Bahkan dengan target defisit fiskal yang hanya sebesar 2,3 persen, pembayaran bunga utang saja (tidak termasuk pembayaran pokok utang) diperkirakan akan mencapai 20 persen dari penerimaan pajak tahun ini.
ana Moneter Internasional (International Monetary Fund atau IMF) maupun Bank Dunia memang tidak menetapkan batasan umum atas defisit anggaran atau ambang batas utang pemerintah untuk pengelolaan fiskal yang bijaksana. Namun, ambang batas pengelolaan fiskal yang bijaksana di Indonesia, sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang Keuangan Negara tahun 2003, sebagian didasarkan pada saran dari kedua lembaga pembangunan multilateral tersebut.
Bagaimanapun, pada 2003, kondisi makroekonomi Indonesia masih dalam pengawasan khusus kedua organisasi tersebut.
Undang-undang tersebut menetapkan batas atas defisit fiskal sebesar 3 persen dan membatasi utang pemerintah sebesar 60 persen dari produk domestik bruto (PDB). Angka tersebut diputuskan dengan mempertimbangkan kondisi dan struktur perekonomian Indonesia, dinamika utang, tujuan kebijakan, dan prospek pertumbuhan untuk menghindari pinjaman berlebihan dan akumulasi utang.
Karena itu, kami mencemaskan gagasan yang sering disampaikan Prabowo Subianto dalam beberapa minggu terakhir. Ia menyebut bahwa pemerintahannya, jika ia dilantik sebagai presiden pada 20 Oktober, akan mempertimbangkan untuk menaikkan ambang batas defisit fiskal dan utang untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dan memperluas program jaring pengaman sosial pemerintah.
Usulan APBN tahun 2025 yang saat ini sedang disusun oleh Presiden Joko “Jokowi” Widodo dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, pada umumnya, masih akan mematuhi ambang batas, seperti yang ada di UU tahun 2003. Meski begitu, rencana Prabowo untuk meningkatkan defisit anggaran dan batas utang pemerintah secara signifikan pada rencana APBN tahun 2025 berpotensi mengguncang pasar.
Faktanya adalah bahwa beban utang pemerintah saat ini sudah berada di batas kritis untuk dihentikan, karena banyaknya pinjaman yang dilakukan pemerintah pada 2020-2022 untuk mengatasi dampak buruk pandemi COVID-19. Dampak pandemi begitu parah, sehingga perekonomian mengalami kontraksi sebesar 2,17 persen pada 2020 dan hanya tumbuh sebesar 3,7 persen pada 2021. Angka tersebut jauh lebih rendah dibandingkan rata-rata pertumbuhan sebesar 5 persen yang dipertahankan selama satu dekade terakhir.
Data resmi terbaru menunjukkan bahwa utang pemerintah mencapai jumlah kumulatif sebesar Rp8,5 kuadriliun ($548 miliar dolar Amerika) pada Januari 2024. Jumlah itu naik dari Rp5,2 kuadriliun pada awal 2020. Terjadi peningkatan rasio utang menjadi 39 persen dibandingkan PDB, dari tingkat sebelum pandemi, yaitu sebesar 30 persen pada 2019.
Total utang tersebut belum termasuk kewajiban tambahan yang ditanggung pemerintah untuk menjamin utang badan usaha milik negara (BUMN). Kewajiban ini perlu ditunaikan jika terjadi pembayaran atau gagal bayar suatu proyek, khususnya pada proyek infrastruktur.
Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia memperkirakan bahwa pembayaran bunga utang akan mencapai 20 persen dari total penerimaan pajak tahun ini. Artinya besarnya bunga menjadi dua kali lipat dari ambang batas yang direkomendasikan IMF, yaitu sebesar 10 persen.
Beban pembayaran utang pemerintah, yang terdiri dari pembayaran bunga dan pembayaran kembali utang, telah meningkat dari 25 persen dari total pendapatan pajak pada 2015. Angkanya tercatat menjadi sekitar 47,5 persen pada tahun 2022, di atas ambang batas yang direkomendasikan IMF sebesar 35 persen.
Presiden Jokowi kerap menyatakan bahwa defisit fiskal dikelola dengan baik sehingga tetap berada di bawah batas maksimal 3 persen.
Memang benar, utang Indonesia masih kurang dari 40 persen dari jumlah PDB dalam negeri. Lebih rendah jika dibandingkan dengan sekitar 60 persen yang dimiliki negara-negara besar ASEAN lainnya seperti Malaysia, Thailand, dan Filipina. Namun permasalahannya, penerimaan pajak Indonesia secara persentase terhadap PDB (rasio pajak) hanya berkisar 10 persen. Hal ini menyebabkan neraca primer anggaran negara selalu mengalami defisit.
Keseimbangan primer adalah selisih antara pendapatan yang diperoleh pemerintah dan jumlah yang dibelanjakan untuk penyediaan barang dan jasa publik. Dan jumlah ini tidak termasuk pembayaran utang.
Rasio pajak Malaysia adalah sebesar 12 persen, Thailand 16 persen, sedangkan Vietnam dan Filipina masing-masing 18 persen. Bandingkan dengan rasio pajak negara maju di OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development atau organisasi pembangunan dan kerja sama ekonomi) yang sebesar 34 persen.
Bahkan dengan target defisit fiskal yang hanya sebesar 2,3 persen, pembayaran bunga utang saja (tidak termasuk pembayaran pokok utang) diperkirakan akan mencapai 20 persen dari penerimaan pajak tahun ini.
Jika pagu defisit dinaikkan di atas 3 persen – dengan mengingat bahwa 20 persen anggaran negara dicadangkan untuk wajib belajar 12 tahun – berapa banyak ruang fiskal yang akan tersedia untuk pengeluaran lain? Jangan lupa bahwa masih ada pengeluaran untuk gaji pegawai pemerintah, kesehatan masyarakat, program bantuan sosial, APBD, dan belanja infrastruktur. Dari mana uangnya?
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.