Semakin sulit menganggap kebijakan Washington di Timur Tengah sebagai upaya serius ketika mereka mempersenjatai, mendanai, dan membantu Israel dalam perang Gaza.
ulan Oktober 2023, perang antara Israel dan Hamas di Jalur Gaza dimulai. Saat ini, kondisi perang tidak hanya meningkat, tetapi juga meluas, menyeret negara-negara lain di dalam dan di luar Timur Tengah, langsung terlibat ke dalam konflik. Dalam kondisi geopolitik saat ini, tidak ada jaminan bahwa dampak meluasnya perang akan berhenti.
Baik Perang Dunia I maupun Perang Dunia II berawal dari konflik regional sebelum meluas. Kita sedang melihat bibit Perang Dunia III, dan kali ini yang diadu domba adalah negara-negara pemilik senjata nuklir. Ini akan sangat mengerikan. Seharusnya kita belajar dari dua perang besar terdahulu.
Minggu lalu, terjadi serangan udara Amerika Serikat terhadap sasaran di wilayah Suriah dan Irak. Serangan udara tersebut mungkin dipicu oleh serangan pesawat tak berawak dari pejuang yang didukung Irak, yang menewaskan tiga anggota militer AS dan melukai puluhan lainnya. Tetap saja, tindakan saling serang merupakan pelanggaran terhadap hak kedaulatan kedua negara tersebut. Berdasarkan retorika di Washington, Iran bisa menjadi target berikutnya. Alasannya karena Iran dinilai bersalah telah memberikan dukungan kepada kekuatan yang berperang melawan Israel dan pendukung Baratnya.
Sebelumnya, AS dan sekutunya melancarkan serangan di Yaman terhadap pemberontak Houthi. Serangan itu dilakukan sebagai pembalasan atas serangan pemberontak Houthi terhadap kapal Israel dan Barat yang berlayar melalui Laut Merah. Lebanon pun terseret ke dalam perang, karena Israel juga melancarkan serangan udara terhadap pasukan militer Hizbullah.
Meskipun ada klaim bahwa semu serangan sudah ditargetkan, tetapi terdapat korban sipil. Kita tidak bisa lagi menganggap korban sipil ini sebagai “efek samping”. Terlebih ketika terdapat 28.000 orang di Gaza, termasuk banyak perempuan dan anak-anak. Mereka terbunuh dalam operasi Israel yang dilancarkan sebagai pembalasan atas serangan pemberontak Hamas pada 7 Oktober 2023, yang memicu konflik ini sejak awal.
Kekerasan melahirkan kekerasan. Pemberontak Houthi, Hizbullah, dan pejuang Irak di Suriah adalah satu-satunya kekuatan di seluruh dunia yang mengangkat senjata untuk mencoba menghentikan genosida di Gaza.
Sebagian besar negara lain masih mengandalkan diplomasi, baik melalui Dewan Keamanan PBB, Majelis Umum PBB, atau melalui negosiasi bilateral dan multilateral.
Kota-kota besar di seluruh dunia, termasuk London dan Washington, dan bahkan Tel Aviv, telah menjadi lokasi lautan protes besar-besaran. Protes itu menyerukan pemerintah mereka menghentikan pembunuhan Israel terhadap warga Palestina yang tidak bersalah.
Namun kesabaran dunia ada batasnya. Apalagi dengan jumlah korban di Gaza, dan di Tepi Barat yang diduduki Israel, mendekati 30.000 jiwa. Israel bahkan mengabaikan keputusan Mahkamah Internasional yang dikeluarkan bulan lalu, yang memerintahkan negara itu mencegah genosida.
AS, yang merupakan pendukung utama negara Yahudi, jelas tidak berperan ketika mereka sebetulnya mampu melakukan sesuatu.
Meski minggu lalu Menteri Luar Negeri AS Anthony Blinken mondar mandir ke Timur Tengah, upaya diplomasinya dipastikan gagal. Kecuali jika Washington menggunakan kekuatannya untuk mengimbau Israel menghentikan segala pembunuhan. Semakin sulit menganggap kebijakan Washington di Timur Tengah sebagai upaya serius ketika mereka mempersenjatai, mendanai, dan membantu Israel dalam perang Gaza. Juga ketika mereka memimpin negara-negara lain untuk berhenti mendanai Badan Bantuan dan Dunia PBB (UN Relief and World Agency atau UNWRA) di Palestina.
Bahwa AS telah menjadi sasaran pembalasan oleh kelompok Houthi dan pejuang Irak di perbatasan Suriah bukanlah hal yang mengejutkan. Namun, serangan udara balasan AS, yang melanggar hukum internasional, hanya memperburuk keadaan. Serangan itu justru lebih terlihat sebagai upaya putus asa untuk pamer digdaya dari sebuah negara yang kekuatannya tidak lagi seperti dulu.
Perang di Timur Tengah, setidaknya hingga saat ini, tidak melibatkan negara-negara besar seperti Rusia dan Tiongkok. Namun, dampaknya tetap mempengaruhi konflik lain yang terkait dengan negara-negara tersebut. Bisa dilihat contoh paling pas adalah perang di Ukraina. Meski hanya melibatkan Rusia, ketegangannya berimbas hingga di Selat Taiwan karena sangkut paut Tiongkok. Kepentingan AS di belahan dunia lain, termasuk di kawasan Indo-Pasifik, menjadi rentan.
Menteri Pertahanan Inggris Grant Shapps bulan lalu memperingatkan tentang perang yang akan terjadi antara Tiongkok, Rusia, Korea Utara, dan Iran. Ia bahkan memprediksi bahwa kita beralih dari “dunia pasca perang ke dunia sebelum perang”.
Ide terjadinya Perang Dunia III bukanlah halusinasi.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.