Can't find what you're looking for?
View all search resultsCan't find what you're looking for?
View all search resultsMenghapus catatan kekerasan dari buku sejarah tidak akan "memperbaiki kesalahan". Justru, hal itu akan menghapus masa lalu kita.
Pemerkosaan massal yang terjadi selama kerusuhan Mei 1998, yang akhirnya menyebabkan jatuhnya presiden otoriter saat itu, Soeharto, didokumentasikan secara menyeluruh dan tidak boleh dihapus dari sejarah dengan alasan apa pun.
Saat itu, di tengah serangkaian demonstrasi menuntut reformasi, kekerasan dan kerusuhan sipil semakin banyak terjadi, terutama di Jakarta. Periode ini secara tragis mengakibatkan lebih dari 1.200 kematian, dan sedikitnya 52 orang, sebagian besar warga negara Indonesia keturunan Tionghoa, menjadi korban pemerkosaan.
Dalam beberapa minggu terakhir, Menteri Kebudayaan Fadli Zon, telah dikecam karena menyangkal adanya pemerkosaan massal tersebut. Fadli adalah loyalis lama Presiden Prabowo Subianto, mantan menantu Soeharto. Awal bulan ini, Fadli, yang sudah menghadapi pemeriksaan atas proyek kontroversial penulisan ulang sejarah, menepis fakta dan mengatakan bahwa pemerkosaan massal itu adalah rumor belaka. Ia menyatakan tidak ada cukup bukti untuk mendukung bahwa peristiwa tersebut benar terjadi.
Minggu lalu, Fadli memberi klarifikasi. Ia tidak menyangkal adanya kekerasan seksual selama kerusuhan. Namun, ia mendesak agar berhati-hati dalam menyebut insiden itu sebagai "pemerkosaan massal" karena ia mengklaim bahwa data yang ada tidak meyakinkan.
Komentar Fadli menuai reaksi keras dari aktivis hak-hak perempuan, sejarawan, advokat bagi korban, serta anggota komunitas Tionghoa-Indonesia. Mereka menganggap pernyataannya sangat menyakitkan hati.
Pernyataan Fadli memang kontras dengan temuan resmi. Tim pencari fakta yang dibentuk pemerintah pada 1998 mendokumentasikan 85 kasus kekerasan seksual, termasuk 52 pemerkosaan. Lebih jauh, penyelidikan yang dilakukan pada 2003 oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyimpulkan bahwa kerusuhan Mei 1998 merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan termasuk pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia. Meskipun Komnas HAM telah menyerahkan laporannya ke Kejaksaan Agung (Kejagung) pada 2003, belum ada penyelidikan yang dilakukan terhadap kasus tersebut hingga saat ini.
Kekerasan yang meluas terhadap perempuan, jika tidak ingin disebut sebagai kekerasan yang sistematis, yang terjadi hampir tiga dekade lalu tersebut juga mendorong aktivis perempuan untuk menyerukan pembentukan sebuah komisi, yang sekarang dikenal sebagai Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan).
Kenangan akan pengakuan mantan Presiden Joko "Jokowi" Widodo atas kerusuhan Mei 1998, juga 11 kasus pelanggaran HAM berat lainnya, sekitar setahun lalu masih segar di ingatan. Tapi lalu Fadli mengeluarkan penyangkalan tersebut. Komnas HAM dengan tegas menyatakan bahwa penyangkalan Fadli tentang pemerkosaan massal tidak akurat, dengan mengutip pengakuan dari pemerintah tahun 2023, serta program pemulihan yang ditawarkan kepada para korban dan keluarga mereka dari pemerintah berikutnya.
Kami menyesalkan pernyataan Fadli yang terkesan meremehkan. Sebagai Menteri Kebudayaan, ia seharusnya secara aktif bekerja membantu bangsa ini membangun kembali ingatan kolektifnya dan memfasilitasi upaya perbaikan.
Sayangnya, Fadli bukanlah menteri pertama dalam kabinet Presiden Prabowo yang dikritik akibat komentar terkait kekejaman di masa lalu. Pada Desember tahun lalu, Menteri Koordinator Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra menuai kemarahan karena menyatakan bahwa tragedi Mei 1998 tidak dapat dianggap sebagai pelanggaran hak asasi manusia yang berat.
Komentar Fadli tersebut dibarengi beredarnya sebuah rancangan program di kalangan akademisi. Rancangan tersebut secara selektif menghilangkan pelanggaran berat hak asasi manusia yang telah diakui negara, termasuk menghapus kasus penghilangan paksa aktivis pro-demokrasi pada 1997 dan 1998. Laporan menunjukkan bahwa rancangan tersebut hanya menuliskan dua dari 12 kasus kekejaman yang diakui telah terjadi antara tahun 1965 dan 2003.
Menghapus catatan kekerasan dari rencana buku sejarah baru tidak akan "memperbaiki kesalahan". Justru, hal itu akan menghapus masa lalu kita. Meskipun mungkin peristiwa itu membuat rezim saat ini menjadi tidak nyaman, kita harus mengakui dan berdamai dengan sejarah kekerasan yang pernah terjadi. Salah satu cara penting untuk mencapai hal ini adalah dengan membiarkan buku-buku sejarah baru menyampaikan kebenaran, alih-alih menyembunyikannya.
Bangsa yang dengan sengaja memilih untuk melupakan atau mendistorsi sejarah masa lalunya, khususnya bab-bab yang kelam, berisiko mengulangi kesalahan dan kekejaman yang ingin dikuburnya. Revisi sejarah semacam itu dapat menumbuhkan iklim impunitas, merusak kohesi sosial karena membatalkan pengalaman para korban, dan akhirnya mengikis kepercayaan antara pemerintah dan rakyatnya.
Tanpa penerimaan yang jujur terhadap sejarah, masyarakat kehilangan pelajaran penting. Dan hal itu menghambat kemampuan negara untuk mencapai rekonsiliasi sejati, membangun masa depan yang adil, dan mengembangkan identitas kolektif yang kuat, yang didasarkan pada integritas dan empati.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.