Indonesia harus menjaga hak kedaulatannya di Laut Natuna Utara dengan saksama dan memastikan bahwa segala pernyataan tidak disalahartikan sebagai pergeseran langkah, menjadi akomodatif bagi klaim ekspansif Tiongkok.
Selama akhir pekan, hal yang terlihat menyimpang dari kebijakan luar negeri Indonesia terkait Laut China Selatan telah memicu perdebatan sengit.
Diterbitkannya pernyataan bersama antara Indonesia dengan Tiongkok pada 9 November, bertepatan dengan kunjungan kenegaraan perdana Presiden Prabowo Subianto, telah membuat kalangan hukum dan diplomatik Indonesia heboh. Kehebohan bersumber pada pernyataan bahwa kedua belah pihak telah "mencapai [suatu] pemahaman bersama yang penting tentang upaya kerja sama pengembangan di area klaim yang tumpang tindih".
Bagian tersebut terlihat seperti mengakui, untuk pertama kalinya, bahwa Indonesia adalah pihak yang juga menggugat Laut China Selatan.
Meskipun pernyataan bersama tersebut seharusnya mendukung niat dua belah pihak untuk kerja sama maritim, Indonesia harus menjaga hak kedaulatannya di Laut Natuna Utara dengan saksama. Lebih jauh, harus dipastikan bahwa pernyataan tersebut tidak disalahartikan sebagai langkah pergeseran sikap Indonesia, menjadi lebih akomodatif terhadap klaim ekspansif Tiongkok.
Kementerian Luar Negeri Indonesia diminta mengklarifikasi bahwa kerja sama dengan Tiongkok tidak boleh ditafsirkan sebagai persetujuan diam-diam atas sembilan garis putus-putus yang terkenal itu. Kebijakan Tiongkok tersebut, yang menurut pengadilan arbitrase internasional tahun 2016, tidak memiliki dasar hukum internasional. Beijing menolak untuk menerima hal ini.
Kepatuhan terhadap prinsip-prinsip Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (United Nations Convention on the Law of the Sea atau UNCLOS) tahun 1982 dan semangat Declaration of conduct (DoC) tahun 2002 di Laut Cina Selatan patut diapresiasi. Namun, posisi Indonesia sebagai negara yang selama ini tidak pernah menggugat harus tetap ditegaskan.
Kesan pertama, terutama di ranah diplomasi internasional, memiliki bobot signifikan. Mari kita berasumsi bahwa Prabowo memahami hal ini ketika ia mengirim menteri luar negeri selaku diplomat tertingginya untuk mendaftarkan Indonesia ke blok BRICS. Hal itu menjadi keputusan kebijakan luar negeri pertamanya sebagai presiden.
Namun, audiens yang paling penting untuk pernyataan tentang hak kedaulatan seharusnya adalah para pembuat kebijakan dan publik di Indonesia, bukan kekuatan asing yang ingin mengubah bentuk norma-norma regional.
Ambiguitas dalam pernyataan bersama dari Tiongkok berisiko merusak pendekatan Indonesia yang sudah lama ada. Penggambaran Beijing atas pernyataan ini sebagai cerminan dari "konsensus politik" menimbulkan pertanyaan tentang cara komitmen Indonesia dipersepsikan di luar batas wilayahnya.
Para ahli hukum maritim telah mencatat adanya potensi bahwa pernyataan bersama ini akan ditafsirkan sebagai pengakuan implisit atas klaim yang tumpang tindih. Dan penafsiran tersebut dapat mempersulit hak Indonesia untuk mengeksploitasi zona ekonomi eksklusif (ZEE) dan menegakkan kedaulatan di kawasan tersebut.
Dapat dipahami bahwa Prabowo berupaya membina hubungan dengan Tiongkok di awal masa jabatannya, terutama setelah Donald Trump akan kembali menjadi presiden Amerika Serikat terkonfirmasi.
Namun, pemerintahan sebelumnya, termasuk pemerintahan pendahulu Prabowo, Joko "Jokowi" Widodo, talah mengelola hubungan yang rumit ini tanpa mengorbankan batas wilayah maritim Indonesia.
Prabowo mengizinkan pernyataan bersama dikeluarkan tanpa adendum. Pernyataan juga dikeluarkan hanya beberapa minggu setelah penjaga pantai Indonesia berulang kali mengusir kapal Tiongkok keluar dari perairan ZEE karena masuk tanpa izin. Hal itu bukanlah perkembangan yang menggembirakan.
Situasi ini, jika dibiarkan, dapat menyebabkan dampak regional dan internasional yang lebih signifikan. Pengakuan terselubung atas klaim Tiongkok ini sudah cukup untuk menekan negara-negara ASEAN lainnya agar melunakkan posisi mereka dalam sengketa teritorial yang telah berlangsung selama puluhan tahun.
Akan terjadi pertaruhan tinggi saat kelelahan negosiasi mulai muncul. Yang pada akhirnya menghambat kemajuan Kode Etik (code of conduct atau CoC) yang sulit dipahami di Laut China Selatan.
Keterlibatan Prabowo secara bersamaan dengan AS menambah lapisan lain pada kompleksitas strategis situasi tersebut.
Dimulainya masa jabatan presiden Joe Biden yang tidak lagi menjanjikan dan kondisi sementara tidak adanya pengaruh Trump hingga Januari dapat berarti bahwa dukungan AS akan terbatas. Dengan begitu ketergantungan pada keseimbangan geopolitik mungkin akan berbahaya.
Untuk menegakkan kredibilitas Indonesia, Prabowo harus transparan terkait ketentuan kerja sama Indonesia dengan Tiongkok. Mengklarifikasi secara spesifik "pemahaman bersama" yang dirujuk dalam pernyataan bersama tersebut sangat penting.
Jika Indonesia membiarkan ketidakjelasan ini terus berlanjut, akan semakin besar keraguan atas kemampuan negara ini menavigasi perairan geopolitik ini. Hal itu berpotensi membahayakan posisi Indonesia, baik secara regional maupun global.
Memang akan sulit berkelit dari kesan pertama yang tidak mengesankan. Namun bukan berarti tidak bisa dilakukan.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.