ua bulan lalu, pemerintah Indonesia mengumumkan peraturan yang memaksa TikTok menutup operasional e-commerce di negara ini. Peraturan tersebut diklaim pemerintah sebagai bentuk perlindungan bagi usaha kecil dan menengah (UKM).
Saat itu, TikTok terjebak di antara perdebatan tentang definisi perdagangan sosial dan apakah sistem belanja daring yang memanfaatkan media sosial tersebut merupakan ancaman bagi usaha-usaha kecil.
TikTok kini telah kembali ke pasar belanja daring di Indonesia. Ia hadir lagi setelah berhasil menandatangani kesepakatan senilai $1,5 miliar dolar Amerika untuk mengakuisisi Tokopedia, anak perusahaan e-commerce milik jaringan raksasa teknologi dalam negeri, GoTo. Mengakuisisi Tokopedia mungkin hanya akan menyelesaikan beberapa hambatan yang dihadapi TikTok untuk memasuki pasar Indonesia. Bagaimana pun, perusahaan masih perlu berhati-hati dalam berurusan dengan pemerintah sebagai regulator, mengingat aturan main masih berubah-ubah dan sering kali rentan terhadap tuntutan populis.
Sulit untuk mengatakan bahwa kembalinya TikTok ke ranah e-commerce Indonesia berdampak buruk bagi UKM. Pasalnya, beberapa usaha kecil bergantung pada platform daring untuk memasarkan produk mereka. Namun tak kalah sulit juga untuk memungkiri bahwa pasar penjualan barang di Indonesia memang terganggu dengan munculnya e-commerce.
Dengan atau tanpa TikTok, konsumen telah beralih ke model belanja daring dan tren ini akan terus berlanjut. Faktanya, konsumen akan selalu memilih barang dengan harga yang lebih terjangkau, tanpa memikirkan asal muasalnya dan tanpa mempertimbangkan unsur legalnya.
Meskipun TikTok telah dilarang memasuki pasar virtual selama dua bulan terakhir, pelaku UKM, seperti pedagang di pasar Tanah Abang di Jakarta, hampir tidak merasakan adanya perubahan dalam penjualan mereka. Hal tersebut membuat beberapa dari mereka akhirnya menuntut pemerintah untuk menghapuskan e-commerce secara total.
Kembalinya TikTok memberi kita pelajaran bahwa untuk membantu UKM Indonesia, pemerintah perlu melakukan lebih banyak upaya pada sisi penawaran, atau dari sisi penjual, dibandingkan dari sisi permintaan saja.
Akuisisi TikTok atas Tokopedia membuktikan bahwa pelarangan transaksi di media sosial saja tidak akan menghentikan perusahaan tersebut untuk tetap masuk ke pasar Indonesia.
Demi melindungi UKM lokal, pemerintah juga berupaya membatasi barang impor yang masuk melalui e-commerce. Caranya dengan membatasi harga minimum freight-on-board (FOB) barang impor yang dijual di platform e-commerce dalam negeri, yaitu minimal seharga $100 dolar Amerika per unit.
Namun para ahli berpendapat bahwa para pedagang dapat mengelak dari pembatasan tersebut dengan banyak cara, misalnya dengan mengirimkan barang dalam jumlah besar melebihi ambang batas minimum FOB.
Menteri Koperasi dan UKM juga mengusulkan pelarangan platform e-commerce menjual barang yang berada di bawah Nilai Harga Pokok Produksi (HPP) tertentu. Ia merujuk pada praktik serupa yang terjadi di Tiongkok.
Namun kebijakan-kebijakan tersebut kemungkinan besar tidak akan banyak memperbaiki kinerja UKM lokal, kecuali jika pemerintah secara besar-besaran meningkatkan daya saing produk UKM tersebut.
Sekadar meningkatkan daya saing produk juga tidak berarti sudah memadai bagi sebuah UKM untuk kemudian dapat menjual produknya secara daring, hingga sejalan dengan kampanye pemerintah “Go Digital”. Diperlukan perbaikan besar-besaran terkait meningkatkan produktivitas UKM serta mempermudah akses terhadap bahan baku dan teknologi yang digunakan dalam proses produksi.
Perbaikan di sisi UKM bertujuan untuk memastikan bahwa UKM lokal dapat memenuhi standar global namun tetap menarik di pasar domestik.
Pemerintah juga dapat membantu mengurangi hambatan dan memastikan lingkungan bisnis lokal yang mendukung pengembangan dan peningkatan UKM.
Bidang lain yang dapat dieksplorasi untuk membantu lebih meningkatkan daya saing adalah mencakup penelitian dan pengembangan serta akses terhadap pembiayaan bagi UKM lokal.
Menghindari barang-barang asing mungkin efektif untuk membatasi persaingan tapi waktunya terbatas. Sedangkan membantu bisnis lokal memproduksi barang-barang dalam negeri yang lebih kompetitif bisa jadi menjadi solusi yang lebih berkelanjutan.
Jika produk dalam negeri sudah makin kompetitif, pemerintah mungkin tidak perlu khawatir mengenai masuknya barang-barang dari luar negeri. Pemerintah tinggal mencari cara agar barang-barang produksi dalam negeri dapat bersaing dengan produk-produk luar negeri.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.