanye. Kehadiran mereka diharapkan dapat meningkatkan peluang partai untuk memenangkan jabatan.
Di Jakarta, misalnya, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) telah meminta komedian Lies Hartono, atau lebih populer sebagai Cak Lontong, menjadi manajer kampanye untuk pasangan calon gubernur dan wakil gubernur dari internal partai, yaitu mantan sekretaris kabinet Pramono Anung yang berpasangan dengan Rano Karno. Rano adalah aktor merangkap politikus. Ia dikenal lewat peran utamanya dalam sinetron yang populer pada 1990-an, yaitu Si Doel Anak Sekolahan. Sinetron tersebut adalah penggambaran sebuah keluarga Betawi.
Di Banten, Partai Gerindra yang merupakan saingan PDI-P telah menunjuk aktor sekaligus pengusaha Raffi Ahmad sebagai manajer kampanye pasangan calon gubernur Andra Soni-Achmad Dimyati Natakusumah.
Bahkan sebelum mendaftarkan pencalonan mereka ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 28 Agustus, banyak kandidat yang mengusung nama-nama selebritas dan tokoh masyarakat untuk menarik minat pemilih. Puluhan tokoh masyarakat juga maju di banyak kabupaten dengan dukungan dari partai politik.
Beberapa tokoh dari dunia televisi dan seorang komedian bahkan muncul sebagai calon teratas di provinsi-provinsi di Jawa. Nama-nama tersebut muncul dalam berbagai survei yang diadakan sebelum para kandidat mengajukan pencalonan mereka.
Dengan latar belakang tersebut, masuk akal bagi para kandidat untuk meminta bantuan selebritas yang dapat menarik suara. Hal itu terutama mengingat tingginya jumlah pemilih yang belum menentukan pilihan. Juga jumlah mereka yang mungkin masih berubah pikiran setelah melihat kampanye, terlepas dari preferensi mereka saat ini.
Survei opini publik awal di provinsi-provinsi yang padat penduduk atau kancah laga pilkada utama, seperti Jakarta, Jawa Tengah, dan Sumatera Utara juga menunjukkan bahwa mayoritas responden lebih suka membuat pilihan di saat terakhir. Mereka akan menentukan pilihan dalam beberapa hari atau bahkan beberapa jam sebelum saat pemungutan suara tiba.
Menurut survei-survei tersebut, daya tarik kandidat dan pengakuan di antara para pemilih masih penting. Dan korelasi antara faktor-faktor ini mengikuti logika sederhana: Orang tidak akan memilih kandidat jika mereka tidak mengenalnya. Namun, menjadi terkenal tidak selalu berarti memperoleh suara, jika mereka tidak disukai.
Jadi, ada peluang bagi para kandidat untuk memimpin dengan meningkatkan popularitas melalui dukungan orang terkenal.
Dukungan semacam itu bukanlah hal baru. Dukungan semacam itu telah menjadi hal yang biasa dalam ajang kampanye pada pemilihan-pemilihan umum sebelumnya. Partai-partai politik perlu merekrut para artis dan musisi yang dapat menarik suara bagi partai. Alasannya tentu karena partai-partai itu berjuang tanpa ada sistem rekrutmen dan regenerasi anggota yang bisa diandalkan.
Para ahli politik masih memperdebatkan seberapa besar pengaruh orang terkenal dalam pemilihan umum. Tapi, kita punya alasan untuk mencemaskan tindakan partai-partai politik yang mengeksploitasi pesona selebritas dan tokoh masyarakat.
Memanfaatkan pesohor adalah upaya instan untuk memenangkan sejumlah suara. Dan hal itu terjadi karena partai politik gagal menemukan anggota mereka yang kompetitif untuk mengikuti pilkada, dengan platform kampanye yang kuat untuk mengatasi masalah di daerah masing-masing.
Sementara selebritas dapat membantu meyakinkan pemilih untuk pergi ke tempat pemungutan suara dan menggunakan hak pilih mereka. Pengaruh orang terkenal ini bisa berpengaruh terhadap dukungan publik, terutama jika pemilih tidak tahu banyak tentang para kandidat.
Untuk mengembangkan demokrasi yang sehat, partai politik dan kandidat mereka harus memprioritaskan pemberian pendidikan politik yang substantif. Mereka harus memberi informasi pada para pemilih tentang kebijakan dan program mereka, dan bukan mengandalkan sekadar taktik kampanye.
Untungnya, masih ada pemilih yang ingin berdiskusi tentang ide dan mengevaluasi secara kritis kualitas dan kebijakan kandidat.
Sebuah survei di Jawa Tengah menemukan bahwa memang spanduk dan papan reklame di tepi jalan, berita di TV, dan kunjungan juru kampanye terbukti menjadi sumber informasi tentang kandidat yang paling membantu. Namun, diskusi tatap muka dan terbuka antara kandidat dan pemilih dipandang sebagai metode yang paling dapat dipercaya untuk membangun kepercayaan di antara mereka.
Partai politik tidak dapat terus menerus mengandalkan kekuatan orang tenar untuk memenangkan suara. Mereka perlu menemukan solusi untuk mengatasi masalah regenerasi di partai mereka.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.