Mundurnya LG dari Proyek Titan baru-baru ini membuka kesempatan bagi pemerintah untuk mundur sejenak, menilai kondisi pasar, dan memperluas perspektif terkait tujuan hilirisasi Indonesia.
Pemerintah dengan cepat meredam berita yang membahas hengkangnya LG Energy Solution dari proyek baterai kendaraan listrik (electric vehicle battery, atau EVB) senilai 8,45 miliar dolar Amerika. Proyek itu menjadi bagian utama dari rencana pemerintah untuk mengembangkan rantai produksi EVB terintegrasi di Indonesia.
Presiden Prabowo Subianto mengatakan kepada wartawan bahwa Indonesia adalah negara besar dan punya masa depan yang cerah. Karena itu, akan ada investor baru yang menggantikan raksasa baterai Korea Selatan tersebut.
Tetap positif dan melihat ke depan dengan optimis adalah sesuatu yang baik. Tetapi, kita juga harus menengok ke belakang dan mengajukan pertanyaan sulit mengenai adakah hal yang salah yang dilakukan, mendengar jawaban yang bisa jadi kurang menyenangkan, lalu membuat perubahan kebijakan yang diperlukan.
Tentu saja kita harus mencari investor baru. Tapi, pertama-tama, kita perlu adakan tanya jawab terbuka dengan para investor lama. Karena sudah pasti ada yang salah, jika salah satu pemain kunci yang paling awal bergabung dengan industri baterai kita yang baru lahir ini kemudian menarik diri setelah lima tahun.
Secara khusus, LG menarik diri dari Proyek Titan. Ide awal proyek ini adalah berupa usaha patungan antara pihak swasta dan badan usaha milik negara (BUMN), untuk membangun rantai produksi yang menyeluruh di bawah skema strategi ekosistem EV Indonesia yang lebih luas, mencakup pemrosesan nikel hingga pembuatan sel baterai.
LG mengutip perubahan kondisi pasar dan perubahan iklim investasi sebagai salah satu di antara alasan yang melandasi perusahaan tersebut keluar dari proyek EVB tersebut.
Zhejiang Huayou Cobalt dari Tiongkok akan menggantikan LG sebagai investor utama Titan, jika merujuk pada kata Menteri Investasi dan Hilirisasi Rosan Roeslani. Ia juga menyebutkan bahwa pemerintah Indonesia adalah yang berinisiatif berpisah dari perusahaan Korea Selatan tersebut.
Jakarta selalu terbuka, dan telah secara aktif, mencari investasi dari mana saja di dunia. Di sisi lain, ada investor Tiongkok yang telah terbukti menjadi yang paling setia di industri hilirisasi mineral Indonesia.
Kita harus bersyukur bahwa, dibandingkan dengan investor dari negara lain, investor Tiongkok tampak lebih bersedia mengikuti agenda pembangunan kita. Mereka juga menerima risiko jangka pendek demi prospek imbalan jangka panjang. Di beberapa rantai pasokan baterai, mereka juga sangat diperlukan, terutama dalam hal peleburan nikel yang padat modal. Jadi, penting untuk memastikan bahwa kita selalu membuat mereka merasa diterima.
Inilah alasan kita harus khawatir terhadap adanya laporan terbaru, yang ditandai anggota DPR sebagai bahaya, tentang raksasa EV China, BYD, yang mengaku diperas. Perusahaan itu mengalami pungli, saat membangun pabrik di Jawa Barat.
Kita dapat mengatasi masalah pemerasan dan aspek lain dari iklim investasi, tetapi kemajuan teknologi merupakan risiko yang tidak dapat kita kendalikan.
Menurut Indonesia Battery Corporation (IBC), salah satu alasan keluarnya LG adalah karena popularitas baterai nikel mangan kobalt (nickel manganese cobalt atau NMC) di pangsa pasar global telah dikalahkan oleh baterai litium besi fosfat (lithium iron phosphate atau LFP). LFP tidak mengandung nikel. Masing-masing baterai NMC atau LFP punya kelebihan dan kekurangan. Hanya saja, baterai LFP umumnya lebih murah dan membuat harga kendaraan listrik yang menggunakannya, secara keseluruhan lebih ekonomis.
Yang jadi masalah, Proyek Titan dibangun untuk memproduksi baterai NMC, demi memanfaatkan cadangan nikel Indonesia yang melimpah dan kapasitas pemrosesan nikel yang terus meningkat.
Memang, masih ada tempat untuk baterai NMC, khususnya pada model Tesla kelas atas yang dinilai punya jangkauan yang lebih jauh. Tetapi, sebagian besar warga dunia membutuhkan kendaraan listrik yang harganya terjangkau, untuk mendukung transisi energi di sektor transportasi. Dan warga Indonesia termasuk di dalamnya.
Menambah deretan berita buruk, perusahaan Contemporary Amperex Technology Co. Ltd. (CATL) asal Tiongkok baru-baru ini memangkas investasinya dalam proyek baterai di Indonesia. Perusahaan tersebut mengurangi investasi hingga lebih dari setengah, dengan alasan khawatir atas pergeseran pasar.
Fakta bahwa teknologi baterai masih terus berubah merupakan risiko besar bagi investasi jangka panjang. Sebetulnya, proyek LFP pun tidak luput dari risiko tersebut.
Sebagai contoh nyata, awal bulan ini CATL meluncurkan teknologi baru untuk baterai EV. Baterai tersebut tidak menggunakan nikel maupun litium, melainkan natrium, yang harganya bahkan lebih terjangkau lagi.
Meskipun kita sangat ingin, kita tidak dapat mengandalkan nikel sebagai daya ungkit untuk mendorong pembangunan ekonomi kita. Karena itu, perspektif peta jalan industri hilir kita harus diperluas, dan tidak hanya fokus pada mineral tertentu.
Pemerintahan Prabowo menyadari hal ini dan telah menekankan perlunya perluasan mencakup berbagai sektor, termasuk pertanian dan perikanan.
Mari kita dukung komitmen ini sekuat tenaga.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.