Saat ini, tantangan bagi Prabowo sebagai presiden adalah menemukan keseimbangan yang tepat, yang paling sesuai dengan kepentingan ekonomi, politik, serta keamanan nasional kita.
Dengan mengunjungi Amerika Serikat segera setelah lawatan ke Tiongkok minggu lalu, Presiden Prabowo Subianto telah memperjelas posisi Indonesia. Kunjungan itu menggambarkan bahwa Indonesia ingin berteman dengan keduanya. Lebih jauh, kunjungan juga menunjukkan bahwa, meskipun persaingan di antara mereka semakin sengit, Indonesia tidak berpihak pada salah satu negara.
Namun, kita belum dapat menarik banyak kesimpulan bahwa upaya penyeimbangan ini bebas dari unsur keberpihakan. Alasannya, kepemimpinan di AS akan berubah pada Januari tahun depan, setelah pemilihan presiden yang berlangsung bulan ini.
Adalah baik bahwa Prabowo, saat berada di AS, dapat berbicara dengan Donald Trump melalui telepon untuk mengucapkan selama karena telah memenangkan pemilihan. Dilihat dari klip video percakapan mereka yang menjadi viral di media sosial, keduanya telah menjalin hubungan yang baik. Namun, tawaran Prabowo untuk terbang menemui Trump secara pribadi di mana pun dia berada, tampaknya agak berlebihan.
Kita tidak boleh terlalu serius menanggapi pernyataan bersama yang dikeluarkan setelah pertemuan Prabowo dengan Presiden Joe Biden, yang akan lengser dari Gedung Putih. Namun, pernyataan tersebut tetap penting sebagai penyeimbang dari pernyataan yang dikeluarkan di Beijing, setelah pertemuan Prabowo dengan pemimpin Tiongkok Xi Jin Ping.
Kebijakan dalam dan luar negeri AS akan berubah drastis saat Trump menjabat pada bulan Januari. Jadi, terkait hubungan dengan AS di bawah Trump, komunikasi pertama yang terjadi minggu lalu bermakna penting.
Menemukan keseimbangan yang tepat selalu menjadi tantangan bagi setiap presiden Indonesia. Hal itu mengingat mandat yang jelas untuk menegakkan kebijakan luar negeri non-blok, terutama di tengah lanskap geopolitik yang saat ini tidak stabil.
Pendahulu Prabowo, Joko “Jokowi” Widodo mungkin telah membuat Indonesia bergeser lebih dekat ke Beijing, bahkan mungkin agak terlalu dekat. Akibatnya, secara ekonomi, kita menjadi terlalu bergantung pada Tiongkok. Prabowo, yang merupakan menteri pertahanan Jokowi pada masa jabatan kedua dan terakhirnya, sedikit membantu mengubahnya, dengan sedikit menyeimbangkannya melalui jalinan hubungan yang lebih erat dengan AS, di sektor keamanan.
Sekarang, tantangan bagi Prabowo sebagai presiden adalah untuk mencapai keseimbangan yang tepat yang paling sesuai dengan kepentingan ekonomi, politik, dan keamanan nasional kita.
Setelah berhasil mengesankan para CEO perusahaan besar AS dalam sebuah pertemuan di Washington DC minggu lalu, Prabowo harus memastikan bahwa birokrasi dan sistem hukum Indonesia sepenuhnya mendukung investasi mereka. Di masa lalu, faktor-faktor ini, juga korupsi yang merajalela, telah menghalangi masuknya lebih banyak investasi dari Barat.
Makan malam pribadi Prabowo dengan menantu Trump, Jared Kushner, merupakan bagian penting dari diplomasi ekonominya dengan pemerintahan AS berikutnya.
Namun, agar hubungan ini benar-benar berkembang, AS harus berhenti memperlakukan Indonesia, dan dalam hal ini memperlakukan ASEAN, sebagai benteng regional melawan Tiongkok. Dengan cara yang sama, Indonesia harus berhenti hanya memandang AS melalui kacamata perlawanan terhadap ketergantungan negeri ini pada Tiongkok. Juga jangan melihat AS sebagai penjamin keamanan di kawasan.
Ini bukanlah dasar yang baik untuk membangun persahabatan yang sehat, panjang, dan berkelanjutan. Tidak seorang pun dapat mengabaikan kondisi geopolitik, tetapi itu seharusnya bukan satu-satunya, atau bahkan bukan jadi faktor utama dalam membangun hubungan.
AS harus melihat Indonesia sebagai negara menengah yang sedang naik daun. Indonesia harus dilihat sebagai negara dengan jumlah penduduk terbanyak keempat dan sangat beragam, negara demokrasi terbesar ketiga, negara demokrasi terbesar di dunia muslim, dan negara dnegan ekonomi terbesar ke-16, yang sedang bergerak menuju salah satu dari lima negara terbesar dalam 20 tahun ke depan. Kepemimpinan Indonesia di ASEAN, dan potensinya untuk melawan Tiongkok, mungkin akan menyusul setelahnya, jika memang ada.
Sedangkan Indonesia harus menjadikan AS sebagai negara terkaya di dunia, paling maju dalam sains dan teknologi, paling kuat secara militer. Amerika adalah negara ketiga terpadat di dunia, dan sama beragamnya dengan Indonesia. Semua ini seharusnya menjadi alasan yang cukup baik untuk membangun hubungan yang bersahabat dan saling menghormati, tanpa melibatkan lanskap geopolitik yang terus berubah.
Terakhir, Prabowo harus segera mengisi jabatan duta besar Indonesia di Washington. Ia harus memilih orang terbaik untuk jabatan tersebut dan memberi orang tersebut waktu dan ruang untuk bekerja dalam menjalin hubungan yang lebih erat. Ia tidak boleh mengikuti kebiasaan Jokowi. Dulu, beberapa kali Jokowi mengirim orang terbaik untuk jabatan duta besar Indonesia untuk Amerika, tapi kemudian memanggil mereka pulang, setelah satu atau dua tahun, hanya gara-gara ia butuh mereka untuk urusan yang lebih penting di dalam negeri.
Membiarkan kantor kedutaan Indonesia di Washington kosong terlalu sering, serta terlalu lama, sama artinya dengan mengirimkan pesan yang salah mengenai pentingnya AS, atau tidak pentingnya negara itu, bagi Indonesia.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.