TheJakartaPost

Please Update your browser

Your browser is out of date, and may not be compatible with our website. A list of the most popular web browsers can be found below.
Just click on the icons to get to the download page.

Jakarta Post

Bukan urusan militer

Kita harus menolak permintaan TNI untuk masuk kembali dalam dunia perdagangan. Jangan sampai kita biarkan premanisme merajalela di bidang komersial, serta jangan juga ketakutan akan intervensi militer mendikte jalur pembangunan Indonesia.

Editorial board (The Jakarta Post)
Jakarta
Mon, July 22, 2024 Published on Jul. 21, 2024 Published on 2024-07-21T18:48:29+07:00

Change text size

Gift Premium Articles
to Anyone

Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Bukan urusan militer Up in arms: Army personnel march during celebrations to mark the 78th anniversary of the Indonesian Military (TNI) in Banda Aceh, Aceh, on Oct. 5, 2023. (AFP/Chaideer Mahyuddin)
Read in English

J

angan salah duga. Sinyal yang diberikan Presiden Joko “Jokowi” Widodo untuk menyetujui rencana revisi Undang-Undang TNI tahun 2004 memang kontroversial di beberapa sisi. Rencana itu pun muncul di saat-saat terakhir kepemimpinannya, menjelang peralihan kekuasaan.

Kelompok masyarakat sipil, misalnya, telah menandai adanya ketentuan yang memungkinkan personel TNI aktif untuk memegang posisi apa pun di pemerintahan. Saat ini, para petinggi militer yang bertugas di posisi sipil dibatasi hanya menjabat di 10 lembaga negara atau kementerian dalam kabinet yang berbeda-beda.

Para kritikus juga menyoroti usulan perluasan wilayah operasional TNI hingga merambah aktivitas nonmiliter. Hal itu mencakup membantu pemerintah dalam memitigasi serangan siber dan memberantas peredaran obat-obatan terlarang. Perluasan wewenang itu berpotensi memperkuat kehadiran militer dalam kehidupan warga sipil.

Bahwa hal ini, dan perubahan-perubahan lain yang diusulkan, baru-baru ini telah menjadi wacana publik terkait pembuatan undang-undang, membuktikan adanya pengaruh militer, seperempat abad setelah reformasi dimulai. Perubahan yang diajukan termasuk usulan yang memungkinkan bahwa seseorang dapat menjabat sebagai Panglima TNI tanpa batas waktu, melalui keputusan presiden.

Namun, usulan yang paling berbahaya adalah adanya permintaan, yang tampak biasa saja, yaitu menghapuskan larangan bagi personel TNI untuk terlibat dalam kegiatan komersial. Larangan itu diatur dalam Pasal 39 UU TNI.

Baru-baru ini, dalam sebuah diskusi untuk menguji opini publik mengenai rencana revisi tersebut, seorang pakar hukum TNI menyarankan untuk mencabut larangan terlibat dalam bisnis bagi personel TNI. Ia beralasan, prajurit aktif tidak melakukan tindak pidana gara-gara punya pekerjaan paruh waktu, misalnya membantu pasangannya dalam menjalankan perusahaan, atau menjadi pengemudi taksi daring.

Viewpoint

Every Thursday

Whether you're looking to broaden your horizons or stay informed on the latest developments, "Viewpoint" is the perfect source for anyone seeking to engage with the issues that matter most.

By registering, you agree with The Jakarta Post's

Thank You

for signing up our newsletter!

Please check your email for your newsletter subscription.

View More Newsletter

Sekilas, permintaan tersebut tampak mendompleng keputusan kontroversial negara, yang baru-baru ini mengizinkan organisasi keagamaan mengelola konsesi pertambangan. Mungkin pihak militer juga sekadar ingin dapat bagian.

Namun dalam kasus ini, membiarkan TNI kembali menjalankan bisnisnya akan menafikan reformasi yang telah dilakukan selama 20 tahun. Reformasi telah mengupayakan kekuatan militer yang profesional, akuntabel, dan kuat.

Para ahli tampaknya sepakat bahwa keterlibatan militer dalam bisnis merupakan tindakan yang tidak profesional dan dapat membahayakan masyarakat.

Salah satu ciri khas undang-undang tahun 2004 adalah persyaratan agar TNI menyerahkan seluruh bisnis militer kepada negara pada 2009. Meskipun ada upaya bersama menyelidiki entitas bisnis yang dulunya dimiliki TNI, juga ada peraturan presiden yang dirancang demi mempercepat prosesnya, tetapi laporan Human Rights Watch 2010 menemukan bahwa tidak terjadi kemajuan signifikan dalam hal tersebut.

Pada 2019, sebuah studi akademis membuktikan bahwa TNI Angkatan Darat masih menjalankan bisnis koperasinya untuk mencari keuntungan, tanpa memperhatikan beban kenaikan anggaran pertahanan negara yang terus naik. Selain itu, para peneliti menyimpulkan bahwa setiap fase pemerintahan menganggap perlunya membiarkan keterlibatan militer demi menjaga stabilitas.

Studi ini menemukan bahwa para politisi kita telah melakukan dialog transaksional dengan pihak militer. Akibatnya, mereka meninggalkan warisan budaya bisnis di kalangan para pemimpin militer yang telah berkontribusi pada pembentukan kaum elit dan oligarki baru.

Jadi begini, presiden terpilih Prabowo Subianto adalah produk generasi militer baru yang kaya raya. Sebelum dia, ada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Di belakang Jokowi, berdiri sosok Luhut Pandjaitan yang berperan sebagai militer, rekan bisnis, diplomat, sekaligus politisi.

Namun, bahaya moral yang lebih besar terletak pada pembiaran atas melencengnya pihak militer yang berkembang tanpa pengawasan. Apakah itu di balik dalih menjaga keamanan dengan imbalan tertentu, mempengaruhi pebisnis melalui struktur komando regional, atau berkontribusi pada perdagangan ilegal.

Tahun-tahun terakhir ini, kita melihat betapa bisnis di ranah militer makin kacau balau. Terungkapnya jaringan perjudian daring ilegal yang dijalankan oleh “mereka yang memberontak” dan kasus suap yang melibatkan dana pensiun Asabri yang dikelola TNI merupakan indikasi adanya kesalahan pengelolaan bisnis yang bisa jadi dilakukan oleh militer, gara-gara pihak militer berusaha mencari keuntungan bisnis.

Kita harus menolak permintaan TNI. Kita tidak boleh membiarkan premanisme merajalela di ranah komersial. Jangan biarkan ketakutan akan campur tangan militer mendikte jalur pembangunan Indonesia.

Satu dekade pemerintahan sipil di bawah kepemimpinan Jokowi adalah periode yang terlalu singkat untuk mengendalikan upaya keras militer dan sipil. Dengan hadirnya pensiunan jenderal angkatan darat yang siap untuk sekali lagi mengambil alih kendali negara, kita perlu tetap waspada demi menghindari adanya pemberian konsesi lain yang tidak penting.

Your Opinion Matters

Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.

Enter at least 30 characters
0 / 30

Thank You

Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.

Share options

Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!

Change text size options

Customize your reading experience by adjusting the text size to small, medium, or large—find what’s most comfortable for you.

Gift Premium Articles
to Anyone

Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!

Continue in the app

Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.