TheJakartaPost

Please Update your browser

Your browser is out of date, and may not be compatible with our website. A list of the most popular web browsers can be found below.
Just click on the icons to get to the download page.

Jakarta Post

Bersama tanggulangi banjir

Rasa berpuas diri terlalu cepat merupakan akar dari banjir tahunan di Jabodetabek. Akarnya adalah urbanisasi tak terkendali dan perencanaan kota yang buruk. Menganggap bencana ini sebagai kejadian rutin tahunan sama saja dengan menyerah pasrah. 

Editorial board (The Jakarta Post)
Jakarta
Fri, March 7, 2025 Published on Mar. 6, 2025 Published on 2025-03-06T15:07:53+07:00

Change text size

Gift Premium Articles
to Anyone

Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Bersama tanggulangi banjir Muddy water inundates a residential area on March 4, 2025, in Bekasi, West Java. (Reuters/Yuddy Cahya Budiman)
Read in English

 

Hujan deras yang melanda Jabodetabek pekan lalu telah meninggalkan konsekuensi yang menghancurkan. Air merenggut beberapa nyawa, termasuk seorang balita di Jakarta Selatan, dan memaksa ribuan orang lainnya meninggalkan rumah mereka demi keselamatan.

Salah satu daerah yang paling terdampak adalah kota satelit Jakarta, yaitu Bekasi. Delapan kecamatan, dari total 12, terendam banjir setinggi tiga meter. Tanggul di sepanjang sungai utama yang mengalir melalui kota di Provinsi Jawa Barat tersebut terbukti tidak mampu menahan gelombang air yang kuat.

Salah satu insiden paling dramatis terjadi di Mega Bekasi Hypermall, yang terletak di dekat Sungai Bekasi. Air berlumpur membanjiri lantai dasar mal dan menjebak banyak pembeli selama berjam-jam, pada Selasa 4 Maret.

Wali Kota Kota Bekasi Tri Adhianto mengatakan bahwa banjir telah "melumpuhkan" kota. Tapi, tampaknya ia melihat banjir sebagai bencana yang sifatnya siklus rutin tak terhindarkan. Buktinya, ia merujuk pada insiden serupa pada 2020 dan 2016. Menganggap banjir sebagai hal rutin bukan saja tidak berdasar, tetapi menyoroti kegagalan seorang pemimpin untuk memahami skala masalah. Hal itu juga menunjukkan keengganan para pemimpin untuk menemukan solusi jangka panjang atas masalah yang terus-menerus terjadi.

Viewpoint

Every Thursday

Whether you're looking to broaden your horizons or stay informed on the latest developments, "Viewpoint" is the perfect source for anyone seeking to engage with the issues that matter most.

By registering, you agree with The Jakarta Post's

Thank You

for signing up our newsletter!

Please check your email for your newsletter subscription.

View More Newsletter

Banjir berulang yang melanda Jabodetabek setiap tahun berasal dari kombinasi bencana akibat pembangunan yang cepat, perencanaan kota yang buruk, dan degradasi sungai yang meluas. Penurunan kualitas sungai terjadi juga di Ciliwung, yang membentang sejauh 120 kilometer di Bogor, Depok, dan Bekasi di Jawa Barat hingga ke Jakarta.

Badan Pengelola Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Citarum Ciliwung telah mencatat kerusakan yang mengkhawatirkan di daerah resapan air. Terjadi kondisi kerusakan yang nyata-nyata makin parah di daerah tersebut, hingga berada pada tingkat "kritis" atau "sangat kritis".

Enam puluh tiga hektar lahan di distrik Megamendung dan Cisarua di Bogor diklasifikasikan sebagai kritis, sementara 7.400 ha dianggap hampir kritis pada 2013. Hanya lima tahun kemudian, pada 2018, angka-angka ini meningkat drastis menjadi 4.600 ha yang diklasifikasikan sebagai "sangat kritis".

Kompas.com melaporkan bahwa tren serupa ditemukan di wilayah tengah dan hilir Ciliwung, yang meningkatkan kerentanan mereka terhadap banjir.

