TheJakartaPost

Please Update your browser

Your browser is out of date, and may not be compatible with our website. A list of the most popular web browsers can be found below.
Just click on the icons to get to the download page.

Jakarta Post

Nilai sebuah netralitas

Sebutan “transaksional” yang digunakan Thomas Lembong untuk karakterisasi kebijakan luar negeri Indonesia memberikan kesan seolah-olah keputusan diambil secara ad hoc berdasarkan pertimbangan pragmatis. Padahal, kenyataannya, sifat netral atau nonblok merupakan sikap yang cukup berprinsip.

Editorial board (The Jakarta Post)
Jakarta
Fri, February 2, 2024

Share This Article

Change Size

Nilai sebuah netralitas President Joko “Jokowi“ Widodo (left) bows to Chinese President Xi Jinping during the Jakarta-Bandung high-speed rail commercial operations launch ceremony in Beijing on Oct. 17, 2023. (Antara/Desca Lidya Natalia)
Read in English
Indonesia Decides

Pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo, seperti pemerintahan sebelumnya, telah berpegang pada kebijakan luar negeri Indonesia yang netral, atau tidak berpihak, di tengah persaingan negara-negara besar. Negara-negara lain, secara umum, menerima sikap Indonesia tersebut.

Banyak pihak berpendapat bahwa doktrin kebijakan luar negeri “bebas dan aktif” telah memberikan manfaat yang baik bagi Indonesia, Kebijakan tersebut memungkinkan negara kepulauan ini mengembangkan perekonomiannya secara damai, tanpa ancaman militer yang serius.

Oleh karena itu, siapa pun yang mengusulkan untuk meninggalkan atau mengubah prinsip kebijakan luar negeri Indonesia saat ini, yang sudah dianut sejak Perang Dingin, harus punya argumen yang luar biasa kuat.

Selasa 30 Januari lalu, dalam acara yang diadakan oleh Bloomberg, tim kampanye calon presiden Anies Baswedan mempermasalahkan kebijakan luar negeri bebas dan aktif tersebut. Pakar ekonomi mereka menyarankan agar dalam urusan global, Indonesia beralih dari sikap netral.

Thomas Lembong mengatakan bahwa ide Anies adalah agar Jakarta menerapkan apa yang disebutnya sebagai “kebijakan berbasis nilai” di panggung internasional. Kebijakan tersebut lebih menekankan pada prinsip-prinsip daripada manfaat ekonomi.

Bagi sebagian orang, usulan dari mantan Menteri Perdagangan dan mantan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal tersebut mungkin akan mengejutkan. Mengingat, kekhawatiran terkait ekonomi pastinya menjadi perhatian utama Thomas saat ia menjabat dulu.

Namun pernyataannya, tentu saja, kini harus dilihat dari perannya sebagai pilar utama kampanye Anies. Peran itu hampir pasti mengharuskannya mencari-cari kesalahan pada kebijakan pemerintahan saat ini.

Bagaimana pun, preferensi Indonesia untuk menjadi negara nonblok sudah ada jauh sebelum pemerintahan Jokowi. Oleh karena itu, tim Anies dalam hal ini tidak menyerang pemerintahan pimpinan Jokowi, melainkan mempertanyakan doktrin politik luar negeri yang menjadi pedoman urusan luar negeri republik ini selama puluhan tahun.

Pada acara yang sama, Eddy Soeparno, juru bicara kandidat presiden Prabowo Subianto, mengatakan bahwa Indonesia harus melanjutkan kebijakan luar negerinya. Atas landasan itu, Indonesia tidak harus memihak Tiongkok maupun Amerika Serikat ketika kedua negara adidaya tersebut bersaing untuk mendapatkan pengaruh global.

Senada dengan itu, Juru Bicara Kampanye Pilpres Ganjar Pranowo, Heru Dewanto, juga menyampaikan bahwa kandidat presidennya menganut sikap bersahabat dengan semua orang.

Hal ini mungkin terdengar “plin-plan” bagi Thomas, tapi apa alternatifnya? Apakah kita harus berteman dengan beberapa orang dan bermusuhan dengan yang lain?

Sebutan “transaksional” yang digunakan Thomas untuk karakterisasi kebijakan luar negeri Indonesia memberikan kesan seolah-olah keputusan diambil secara ad hoc berdasarkan pertimbangan pragmatis. Padahal, kenyataan, sifat netral atau nonblok merupakan sikap yang cukup berprinsip.

Bisa dibilang kebijakan ini jauh lebih berprinsip dibandingkan kebijakan berbasis nilai. Alasannya, nilai-nilai berubah seiring berjalannya waktu dan berbeda dari satu negara dengan negara lain. Nilai-nilai apa yang harus menjadi dasar kebijakan luar negeri kita? Apa yang terjadi jika pemerintah menerapkan nilai-nilai yang berbeda-beda, tergantung negara yang mereka hadapi?

Standar ganda dalam hubungan internasional menjadi semakin jelas akhir-akhir ini. Lihat saja, kepentingan geopolitik mengemuka melalui pernyataan nilai-nilai.

Menghindari persaingan antara AS dengan Tiongkok, dan justru memperhatikan kepentingan kita sendiri karena kita berhubungan dengan kedua negara, bukan sekadar diplomasi ekonomi pragmatis. Hal ini merupakan tindakan yang bijaksana, karena kebijakan seperti ini lebih mengutamakan kerja sama internasional dibandingkan konflik. Kerja sama semacam ini memberikan contoh yang bisa diikuti negara-negara lain.

Sikap ini telah membuat kita dihormati di seluruh dunia.

Dalam hubungan ekonomi, kebijakan Indonesia memungkinkan pemerintah untuk melakukan perdagangan dan investasi dengan AS, Tiongkok atau negara lain. Ketika para pejabat tinggi menyebut Indonesia sebagai tujuan investasi saat mengunjungi produsen mobil Tesla dan BYD beberapa tahun terakhir, hal ini mencerminkan komponen “aktif” dan “bebas” dalam kebijakan luar negeri kita.

Dalam pengembangan industri hilir, terdapat smelter yang dibangun oleh perusahaan-perusahaan yang berbasis di AS dan Tiongkok. Bahkan, perusahaan-perusahaan dari kedua negara tersebut telah terlibat dalam proyek-proyek bersama.

Musim panas lalu, kita mengadakan latihan angkatan laut yang melibatkan, secara bersamaan, kapal angkatan laut dari Tiongkok, India, Jepang, Rusia, Amerika Serikat, dan negara-negara lain, termasuk Korea, yang adalah Korea Utara dan Korea Selatan. Jika hal tersebut tidak mencerminkan rasa hormat internasional, lalu apa lagi?

Secara tertutup, pemerintah mana pun di Jakarta akan menghadapi tekanan untuk memihak. Mungkin ada tekanan yang sifatnya pemerasan diplomatik, misalnya ancaman untuk menahan investasi atau menutup akses pasar kecuali Indonesia berjanji untuk setia kepada satu pihak.

Untuk menghadapi tekanan seperti itu, pejabat terpilih dari Indonesia harus sepenuhnya menjunjung tinggi nilai netralitas.

Your Opinion Matters

Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.

Enter at least 30 characters
0 / 30

Thank You

Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.