Sindikat perdagangan manusia menggunakan strategi perekrutan "dari mulut ke mulut”, tiap anggota akan mengajak temannya. Mereka menggunakan teknik ancaman, dan bukan memberi imbalan, demi memaksa anggota menipu teman dan kerabat mereka.
Fasilitas bebas visa bagi warga negara ASEAN untuk bepergian antarnegara di dalam kawasan tersebut seharusnya merupakan berkah. Tetapi bagi beberapa ribu orang Indonesia, hal itu menjadi mimpi buruk.
Ada banyak sekali pekerja migran Indonesia yang tidak akan jadi korban perdagangan manusia, dan semua kengerian yang menyertainya, jika perjalanan antarnegara tidak dipermudah oleh fasilitas bebas visa yang berlaku di bawah naungan proyek komunitas ASEAN tersebut.
Bukan berarti ASEAN harus menghentikan aturan bebas visa. Tetapi, perlu ada seruan agar pemerintah ASEAN bekerja sama lebih keras demi memerangi operasi perdagangan manusia yang dilakukan secara daring, yang jelas-jelas memanfaatkan fasilitas bebas visa untuk menarik keuntungan besar.
Apresiasi setinggi-tingginya untuk pemerintah Thailand dan Indonesia, atas operasi gabungan mereka yang baru-baru ini membebaskan 84 warga negara Indonesia dari penahanan di Myawaddy. Dari kota di tenggara Myanmar tersebut, berhasil diselamatkan 70 pria dan 14 perempuan. Namun, sejauh ini, belum pernah terdengar adanya upaya terpadu negara-negara ASEAN untuk membendung masalah ini dari sumbernya, yang artinya sejak awal mencegah orang-orang ini pergi.
Kementerian Luar Negeri minggu lalu merevisi jumlah warga negara Indonesia yang ditawan di Myawaddy, dari 366 orang menjadi 525. Hal itu menunjukkan bahwa masalahnya bahkan lebih buruk dari yang kita duga. Sementara kementerian mengatakan bahwa semua upaya sedang dilakukan untuk membebaskan lebih banyak korban, kenyataannya sangat sulit mendapatkan informasi dan data akurat karena sedang berlangsung perang saudara di Myanmar. Beberapa data dikumpulkan dari kerabat yang melapor bahwa orang-orang itu telah hilang.
Myawaddy, dekat perbatasan Thailand, berada di negara bagian Karen. Negara bagian itu termasuk yang memberontak, dan berperang melawan junta di Naypydaw. Memang, pemerintah Myanmar memberikan sejumlah bantuan untuk menjaga agar proses pembebasan berlangsung aman. Namun, sebagian besar bantuan datang dari Thailand, yang memiliki akses melalui kota perbatasan Maesot di seberang Sungai Moei.
Warga Indonesia bukan satu-satunya yang menjadi korban penipuan daring perdagangan manusia lintas batas. Kisah-kisah dari mereka yang melarikan diri menceritakan banyak warga negara lain, termasuk khususnya warga Tiongkok, yang ditawan di Myawaddy. Tetap saja, jumlah warga Indonesia termasuk di antara yang terbesar.
Banyak yang tergiur tawaran pekerjaan yang menarik hati, di industri teknologi yang mereka temukan di internet. Biasanya, mereka akan terbang ke Thailand dan dijemput di bandara. Mereka kemudian akan dibawa melalui sebuah perjalanan panjang, dan ketika tiba di tempat tujuan, paspor mereka akan disita. Mereka tidak tahu bahwa mereka telah menyeberangi perbatasan Thailand ke Myanmar, khususnya ke Myawaddy.
Cerita selanjutnya adalah kombinasi dari penyiksaan dan penahanan di ruangan gelap, yang minim makanan dan minuman. Dan mereka dipaksa menjalankan penipuan daring dengan target rekan senegara yang masih di rumah. Mereka akan diberi kuota untuk jumlah penipuan yang harus mereka selesaikan. Jika menolak, mereka akan menerima hukuman yang lebih berat. Perbudakan di industri teknologi tinggi sama sekali bukan ironi.
Tindakan keras Indonesia baru-baru ini terhadap perjudian daring melacak banyak situs web yang beroperasi dari Kamboja, Laos, dan Myanmar, termasuk dari Myawaddy. Penipuan daring lainnya mencakup berbagai jenis penipuan keuangan. Ini adalah operasi bernilai miliaran dolar.
Korban perdagangan manusia bukanlah pekerja migran tanpa pendidikan seperti yang biasa terjadi. Di antara puluhan orang Indonesia yang baru-baru ini diterbangkan pulang dari Myawaddy, terdapat mantan anggota dewan legislatif Sukabumi di Jawa Barat. Mereka adalah orang-orang yang melek komputer, tetapi mudah tertipu pekerjaan yang menawarkan gaji lebih tinggi ketimbang yang dapat mereka temukan di negeri sendiri. Dengan prospek pekerjaan di Indonesia yang tidak terlalu menjanjikan, banyak yang siap mengambil risiko untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik di luar negeri.
Sindikat menggunakan strategi perekrutan "dari mulut ke mulut” yaitu anggota merekrut anggota baru. Dan mereka memanfaatkan ancaman, bukannya bonus, demi memaksa anggota menipu teman dan kerabat mereka.
Kecuali jika pemerintah ASEAN mengambil tindakan, baik secara individu maupun kolektif, masalah ini akan semakin bertambah buruk. Masalah perdagangan manusia ini terjadi karena kebijakan perjalanan bebas visa ASEAN. Karena itu, ASEAN pula yang bertanggung jawab untuk mengakhirinya. Dan harus segera.
Pengakhiri perdagangan manusia bukanlah salah satu kebijakan yang mengharuskan pemerintah negara-negara ASEAN menunggu lama. Tak perlu dilakukan "cara ASEAN" yang terkenal itu, yaitu berpanjang-panjang menyimpulkan satu konsensus, sebelum bertindak. Nyawa dan martabat rakyat dipertaruhkan.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.