Visi Indonesia untuk mencapai pertumbuhan PDB yang cepat agar menjadi negara ekonomi berpendapatan tinggi pada 2045 butuh investasi besar-besaran dalam SDM. Ekonomi serabutan jadi penghalang.
konomi serabutan, atau sering disebut gig economy, telah menjebak sebagian besar tenaga kerja muda Indonesia. Anak-anak muda itu larut dalam pekerjaan yang membuat mereka lebih sulit naik jabatan dan mencapai kesejahteraan yang optimal. Hal itu berdampak pada pengembangan sumber daya manusia (SDM) nasional.
Para ahli menyuarakan kekhawatiran bahwa fleksibilitas yang diiklankan oleh platform kerja serabutan ternyata hanya ilusi bagi banyak pekerja. Mereka sekarang terjebak dalam pekerjaan yang tidak menentu dan bergaji rendah. Pada akhirnya, hal itu mengancam ambisi negara untuk menjadi negara maju pada 2045.
“[Kualitas SDM] menurun, dan itu adalah jebakan bagi negara-negara berkembang seperti kita,” kata Silvi Asna, dosen di Sekolah Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya, kepada The Jakarta Post pada Senin kemarin. "Lebih buruk lagi, kita mungkin melihat lebih banyak orang menolak bekerja di negara ini. Mereka memilih bekerja di luar negeri untuk mendapatkan gaji yang lebih baik," imbuhnya.
Ekonomi serabutan menyediakan akses mudah ke pekerjaan sementara atau peluang kerja sampingan. Namun, sifat informal dari pekerjaan serabutan, kata Silvi, telah membuat banyak pekerja berkondisi rentan, dengan sedikit dukungan atau perlindungan pemerintah dari platform kerja yang mereka andalkan untuk mendapat penghasilan.
"Di satu sisi, platform gig ini inovatif, tetapi mereka telah mengubah 'mitra' mereka menjadi pekerja," katanya. "Platform ini memanfaatkan orang-orang sebagai inovasi mereka, tetapi para pekerja tidak memiliki otonomi yang nyata." Pekerja seperti penata rias, fotografer, karyawan layanan kebersihan, dan pengemudi taksi daring beralih ke ekonomi serabutan karena nyaris tidak ada hambatan untuk masuk ke dalamnya.
Namun, Silvi menjelaskan bahwa ada beberapa pekerjaan khususnya pengemudi sesuai permintaan, tetap dikontrol ketat oleh perusahaan yang mengoperasikan platform teknologi. Meski begitu, beberapa pekerja memang dapat naik jabatan dan memperoleh upah yang lebih baik.
“Ada beberapa pekerja serabutan yang sukses yang dapat bekerja selama enam bulan dan mengambil cuti selama enam bulan berikutnya. Tetapi banyak yang terpaksa bekerja berjam-jam hanya untuk memenuhi kebutuhan harian,” kata Silvi.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.