TheJakartaPost

Please Update your browser

Your browser is out of date, and may not be compatible with our website. A list of the most popular web browsers can be found below.
Just click on the icons to get to the download page.

Jakarta Post

IPEF: Apakah pemikiran kita sama?

Editorial board (The Jakarta Post)
Jakarta
Mon, November 20, 2023

Share This Article

Change Size

IPEF: Apakah pemikiran kita sama? President Joko “Jokowi“ Widodo (left) delivers remarks alongside members of the Indo-Pacific Economic Framework (IPEF) at the Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC) Leaders' Week in San Francisco, the United States on Nov. 16, 2023. (AFP/Brendan Smialowski)
Read in English

K

egagalan mencapai terobosan dalam perundingan Kerangka Ekonomi Indo-Pasifik (Indo-Pacific Economic Framework/IPEF) yang diadakan pada KTT Kerjasama Ekonomi Asia-Pasifik (Asia-Pacific Economic Cooperation/ APEC) di San Francisco, Amerika Serikat, pekan lalu telah banyak menimbulkan dampak buruk.

Namun, mengingat terbatasnya ruang lingkup IPEF, tidak banyak kerugian yang mungkin timbul ketika 14 negara yang saat ini menandatangani inisiatif tersebut tidak mencapai kata sepakat. Alasannya karena pilar perdagangan, yang merupakan pilar utama di antara empat pilar IPEF, tidak sejalan dengan namanya.

Sejak dibentuk tahun lalu, IPEF tidak pernah bertujuan untuk meningkatkan akses pasar dan mengurangi tarif. Namun, hal tersebut merupakan yang sangat dibutuhkan oleh Indonesia dan negara-negara ASEAN lainnya.

Berita yang beredar luas adalah, bahwa bagi Washington, tujuan IPEF adalah untuk melawan pengaruh Tiongkok yang tumbuh semakin besar di kawasan Asia-Pasifik.

Setidaknya beberapa negara anggota IPEF harus bersimpati terhadap tujuan Washington tersebut, karena yang sebenarnya terjadi adalah mereka tidak ingin bergantung secara berlebihan pada salah satu negara dengan perekonomian terbesar di dunia. Indonesia dengan landasan politik luar negerinya yang “bebas aktif” termasuk di antara negara-negara tersebut.

Namun, IPEF ternyata tidak dirancang untuk mencapai tujuan tersebut, karena tanpa komponen perdagangan bebas, IPEF tidak dapat berbuat banyak untuk meningkatkan pengaruh AS di Asia.

Viewpoint

Every Thursday

Whether you're looking to broaden your horizons or stay informed on the latest developments, "Viewpoint" is the perfect source for anyone seeking to engage with the issues that matter most.

By registering, you agree with The Jakarta Post's

Thank You

for signing up our newsletter!

Please check your email for your newsletter subscription.

View More Newsletter

IPEF menjadi tidak menarik, jika dibandingkan dengan Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (Regional Comprehensive Economic Partnership/ RCEP) yang sudah diterapkan.

RCEP bukan sekadar blok perdagangan terbesar di dunia, tetapi tidak seperti IPEF, RCEP hadir dengan liberalisasi. Inti RCEP bukan permainan politik. RCEP bertujuan untuk menghilangkan tindakan diskriminatif yang menghambat arus barang dan jasa lintas batas – yang merupakan inti dari perjanjian perdagangan bebas.

Seringkali, RCEP disalahartikan sebagai inisiatif yang dipimpin Tiongkok. Padahal, dasar RCEP adalah proposal Jepang yang diambil pada KTT ASEAN tahun 2011 di Bali.

Fakta bahwa RCEP merangkul negara-negara yang seringkali berada di pihak yang berseberangan terkait urusan global, seperti Australia dan Tiongkok, mencerminkan karakter nonpolitik dari organisasi tersebut. Meski demikian, pemerintahan AS saat ini tidak menunjukkan minat untuk bergabung.

Indonesia dan negara-negara Asia lainnya akan menyambut tawaran pragmatis serupa untuk blok perdagangan yang mencakup Amerika Serikat. Namun, mereka tidak melihat hal itu dalam IPEF. Dengan fokusnya pada “ketahanan rantai pasokan”, jargon diplomatik untuk “mencegah Tiongkok tetap di luar cakupan”, konsep perdagangan Washington sangat kental muatan politis.

Bandingkan dengan rencana Indonesia untuk IPEF, yang didefinisikan di situs web Kementerian Luar Negeri sebagai “kerangka kerja ekonomi inklusif untuk mewujudkan Indo-Pasifik yang terbuka, bebas, aman, dan berketahanan.”

Ketika proses IPEF secara resmi diluncurkan pada Mei tahun lalu, Menteri Perdagangan saat itu, Muhammad Lutfi, seperti dikutip dari situs Sekretariat Kabinet, menegaskan bahwa “IPEF harus inklusif dan terbuka untuk semua negara di kawasan Indo-Pasifik sehingga dapat membawa dampak positif jangka panjang,” dan bahwa “kawasan Indo-Pasifik terlalu luas jika manfaatnya hanya dinikmati oleh negara-negara tertentu.”

Apakah Washington dan Jakarta membicarakan IPEF yang sama?

Selain dipengaruhi oleh geopolitik, dalam IPEF rencana AS, tidak terdapat akses pasar umum ke AS. Pemberian akses semacam ini merupakan hal yang sulit dilakukan di Capitol Hill. Namun tanpa akses ke pasar umum, IPEF akan dianggap tidak berarti di banyak negara ASEAN. Bahkan, IPEF yang terlihat hanya mencakup sedikit hak tetapi segudang tanggung jawab.

Maret lalu, Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan bahwa terdapat “harapan besar bahwa IPEF akan memberikan manfaat nyata bagi dunia usaha, konsumen, investor, dan pekerja di seluruh kawasan Indo-Pasifik.” Namun, tanpa akses pasar AS, harapan tersebut sirna.

Pemerintahan Joe Biden, seperti pemerintahan Trump sebelumnya, lebih memilih pengaturan bilateral yang membuka semua opsi untuk mengekang perdagangan kapan pun dan di mana pun diperlukan. Contoh yang sudah terjadi adalah masalah ekspor semikonduktor ke Tiongkok.

Pendekatan transaksional seperti ini tidak menarik bagi perekonomian Asia. Yang dicari pebisnis Asia adalah hubungan perdagangan jangka panjang yang dapat diandalkan. Asia ingin hubungan dagang yang tidak dapat dicabut begitu saja oleh pemerintahan AS di masa depan karena alasan politik.

Kesimpulannya, terkait IPEF, kita dan Amerika tidak sepemikiran.

Your Opinion Matters

Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.

Enter at least 30 characters
0 / 30

Thank You

Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.