Meningkatnya kondisi lahan yang kritis bukan hanya akibat dari kekuatan alam. Lahan mengalami krisis sebagian besar merupakan konsekuensi dari pembangunan berlebihan yang tiada henti, tanpa perencanaan kota yang memadai.

Bekasi, yang dulu dikenal sebagai kota pinggiran dengan lanskap pertanian, telah menjadi pendorong utama perluasan bisnis ritel di Jabodetabek. Menurut agen properti Colliers Indonesia, kota ini telah mengalami lonjakan pembangunan pusat perbelanjaan baru. Pada Maret ini, diluncurkan salah satu mal terbesar di Asia Tenggara. Memang, pembangunan komersial besar-besaran ini melayani populasi kota yang saat ini mencapai 2,5 juta jiwa. Tapi, pembangunan tersebut mengorbankan daerah resapan air yang vital. 

Urbanisasi yang tidak terkendali di Kota Bekasi telah gagal memasukkan penciptaan ruang terbuka hijau. Padahal, ruang terbuka penting untuk mengurangi dampak banjir dan menjaga kesehatan lingkungan. Lebih buruk lagi, kurangnya ruang terbuka hijau dan sedikitnya infrastruktur pengelolaan air memperburuk kendala yang ditimbulkan oleh perubahan iklim. Hal itu termasuk curah hujan yang lebih tinggi dan banjir yang lebih sering terjadi. 

Sekarang adalah saatnya untuk solusi segera namun berkelanjutan demi menangani krisis banjir di Jabodetabek. Langkah ini akan membutuhkan upaya bersama antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. 

Gubernur Jakarta Pramono Anung telah mengumumkan rencana untuk berkoordinasi dengan para pemimpin di Jabodetabek untuk merancang solusi mengatasi banjir. Di sisi lain, sangat penting bagi Presiden Prabowo Subianto untuk campur tangan, guna memastikan perlindungan pada pusat ekonomi dan administrasi negara dari bencana lebih lanjut.

Yang jelas, memindahkan ibu kota ke Nusantara bukanlah solusi.

Presiden telah berulang kali mengajukan gagasan untuk mempercepat pembangunan apa yang disebut sebagai tanggul laut raksasa (giant sea wall atau GSW) di pantai utara Jawa. Pembangunannya akan termasuk di sepanjang Teluk Jakarta, untuk melindungi wilayah tersebut dari banjir pasang dan erosi pantai.

Namun, Presiden juga harus mengakui bahwa penurunan permukaan tanah perkotaan tidak semata-mata disebabkan oleh kekuatan alam. Kondisi itu juga melibatkan sejumlah besar faktor buatan manusia, seperti pembangunan yang tanpa kontrol dan kerusakan lingkungan, termasuk eksploitasi air tanah yang berlebihan. Semua itu memerlukan perhatian yang sama dan tindakan yang tepat sasaran.

Jika proyek GSW membutuhkan biaya jutaan dolar dan waktu pembangunan hingga puluhan tahun, pemerintah harus memulai langkah mitigasi yang paling mudah diakses dan menghemat biaya yang ada. Langkah yang bisa ditempuh termasuk merelokasi permukiman dari tepi sungai, memulihkan daerah resapan air yang kritis, memperketat penegakan zonasi, dan menerapkan tindakan untuk mengendalikan penurunan tanah.

Pada akhirnya, masa depan Jabodetabek bergantung pada pendekatan yang satu dan padu. Wilayah ini hanya akan menjadi lebih aman bagi penduduknya melalui tindakan kolektif yang didasarkan pada tanggung jawab bersama, serta berpedoman pada ilmu pengetahuan.

Your Opinion Matters

Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.

Enter at least 30 characters
0 / 30

Thank You

Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.

Share options

Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!

Change text size options

Customize your reading experience by adjusting the text size to small, medium, or large—find what’s most comfortable for you.

Gift Premium Articles
to Anyone

Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!

Continue in the app

Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.