Can't find what you're looking for?
View all search resultsCan't find what you're looking for?
View all search resultsBagi ASN yang sering dikritik karena kinerja lamban dan kebiasaan mementingkan kehadiran fisik, transisi ke lingkungan kerja dengan sedikit pengawasan dapat memperburuk inefisiensi yang telah terjadi.
Pemerintah, melalui peraturan yang ditandatangani oleh menteri pendayagunaan aparatur negara dan reformasi birokrasi (PAN RB), kini mengizinkan aparatur sipil negara (ASN) untuk bekerja dari mana saja di luar kantor hingga dua hari seminggu. Memang, persyaratan untuk melakukannya sangat ketat, yang akan sulit dipenuhi oleh banyak, mungkin bahkan sebagian besar, dari mereka.
Inisiatif ini sejalan dengan perubahan dunia yang begitu cepat, termasuk dalam lanskap birokrasi, yang didorong kemajuan teknologi informasi. Negara-negara di seluruh dunia juga telah beralih ke sistem kerja jarak jauh bagi mereka yang bertanggung jawab atas penyediaan layanan publik. Estonia adalah pelopor dalam tata kelola digital dan telah banyak berinvestasi dalam layanan e-government atau pemerintahan digital. Tetangga dekat kita, Singapura, mulai melakukan hal yang sama.
Dengan visi mengembangkan birokrasi kelas dunia, Indonesia harus mengeksplorasi model kerja ini bagi aparatur sipil negerinya. Faktanya, kita terpaksa mengadopsi cara kerja jarak jauh, ketika pandemi COVID-19 melanda. Saat itu, diharuskan ada pembatasan sosial untuk menahan penyebaran penyakit. Tentu saja, pandemi bukanlah bentuk ideal terkait dorongan bagi skenario sistem kerja yang fleksibel di kalangan ASN kita.
Belum ada pengamatan tentang apakah kerja sistem hybrid, sebagian di kantor dan sisanya dari jarak jauh, akan efektif, berdasarkan pengalaman masa pandemi. Namun, fakta bahwa kita kembali ke sistem kerja lama, dengan berada di kantor, membuktikan bahwa birokrasi kita belum siap untuk bekerja dari mana saja.
Penelitian yang lebih mendalam mengungkapkan bahwa di balik kesiapan teknologi yang terlihat di permukaan, masalah budaya dan sistemik mendasar, secara signifikan menghambat keberhasilan penerapan perluasan kerja jarak jauh dalam birokrasi kita. Masalah budaya yang dimaksud berkaitan dengan rendahnya produktivitas, mentalitas "menyenangkan atasan", serta penolakan terus-menerus terhadap prinsip-prinsip tata kelola yang baik.
Pertama-tama, masalah yang mengemuka terkait produktivitas rendah di kalangan pegawai merupakan hambatan kritis. Pasalnya, model kerja jarak jauh berkembang pesat berdasarkan disiplin individu, penilaian berbasis hasil, dan rasa tanggung jawab pribadi yang kuat.
Bagi ASN yang sering dikritik karena kinerja lamban dan kebiasaan menekankan pada sekadar kehadiran fisik daripada hasil nyata, transisi ke lingkungan dengan sedikit pengawasan dapat memperburuk inefisiensi yang telah terjadi, dan bukannya menguranginya. Bagaimana kita dapat mengharapkan para pegawai negeri, yang gemar menjelajahi aneka media sosial bahkan selama jam kerja, dapat meningkatkan produktivitas mereka di luar kantor?
Tidak mengherankan jika pengamat kebijakan publik telah menyatakan kekhawatiran bahwa pengaturan kerja fleksibel bagi pegawai negeri dapat memperburuk kualitas layanan publik. Meskipun pemerintah telah menjamin bahwa sistem baru tersebut tidak akan mengorbankan layanan publik.
Kedua, mentalitas "menyenangkan atasan" yang telah mengakar secara langsung bertentangan dengan prinsip inti dari efektivitas kerja jarak jauh. Budaya hierarkis ini pada dasarnya tidak sesuai dengan hubungan berbasis kepercayaan yang sangat penting bagi tim yang terpisah jarak. Dalam mentalitas “menyenangkan atasan”, menunjukkan kesetiaan dan kepatuhan sering kali lebih penting daripada inisiatif dan kinerja mandiri.
Dalam situasi kerja jarak jauh, pihak atasan harus memberi tanggung jawab penuh pada karyawan, mengandalkan integritas profesional serta komitmen mereka terhadap hasil. Jika penilaian kinerja masih melalui, terutama, "waktu tatap muka" atau sikap-sikap penghormatan, dan bukan dari pencapaian yang hasilnya terukur, kerja jarak jauh bahkan akan mendorong terciptanya ketidakkompakan. Tanpa pengawasan langsung, seringkali pegawai lebih fokus pada yang terlihat saja, dan bukan pada pekerjaan sebenarnya.
Ketiga, dan mungkin yang paling penting, penolakan terhadap prinsip-prinsip pemerintahan yang bersih dan tata kelola yang baik masih ada dalam birokrasi kita, meskipun reformasi telah berlangsung selama puluhan tahun. Dengan masalah-masalah korupsi, inefisiensi, dan kurangnya orientasi layanan publik terjadi, beralih ke model kerja jarak jauh tanpa lebih dulu mengatasi masalah-masalah mentalitas ini akan lebih banyak menimbulkan kerugian ketimbang manfaat.
Di luar masalah sumber daya manusia tersebut, bekerja di luar kantor tidak mungkin berhasil di daerah terpencil, karena mekanisme baru tersebut memerlukan koneksi internet yang andal. Dan bahkan jika internet menembus seluruh penjuru kepulauan yang luas ini hingga ke pelosok, keamanan siber tetap menjadi tantangan yang sulit. Serangkaian serangan ransomware dalam beberapa tahun terakhir telah mengungkap adanya kerentanan dalam pertahanan siber Indonesia. Itulah sebabnya, tata kelola digital merupakan upaya yang berisiko.
Tak dapat dielakkan, ada daya tarik dalam sistem kerja jarak jauh bagi para aparatur sipil negara. Namun, efektivitas penerapannya bergantung pada penanganan terhadap hambatan sistemik dan budaya yang mengakar. Mungkin, hingga Indonesia menyelesaikan reformasi birokrasinya, kita tidak dapat membiarkan para ASN sepenuhnya beralih ke sistem kerja hybrid.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.