Megawati tentu ingin membangun hubungan yang lebih baik dengan pemerintahan Prabowo yang akan datang.
olitik adalah seni berbagai kemungkinan. Namun, dalam ajang mencari gubernur Jakarta, partai-partai politik, baik dalam koalisi yang berkuasa maupun kubu oposisi, menganggap adalah mustahil untuk memasukkan nama mantan gubernur Anies Baswedan dalam kandidat pemilihan kepala daerah (pilkada) pada 27 November mendatang.
Fakta bahwa kita sekarang memiliki orang-orang yang bukan asli Jakarta menunjukkan seberapa jauh para pemimpin partai dapat melangkah dalam menciptakan posisi seia sekata yang bersatu melawan Anies. Kandidat di Jakarta sekarang, Ridwan Kamil, misalnya, adalah politikus Partai Golkar dan mantan gubernur Jawa Barat yang memperoleh sekitar 16 persen suara, dan Pramono Anung, penduduk asli Jawa Timur yang pada dasarnya adalah orang asing di ibu kota.
Alasan di baliknya sudah jelas.
Jelas bahwa koalisi yang berkuasa dan elit politik, termasuk Presiden Joko “Jokowi” Widodo yang akan pensiun serta presiden terpilih Prabowo Subianto, tidak menyukai prospek Anies mencalonkan diri untuk dipilih kembali sebagai gubernur.
Konsensusnya adalah bahwa mereka perlu memblokir Anies dengan cara apa pun yang diperlukan. Hal itu perlu untuk mencegah pemilihan presiden yang sengit pada 2029. Mantan gubernur Jakarta tersebut adalah salah satu kandidatnya.
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) mempertimbangkan gagasan untuk melakukan perlawanan serius terhadap koalisi yang berkuasa dengan memilih Anies untuk pilkada Jakarta. PDI-P juga mempertimbangkan untuk memasangkannya dengan aktor dan mantan wakil gubernur Banten, Rano Karno, yang juga populer di kalangan suku Betawi asli.
Pengaturan calon kandidat semacam itu tampak seperti taruhan yang pasti. Terutama setelah Mahkamah Konstitusi (MK) menurunkan ambang batas jumlah kursi di legislatif menjadi 20 persen bagi partai politik untuk dapat mencalonkan kandidat mereka dalam pilkada.
Prospek pencalonan Anies tampak serius setelah pekan lalu kandidat presiden yang kalah itu mengunjungi kantor pusat PDI-P. Ia bertemu sang ketua partai, Megawati Soekarnoputri.
Jika terwujud, pencalonan Anies oleh PDI-P akan menjadi perubahan haluan terakhir bagi kedua belah pihak. Akan menjadi deklarasi perang terhadap koalisi yang berkuasa.
Sayangnya, jalan itu masih terlalu jauh bagi PDI-P.
Meskipun mendapat dukungan penuh dari pengurus PDI-P Jakarta dan dukungan dari internal PDI-P, yang dipelopori oleh sekretaris jenderal partai Hasto Kristiyanto, pimpinan puncak partai menolak memilih Anies untuk pilkada Jakarta. Alih-alih, sang ketua mengajukan pilihan yang aman, yaitu Pramono.
Megawati dilaporkan mencemaskan catatan Anies saat pemilihan gubernur 2017. Ia disalahkan karena memicu sentimen keagamaan, yang menyebabkan gubernur Jakarta saat itu Basuki "Ahok" Tjahaja Purnama dijatuhi hukuman penjara.
Tentu saja, pertimbangan utama bagi PDI-P bukanlah untuk menenangkan Jokowi. Toh, hubungannya dengan Megawati telah mencapai titik nadir, setelah keputusan presiden yang akan pensiun itu untuk memgalahkan calon presiden Ganjar Pranowo menang pemilu tahun ini.
Namun, Megawati tentu ingin membangun hubungan yang lebih baik dengan pemerintahan Prabowo yang akan datang. Lagipula, pada tataran yang lebih personal, tidak pernah ada pertikaian antara Megawati dan Prabowo. Jadi, wajar saja jika pimpinan PDI-P itu cenderung bekerja sama dengan presiden terpilih.
Mencalonkan Pramono sebagai kandidat presiden juga bisa menjadi strategi lindung nilai bagi PDI-P.
Mengajukan Pramono sebagai calon presiden adalah taruhan yang aman terhadap posisi Jokowi yang tetap punya pengaruh setelah 20 Oktober. Hal itu terutama setelah tangan kanan Jokowi, Bahlil Lahadalia, mengambil alih Golkar. Langkah Bahlil dapat mengamankan posisi Jokowi dalam politik setelah ia lengser dari jabatannya pada Oktober tahun ini.
Pada akhirnya, menempatkan Ridwan dan Pramono sebagai calon dalam pilkada, bersama calon independen yang kurang dikenal, Dharma Pongrekun, adalah hal yang lebih baik daripada yang seharusnya, jika bukan karena putusan Mahkamah Konstitusi. Karena PDI-P tidak berhasil memenuhi syarat ambang batas 20 persen untuk dapat mengajukan calon sendiri, bisa saja partai itu tidak jadi ikut dalam kompetisi and hanya bisa jadi penonton. Lebih jauh, Jakarta mungkin akan mengalami pemilihan gubernur dengan satu kandidat melawan kotak kosong, yang akan menjadi penghinaan terhadap demokrasi.
Ajang pilkada Jakarta mungkin tidak ideal, tetapi setidaknya tetap kompetitif. Semoga pemenangnya adalah orang terbaik!
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.