ernikahan antara pasangan berbeda agama menjadi lebih sulit, atau malah tidak mungkin terjadi. Hal ini menyusul surat edaran Mahkamah Agung yang memerintahkan pengadilan negeri untuk berhenti memberikan surat legalitas pernikahan beda agama. Perkawinan pasangan beda agama tidak lagi diakui oleh negara, yang kemudian menimbulkan pertanyaan mengenai status anak-anak yang lahir dari pernikahan pasangan tersebut.
Sebelumnya, putusan pengadilan negeri bisa digunakan oleh pasangan beda agama untuk mendaftarkan pernikahan mereka ke kantor catatan sipil.
Keputusan Mahkamah Agung merupakan respon atas tekanan dari kelompok muslim konservatif yang khawatir melihat makin meningkatnya jumlah pernikahan pasangan beda agama. Mereka menuntut pelaksanaan undang-undang tahun 1974 yang hanya mengakui pernikahan yang disahkan oleh lembaga agama. Peraturan itu akhirnya membuat salah satu pasangan mengikuti agama yang lain jika hendak menikah. Sesungguhnya, undang-undang tersebut bermasalah jika dilihat dari perspektif hak asasi manusia, konstitusional, dan agama.
Tidak seorang pun boleh dipaksa memeluk agama yang tidak mereka yakini. Tidak menuruti aturan negara atas pernikahan beda agama berimplikasi pada hak pasangan mendapat pelayanan publik, terutama yang membutuhkan surat nikah. Pasal 16 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia mengatakan “Pria dan wanita dewasa, tanpa batasan apapun karena ras, kebangsaan atau agama, berhak untuk menikah dan membentuk keluarga. Mereka berhak atas hak yang sama terkait pernikahan, selama masa pernikahan dan saat perceraian.”
Yang aneh, justru Wakil Presiden Ma'ruf Amin, seorang muslim konservatif yang gigih, yang mengangkat isu tentang status anak dari pernikahan pasangan beda agama, ketika dia meminta Mahkamah Agung untuk menindaklanjuti surat edaran institusi tersebut yang mengklarifikasi hak anak atas warisan.
Sebelumnya, pengadilan negeri mengajukan solusi inovatif. Calon suami istri beda agama bisa mendatangi salah satu lembaga keagamaan untuk melakukan pernikahan. Hal tersebut memungkinkan masing-masing pihak untuk tetap setia pada keyakinan mereka. Kemudian, mereka dapat mencari legitimasi pengadilan sebelum mengajukan pencatatan ke kantor catatan sipil. Opsi ini sekarang dihapus.
Undang-undang tahun 1974 tentang pernikahan mengatakan bahwa hanya lembaga agama, bukan lembaga negara, yang punya hak mengesahkan pernikahan. Namun, undang-undang tersebut seharusnya memberikan pengecualian untuk pernikahan pasangan dari agama yang berbeda, juga untuk pernikahan pasangan yang menganut kepercayaan di luar enam agama yang diakui pemerintah secara resmi yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu.
Tentu saja, akan jauh lebih mudah jika kantor catatan sipil diperbolehkan menerima saja semua pernikahan, seperti yang banyak dilakukan negara-negara lain. Ini tidak hanya memudahkan pasangan yang berbeda agama. Tetapi Indonesia memutuskan untuk mempersulit. Sekarang, dengan surat edaran Mahkamah Agung, pernikahan beda agama bahkan nyaris tidak mungkin.
Meningkatnya jumlah perkawinan beda agama merupakan konsekuensi yang tak terelakkan dari Indonesia yang masyarakatnya semakin terbuka. Itulah efek pertemuan dan interaksi dengan orang-orang dari berbagai ras, kebangsaan, dan agama. Kita semakin sering menyaksikan pernikahan campuran, tidak hanya soal percampuran dua agama, tapi juga penyatuan dari ras atau kebangsaan yang berbeda.
Surat edaran Mahkamah Agung melawan tren keterbukaan ini. Negara memutuskan menyerah pada tuntutan kelompok agama konservatif. Padahal, ketimbang mempersulit pernikahan pasangan, seharusnya negara dan Mahkamah Agung justru memfasilitasi mereka.
Menikah sudah menjadi urusan yang kompleks dan menantang, terutama bagi orang yang berbeda agama. Mereka harus menjelaskan kepada kerabat yang mungkin keberatan atas pernikahan tersebut. Lalu ada dokumen yang harus diurus di lembaga agama agar pernikahan mereka dinyatakan sah tanpa harus memaksa pihak yang hendak menikah punya keyakinan yang sama. Selanjutnya, mereka harus pergi ke pengadilan untuk mendapatkan persetujuan sebelum mengajukan pernikahan mereka ke kantor catatan sipil.
Ada cara lain, yang sudah dipraktekkan oleh pasangan yang punya banyak dana. Mereka memilih pergi ke luar negeri untuk menikah di kantor catatan sipil negara asing. Tujuan favorit adalah Singapura dan Australia. Dengan menikah di luar negeri, mereka melewati kerumitan aturan di Indonesia. Mereka lalu kembali ke ibu pertiwi setelah berbulan madu dan kemudian mengajukan akta nikah asing untuk mendaftakan pernikahan ke kantor catatan sipil. Dengan begitu, mereka dapat hidup bahagia, berdua selamanya.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.