Sering kali, ketika korban kekerasan berbasis gender mencari bantuan polisi, mereka menghadapi penolakan, prosedur yang berbelit-belit, atau, lebih buruk lagi, tuduhan bahwa mereka sendiri yang melakukan kejahatan tersebut karena cara mereka berpakaian atau berperilaku.
Femisida, atau pembunuhan terhadap perempuan, atau anak perempuan, yang dilakukan oleh laki-laki, biasanya karena jenis kelaminnya, serta insiden kekerasan berbasis gender lain, sering sekali menjadi berita utama media nasional dan media lokal di negara ini.
Masalah ini tampaknya memburuk dengan pesat dalam beberapa tahun terakhir. Liputan berita tentang kekerasan terhadap perempuan menjadi makin banyak, sebagian berkat akses yang lebih luas ke internet dan media sosial di Indonesia.
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat adanya 95 kasus femisida di negara ini pada 2020. Dalam dua tahun berikutnya, angkanya naik menjadi 237, kemudian 307.
Meskipun jumlah femisida yang tercatat tahun lalu turun menjadi 159, banyak kelompok hak-hak perempuan percaya bahwa yang mereka gambarkan sebagai "bentuk paling ekstrem dari kekerasan berbasis gender" tidak akan pernah berakhir, jika penegak hukum tetap apatis tentang kasus-kasus tersebut. Sikap apatis penegak hukum membuka jalan bagi pelanggaran yang berulang.
Sering kali, ketika korban kekerasan berbasis gender mencari bantuan dari polisi, mereka dihadapkan pada penolakan, prosedur yang berbelit-belit atau, lebih buruk lagi, tuduhan bahwa mereka sendirilah pelaku kejahatan itu karena cara mereka berpakaian atau berperilaku.
Lebih jauh, sejumlah korban justru dilaporkan mengalami pelanggaran seksual tambahan dari petugas polisi ketika mengajukan laporan mereka.
Pada Mei lalu, seorang anggota Kepolisian Tanjung Pandan di Kepulauan Bangka Belitung, yang diidentifikasi sebagai Brigadir AK, dilaporkan menganiaya seorang siswi SMP yang melaporkan dugaan pemerkosaan oleh pengurus panti asuhan tempat ia tinggal dua tahun ini.
Kasus tersebut bukan satu-satunya kasus pelecehan seksual oleh aparat penegak hukum. Setiap tahun, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menerima laporan serupa.
Situasi yang mengerikan ini telah membuat sejumlah korban berhenti bicara. Entahlah berapa banyak jumlah korban yang tutup mulut, membuat mereka rentan terhadap kekerasan berulang. Sering kali, kekerasan terjadi di rumah mereka sendiri dan dilakukan oleh orang-orang dalam lingkaran dekat mereka.
Tahun lalu, Komnas Perempuan mencatat sekitar 290.000 kasus kekerasan terhadap perempuan di seluruh negeri. Dari angkat tersebut, sekitar 98 persen di antaranya terjadi “di ranah domestik”. Menurut laporan Komnas Perempuan, rumah, yang seharusnya menjadi tempat yang aman bagi perempuan, menjadi lokasi utama terjadinya kekerasan.
Badan PBB untuk kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, yang dikenal sebagai UN Women, baru-baru ini melaporkan bahwa 140 perempuan dan anak perempuan meninggal setiap hari di tangan kerabat dekat atau pasangan. Badan tersebut menggarisbawahi krisis global kekerasan berbasis gender dan kebutuhan mendesak untuk segera bertindak.
Laporan UN Women diterbitkan pada 25 November bertepatan dengan program tahunan 16 hari melawan kekerasan berbasis gender. Tanggal tersebut dipilih untuk menghormati kakak beradik Mirabal, tiga aktivis politik perempuan dari Republik Dominika, yang dibunuh secara brutal pada 1960, atas perintah penguasa negara tersebut.
Untungnya, masih ada harapan di Indonesia.
Peraturan Indonesia yang berlaku, seperti UU Pemberantasan Kekerasan Seksual tahun 2022 dan UU Pemberantasan Kekerasan dalam Rumah Tangga tahun 2004, telah meletakkan dasar bagi pemerintah dan penegak hukum untuk menangani kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan. Dalam hal ini, penanganan termasuk menawarkan perlindungan dan bantuan, segera setelah korban mengajukan laporan.
UU 2022 bahkan menyerukan pembentukan unit manajemen teknis regional untuk perlindungan perempuan dan anak. Lebih jauh, diadakan juga pendidikan dan pelatihan terpadu bagi penegak hukum dalam penanganan kasus kekerasan seksual.
Namun, masih ada masalah dalam penerapan undang-undang. Masih ada juga kurangnya komitmen dari pihak berwenang untuk memberikan perhatian dan pemikiran yang tepat bagi korban. Keadilan bagi korban kekerasan berbasis gender hanya dapat dicapai jika semua hak mereka terpenuhi, dan para pelaku bertanggung jawab secara sah serta dijatuhi hukuman yang adil.
Mari menyerukan agar tidak ada toleransi terhadap kekerasan berbasis gender. Serukan juga agar kasus pembunuhan terhadap perempuan dibedakan dari bentuk-bentuk pembunuhan lainnya dalam sistem hukum negara, untuk memberi pelaku efek jera yang lebih besar.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.