Beberapa bahasa, terutama di Indonesia wilayah timur, termasuk Papua, Maluku, dan Maluku Utara, berada di ambang kepunahan.
Kami, seperti halnya orang Jawa lainnya, menyesalkan ucapan Presiden Prabowo Subianto baru-baru ini. Di sebuah acara resmi Gerindra, ia menyebut “ndhasmu”. Secara harfiah, kata Bahasa Jawa itu berarti "kepalamu". Kata itu menjadi umpatan kasar yang sangat merendahkan, karena kepala dianggap suci. Bagi orang Jawa, akan sangat aneh mendengar kata tersebut dalam suasana formal, apalagi diucapkan oleh seorang presiden.
Namun, faktanya, Presiden Prabowo menggunakan frasa tersebut pada perayaan hari jadi ke-17 Partai Gerindra, yang dipimpinnya, di hadapan khalayak yang meliputi kabinetnya dan pejabat tinggi partai dari koalisi pemerintahannya. Bisa saja hal itu berarti bahwa bagi Prabowo, ada penekanan hingga tingkat tertentu, juga niat tertentu, yang tidak dapat diungkapkan dengan cara lain, tidak peduli betapa tidak menyenangkannya hal itu didengar.
Indonesia memang memiliki kekayaan bahasa yang sangat beragam. Bahasa Jawa hanyalah salah satu dari ratusan bahasa daerah. Menurut data dari Badan Pengembangan Bahasa Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, negara ini memiliki 718 bahasa daerah dan 778 dialek. Bahasa-bahasa tersebut dituturkan oleh ratusan suku bangsa yang tersebar di ribuan pulau di negara kepulauan kita.
Beberapa bahasa daerah masih lestari dan berkembang karena beberapa faktor, termasuk jumlah penuturnya yang sangat banyak. Tetapi, berbeda halnya dengan bahasa daerah yang dituturkan oleh kelompok yang lebih kecil. Bahasa-bahasa daerah ini sekuat tenaga bertahan hidup di bawah tekanan bahasa nasional, Bahasa Indonesia. Belum lagi harus bersaing dengan bahasa-bahasa global seperti Bahasa Inggris, Bahasa Arab, Bahasa Mandarin, dan, saat ini, Bahasa Korea dan Bahasa Jepang.
Budaya populer Indonesia yang berpusat di Jakarta juga telah mendorong Bahasa Indonesia dialek Jakarta sebagai kekuatan dominan di kalangan anak muda di seluruh nusantara, selama beberapa dekade terakhir. Berkat siaran radio, TV, dan, setelah pergantian abad, konten internet yang disiarkan sepanjang waktu, masyarakat terbiasa dengan dialek tersebut. Dengarkan saja DJ dari stasiun radio top-40 mana pun di kota-kota kecil Indonesia sebagai buktinya.
Belum lagi praktik pencampuran bahasa yang semakin marak. Varian campuran dialek Jakarta dan Bahasa Inggris, sebanding dengan Singlish di Singapura, bahkan memiliki nama tak resmi, sekaligus semi-peyoratif, sebagai Bahasa Jaksel, akronim dari Jakarta Selatan. Menurut netizen, nama itu cocok karena Jakarta Selatan seharusnya merupakan distrik yang seharusnya lebih makmur di ibu kota, sehingga orang-orangnya banyak berkomunikasi dengan Bahasa Inggris.
Beberapa bahasa, terutama di wilayah timur, termasuk Papua, Maluku, dan Maluku Utara, berada di ambang kepunahan. Data pemerintah mengungkapkan bahwa 11 bahasa daerah telah musnah, dan 26 lainnya saat ini terancam punah.
Dalam upaya untuk melindungi keragaman bahasa, pemerintah meluncurkan program revitalisasi 120 bahasa daerah pada 2025. Diluncurkan pada 2021, program ini dimulai di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan sebagai proyek percontohan. Hingga tahun lalu, program ini telah meluas ke semua provinsi, dan berhasil mencakup total 144 bahasa.
Pemerintah juga telah mengembangkan peta jalan lima tahun untuk melestarikan warisan bahasa. Rencana tersebut termasuk fokus pada kurikulum pendidikan multibahasa berbasis bahasa ibu, serta penggunaan platform digital, seperti media sosial dan podcast, untuk mempromosikan bahasa daerah di kalangan anak muda.
Kami mengapresiasi upaya tersebut, tetapi langkah itu masih jauh dari cukup.
Selain kekayaan budaya yang semakin berkurang, ada risiko bangsa ini kehilangan pengetahuan dan kearifan lokal penting, yang seringkali bersifat khusus, yang hanya ada di dalam bahasa-bahasa daerah tersebut.
Pertimbangkan contoh kearifan lokal masyarakat Simeulue di Aceh. Orang Simeulue asli mengenal smong, sebuah narasi tentang tsunami. Cerita tentang tsunami diwariskan dari generasi ke generasi melalui lagu dan cerita pengantar tidur, sejak tsunami 1907.
Smong mengajarkan orang untuk menyelamatkan diri ke tempat yang aman jika terjadi gempa besar yang diikuti surutnya air laut. Ketika di akhir tahun 2004, tsunami melanda Aceh, masyarakat Simeulue saling memperingatkan dengan meneriakkan “smong!”. Mereka berhasil mengungsi dengan cepat karena kearifan tentang tsunami yang sudah mengakar. Dari total populasi di kabupaten yang berjumlah 70.000 jiwa, hanya enam orang yang meninggal dalam bencana berskala besar tersebut.
Bayangkan kearifan lokal lainnya yang tersimpan dalam ratusan bahasa daerah Indonesia, yang mungkin tidak pernah kita sadari. Dan saat kita tahu, semuanya sudah terlambat.
Kepala kita menyimpan kekayaan pikiran berupa pengetahuan, tingkat intelektual, dan kematangan mental kita, yang terenkripsi dalam bahasa ibu. Sungguh sebaiknya kita tak kehilangan kunci untuk mengaksesnya.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.