angkah Bank Indonesia (BI) pada 19 Oktober cukup mengejutkan, meskipun mencerminkan sikap BI untuk lebih fokus pada stabilitas dibandingkan pada pertumbuhan. Keputusan menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi 6 persen merupakan langkah moneter yang tepat dalam menghadapi ketidakpastian perekonomian global, ketegangan geopolitik, dan risiko meningkatnya suara-suara politik yang membisingkan dan bahkan gejolak politik menjelang pemilihan presiden pada 14 Februari 2024.
Dewan Gubernur BI menjelaskan bahwa kebijakan pengetatan ini merupakan langkah moneter yang bersifat perlindungan dan berorientasi ke masa depan, untuk memitigasi dampak kumulatif akibat inflasi impor. Rupiah sempat terpukul sentimen pasar yang negatif sejak bulan lalu, hingga terdepresiasi hampir 3 persen, atau sekitar Rp16.000 per dolar AS pada minggu lalu. Faktanya, tindakan pencegahan sudah umum dilakukan oleh banyak bank sentral. Alasannya, dampak ekonomi makro yang ditimbulkan akibat minim tindakan akan lebih besar jika dibandingkan dengan membuat banyak kebijakan.
Mengendalikan inflasi adalah salah satu misi utama BI. Namun, tren pasar menunjukkan bahwa stabilitas nilai tukar lebih sering jadi tujuan utama, karena pengalaman negara-negara lain juga menunjukkan bahwa negara-negara dengan inflasi umum yang rendah cenderung punya mata uang yang lebih kuat.
Kenaikan suku bunga sebenarnya menimbulkan risiko bagi bank-bank komersial. Meski demikian, banyak yang mendapat keuntungan dengan memungut suku bunga yang lebih tinggi dari peminjam sambil menjaga suku bunga simpanan tetap rendah. Kerugian pinjaman juga dapat meningkat karena konsumen dan dunia usaha menghadapi biaya pinjaman yang lebih tinggi. Namun, jika keputusan yang diambil oleh Federal Reserve AS pada pertemuan FOMC berikutnya (2 November) merupakan tindakan pengetatan lebih lanjut, BI dapat kembali menaikkan suku bunganya pada pertemuan bulanan tanggal 23 November atau 21 Desember. Perekonomian Indonesia, yang diperkirakan hanya tumbuh sebesar 5 persen tahun ini, toh lebih didorong oleh fiskal. Inflasi umum juga turun menjadi 2,28 persen pada bulan lalu (yoy). Pada tahun 2022, pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah 5,3 persen.
Hal yang menggembirakan adalah BI akan terus meningkatkan likuiditas rupiah agar tidak menyebabkan pertumbuhan kredit menurun tajam. BI melakukannya melalui penguatan kebijakan makroprudensial yang akomodatif, dengan penerapan Insentif Kebijakan Likuiditas Makroprudensial (KLM) yang efektif dan penurunan Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM) untuk menghidupkan kembali penyaluran kredit atau pembiayaan bagi pertumbuhan ekonomi nasional. Digitalisasi sistem pembayaran juga dipercepat untuk memperluas inklusi ekonomi dan keuangan digital, termasuk elektronifikasi transaksi pemerintah pusat dan daerah.
BI juga terus memperkuat strategi operasi moneter untuk mencapai kebijakan moneter yang efektif dengan mengoptimalkan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) sebagai instrumen moneter yang pro pasar. BI juga mulai menerbitkan Sekuritas Valas Bank Indonesia (SVBI) dan Sukuk Valas Bank Indonesia (SUVBI) pada 21 November untuk pendalaman pasar uang. Hal ini penting karena instrumen tersebut dapat bertindak sebagai proksi terhadap suku bunga jangka pendek di Indonesia. Dengan demikian, bisa memberikan sinyal arah kebijakan moneter yang diharapkan.
Mengingat meningkatnya kebisingan politik dan risiko gejolak politik dalam beberapa bulan ke depan, koordinasi kebijakan antara BI dan pemerintah jadi semakin penting untuk menjaga stabilitas makroekonomi dan menjaga pertumbuhan ekonomi dari dampak limpahan ketidakpastian global yang tinggi. Karena sebagian besar menteri kabinet Presiden Joko “Jokowi” Widodo akan disibukkan dengan agenda politik dari partai masing-masing, otoritas fiskal dan moneter praktis akan menjadi satu-satunya pengelola perekonomian.
Karena itu, sinergi kebijakan antara BI dan Komite Stabilitas Sistem Keuangan akan semakin penting. Komite yang anggotanya terdiri dari gubernur bank sentral, menteri keuangan, pimpinan lembaga penjaminan simpanan, dan Otoritas Jasa Keuangan bertugas menjaga stabilitas makroekonomi dan sektor keuangan sambil memelihara pembiayaan untuk dunia usaha, khususnya di sektor-sektor prioritas.
Sejauh ini, kita patut mengapresiasi BI atas konsistensinya meningkatkan arus informasi, keterbukaan, dan transparansi dalam pengambilan kebijakan. Bagaimana pun, sikap ini merupakan garis pertahanan pertama untuk melindungi rupiah agar tidak terhantam oleh rumor-rumor liar dan gelombang disinformasi, yang dapat berdampak buruk pada perekonomian. Dan rumor liar dan gelombang disinformasi tersebut kemungkinan besar akan meningkat di tengah kampanye politik, yang akan terjadi antara bulan Desember dan awal Februari.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.