Dengan menggunakan trik murahan, Gibran telah merusak kredibilitas ajang debat pemilu. Padahal, ajang debat merupakan fitur penting dari pemilu demokratis dan membantu banyak pemilih mengambil keputusan memilih kandidat presiden.
Ajang debat pemilu yang menampilkan tiga calon wakil presiden pada Minggu 21 Januari tidak banyak mengungkap soal rencana kebijakan para kandidat. Namun, ajang itu justru lebih banyak menyoroti karakter mereka, khususnya Gibran Rakabuming Raka, pasangan calon presiden Prabowo Subianto. Beberapa hari setelah acara tersebut, para pengguna media sosial mengkritik penampilan politisi berusia 36 tahun itu karena dianggap kekanak-kanakan dan arogan.
Masih dipertanyakan apakah penampilan sang calon wakil presiden merusak posisi elektoral pasangan Prabowo-Gibran. Sebagian besar survei masih menempatkan mereka di atas kandidat lainnya, yaitu mantan Gubernur Jakarta Anies Baswedan dan pasangannya Muhaimin Iskandar, Ketua Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), serta mantan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dan pasangannya Mahmud MD, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan.
Pada pemilu-pemilu sebelumnya, posisi wakil presiden tidak pernah dianggap serius. Hanya sedikit sekali perhatian diberikan pada ajang debat yang menampilkan kandidat calon wakil presiden. Pada pemilu kali ini, minat masyarakat Indonesia terhadap para calon wakil presiden cukup besar, hampir terutama karena salah satu kandidatnya adalah Gibran, Wali Kota Surakarta, Jawa Tengah yang sekaligus putra sulung Presiden Joko “Jokowi” Widodo.
Jika dia dan Prabowo terpilih, kemudian terjadi sesuatu pada mantan jenderal berusia 72 tahun tersebut dalam lima tahun ke depan, Gibran bisa saja menjadi pemimpin negara.
Banyak pengamat, yang khusus memperhatikan Gibran, kecewa setelah melihat penampilannya dalam debat kedua untuk calon wakil presiden tersebut. Dia sama sekali tidak menganggap acara tersebut sebagai acara serius. Beberapa pertanyaan yang ia lontarkan tidak masuk akal. Komentarnya sinis dan menggunakan bahasa tubuh yang kurang pantas saat menghadapi dua lawannya yang lebih senior.
Tingkah laku aneh yang diperlihatkan Gibran di atas panggung debat mungkin mengundang tawa para pendukungnya, tetapi ia gagal membuat para pemilih yang masih ragu agar terkesan. Mereka yang belum menentukan pilihan, sebetulnya bisa mencari kejelasan lewat debat yang disiarkan televisi. Gibran dianggap tampil tanpa aura negarawan, sehingga menimbulkan keraguan mengenai kelayakannya menjadi pemimpin nasional.
Gibran, atau mungkin para pengikutnya, seharusnya sudah tahu sejak awal bahwa pertanyaan-pertanyaan yang tidak masuk akal tidak akan unggul dalam perdebatan. Usai debat calon wakil presiden yang pertama, Gibran sudah ditegur karena menggunakan kata-kata asing dan terminologi teknis yang tidak perlu ketika mengajukan pertanyaan kepada lawannya. Pekan lalu, ia kembali menyerang dengan strategi yang sama, bertanya kepada Muhaimin tentang litium ferro-phosphate, dan mengajukan pertanyaan soal “greenflation” pada Mahfud. Keduanya menganggap pertanyaan itu tidak relevan dan menolak menjawab.
Gibran pasti mendapat inspirasi dari ayahnya, Jokowi, yang menerapkan strategi serupa saat menghadapi Prabowo, yang menjadi rivalnya pada debat calon presiden tahun 2014 dan 2019. Dan Jokowi kemudian memenangkan pemilu. Mengingat kecilnya margin kemenangan Jokowi dalam kedua pemilu tersebut, keberhasilannya dalam debat bisa jadi sangat menentukan hasil pemilu.
Namun, unsur kebaruan dari jebakan retorika tersebut telah memudar di situasi saat ini. Dengan menggunakan trik murahan, Gibran telah merusak kredibilitas ajang debat pemilu. Padahal, ajang debat merupakan fitur penting dari pemilu demokratis dan membantu banyak pemilih mengambil keputusan memilih kandidat presiden.
Aturan debat yang ketat, yang hanya memberi waktu satu atau dua menit bagi peserta untuk menjawab pertanyaan, menyulitkan para kandidat untuk menguraikan isu-isu kebijakan yang kompleks. Karena itu, dengan format yang demikian, kita tidak bisa mengharapkan terlalu banyak bahasan substansial.
Namun, dengan latihan dan persiapan yang baik – dan jika mereka menganggap serius adu gagasan ini – para kandidat masih dapat memberikan kinerja yang cemerlang dan menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam waktu yang diberikan. Sedikit humor di sana sini, tidak ada salahnya, tapi tidak perlu ada sindiran yang akan merendahkan skala diskusi.
Ajang debat ini menawarkan kesempatan bagi para kandidat untuk menunjukkan kepada para pemilih keterampilan komunikasi mereka. Para kandidat menampakkan kemampuan menanggapi pertanyaan-pertanyaan sulit yang lalu menampilkan karakter mereka, apakah baik atau buruk.
Masih ada satu lagi debat pemilu resmi, pada 4 Februari, kali ini untuk para calon presiden. Mari berharap mereka akan menyajikan penampilkan yang baik dan jujur, demi kepentingan kita dan mereka.
Semoga kandidat yang terbaik akan menjadi pemenang debat – dan bahkan mungkin menjadi pemenang pemilu.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.