Kabinet Prabowo yang besar dan bengkak bisa saja berfungsi menjaga keharmonisan politik, tetapi juga berisiko meningkatkan biaya operasional dan inefisiensi.
Setelah tiga kali kampanye presiden yang berlangsung selama lebih dari satu dekade, Prabowo Subianto akhirnya berhasil sampai di puncak kekuasaan.
Bagi banyak orang Indonesia, naiknya Prabowo ke kursi kepresidenan adalah momen politik yang signifikan. Pelantikan presiden menjadi akhir perjalanan yang panjang dan dramatis.
Setelah dikenal sebagai antek galak rezim otoriter pimpinan mantan presiden Soeharto, selama bertahun-tahun setelahnya, Prabowo bagai menemukan jati diri baru. Ia berubah, berevolusi menjadi politisi kawakan dengan barisan pengikut yang setia.
Kemenangannya dalam pemilihan umum Februari lalu bisa jadi didorong oleh dukungan diam-diam presiden yang baru pensiun, Joko “Jokowi” Widodo. Putra Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, sekarang menjadi wakil presiden Prabowo. Meski begitu, kesabaran, sumber daya yang besar, dan bakat orasi Prabowo dalam menyampaikan pidato populis adalah hal yang membuatnya tetap bertahan.
Saat menjabat sebagai presiden, Prabowo dihadapkan pada tugas berat untuk memimpin negara yang saat ini sedang berjibaku meneruskan warisan yang rumit dari pemerintahan sebelumnya.
Dikagumi secara luas atas gaya kepemimpinannya yang terjun langsung ke lapangan, Jokowi meninggalkan rekam jejak pertumbuhan ekonomi yang beragam. Rekam jejak itu berpadu dengan gaya pengawasan yang khas, yang sering dinilai sebagai campur tangan di segala lini.
Warisan ganda ini menghadirkan peluang sekaligus tantangan bagi Prabowo. Dan tantangan sekaligus peluang inilah yang terbuka saat ia memetakan arah baru bagi masa depan Indonesia.
Sementara perkembangan infrastruktur hasil tangan Jokowi mengubah sebagian besar wajah negara, pemerintahannya meninggalkan preseden politik yang akhirnya menodai masa jabatannya. Beberapa orang mungkin bertanya-tanya soal cara Prabowo akan menavigasi tatanan yang telah mengakar ini sambil mengukir catatan sejarahnya sendiri.
Oleh karena itu, para pengamat menyambut masa kepresidenan Prabowo dengan optimisme yang diselimuti kehati-hatian. Rencananya untuk pembangunan yang cepat dan swasembada, khususnya dalam pangan dan energi, patut dikagumi.
Namun, janjinya untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 8 persen merupakan target ambisius. Target sebesar itu niscaya membutuhkan sumber daya negara yang sangat besar.
Para ahli telah membeberkan bahwa mencapai tingkat pertumbuhan sebesar 8 persen dapat memaksa Prabowo membuat kebijakan yang tidak populer. Bisa saja keputusannya tidak populer bagi masyarakat, juga bagi koalisi yang telah dibentuknya. Kabinetnya yang besar dan membengkak mungkin dapat berfungsi untuk menjaga keharmonisan politik, tetapi juga berisiko meningkatkan biaya dan inefisiensi.
Setiap pemimpin baru berusaha untuk meninggalkan jejak. Dan Prabowo telah mengisyaratkan bahwa kepemimpinannya, dalam beberapa hal penting, mungkin berbeda dari kepemimpinan Jokowi. Namun, meski terdapat harapan akan terjadinya beberapa perubahan, ada kekhawatiran tentang sejauh mana Prabowo akan melangkah.
Gaya kepemimpinan Prabowo, ditempa oleh latar belakang militernya, membuat beberapa pihak cemas ia akan mengesampingkan norma-norma demokrasi. Ironi ini terbentuk dari ingatan beberapa orang atas perannya di bawah rezim Orde Baru Soeharto, juga sindiran yang ia keluarkan baru-baru ini, yang menyebut bahwa demokrasi merupakan sesuatu yang "berantakan" dan "melelahkan".
Bagaimana pun, seruan Prabowo untuk persatuan dan janjinya untuk menjadi pemimpin bagi semua orang Indonesia, dan bukan hanya mereka yang memilihnya, merupakan hal yang menggembirakan.
Ia telah berbicara panjang lebar tentang pemberantasan korupsi, peningkatan tata kelola, dan mengamankan posisi Indonesia sebagai pemimpin global. Retorikanya tentang swasembada pangan dan kemandirian energi mengisyaratkan keinginan untuk mengurangi ketergantungan Indonesia pada pasar luar negeri. Dan sikap itu selaras dengan rasa nasionalisme bangsa yang sedang tumbuh.
Namun, saat Prabowo melangkah maju dengan tujuan-tujuan ini, sangat penting baginya untuk bekerja tanpa mengubah prinsip-prinsip demokrasi yang mendasari banyak sistem politik negara.
Seperti yang pernah dikatakan oleh mantan presiden Amerika Serikat Woodrow Wilson, ketika pemerintah mulai menambahkan kualifikasi pada demokrasi, mereka berisiko mendistorsi maknanya. Keberhasilan Indonesia sebagai negara demokrasi terletak pada komitmennya terhadap integritas elektoral, kebebasan berbicara, dan akuntabilitas politik. Saat Prabowo memulai masa jabatannya sebagai presiden, nilai-nilai inilah yang diharapkan, oleh semua pihak, akan ia junjung tinggi.
Mari mendoakan yang terbaik bagi Prabowo dan pemerintahannya, saat mereka mengemban tanggung jawab besar untuk mengarahkan Indonesia menuju masa depan yang lebih sejahtera. Namun sambil mendoakannya, mari tetap waspada. Mari berharap bahwa pensiunan jenderal Angkatan Darat itu akan memerintah dengan bijaksana, sehingga bisa menyeimbangkan antara ambisi dengan integritas demokrasi.
Indonesia punya potensi besar. Untuk mewujudkannya, diperlukan kepemimpinan yang berani, namun tetap memperhatikan prinsip-prinsip yang mendefinisikan demokrasi sejati.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!