Prabowo sering mengatakan bahwa ia ingin pemerintahan yang bersih. Ia juga ingin memerangi korupsi. Namun faktanya, pemerintahannya tidak banyak melakukan upaya untuk membuktikan keinginan itu.
Tidak banyak yang antusias terhadap pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang baru terpilih. Pasalnya, tiga dari lima orang tersebut adalah wajah lama, termasuk sang ketua baru, Setyo Budiyanto. Ia adalah jenderal polisi bintang tiga yang pernah menjabat sebagai direktur investigasi KPK.
Harapan bahwa pimpinan baru akan memulihkan kredibilitas KPK, yang dalam beberapa tahun terakhir telah menjadi alat elit penguasa untuk membungkam oposisi, juga tampak tipis.
Para kandidat telah jadi sasaran kritik sejak awal mereka dipilih. Tim pemilih ditentukan langsung oleh mantan presiden Joko “Jokowi” Widodo. Ialah yang bertanggung jawab untuk melemahkan lembaga yang pernah dianggap sebagai badan antikorupsi paling efektif di Indonesia itu.
Cengkeraman Jokowi terhadap KPK terlihat jelas. Contohnya ada pada kegagalan komisi tersebut untuk memulai penyelidikan terhadap putra bungsu Jokowi, Kaesang Pangarep. Sang putra bungsu diduga menerima gratifikasi dalam bentuk perjalanan menggunakan jet pribadi bersama istri dan ajudannya ke Amerika Serikat, pada Agustus lalu.
KPK membebaskan Kaesang dari semua tuduhan. Alasannya, ia bukan pejabat publik dan tinggal bersama keluarganya sendiri, terpisah dari ayahnya.
Sementara itu, serangkaian pelanggaran berat kode etik lembaga antirasuah, yang melibatkan mantan ketua Firli Bahuri dan mantan wakil ketua Lili Pintauli Siregar, semakin merusak reputasi lembaga tersebut.
Tahun lalu, Firli dipaksa mengundurkan diri dari jabatannya setelah Kepolisian Daerah Metro Jaya menetapkannya sebagai tersangka atas dugaan pemerasan terhadap mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo. Ditangkap dan diadilinya Syahrul atas tuduhan menerima suap, merupakan hasil kerja KPK. Lili mengundurkan diri tepat sebelum ia menghadapi sidang disiplin atas tuduhan menerima gratifikasi.
Matinya KPK yang dulu menjadi mercusuar pemberantasan korupsi di negeri ini memang sudah diduga sejak lama.
Dalam pembahasan revisi UU KPK tahun 2019, DPR, dengan restu Jokowi, mencabut kewenangan KPK yang selama ini telah memberi lembaga itu keleluasaan untuk memberantas korupsi.
UU yang diamandemen tersebut memungkinkan KPK menghentikan penyidikan. Alhasil, KPK menjadi tidak ada bedanya dengan lembaga penegak hukum lainnya. UU yang baru tersebut juga mewajibkan seluruh pegawai KPK menjadi pegawai negeri sipil, sehingga secara efektif KPK kehilangan independensinya. KPK juga harus memperoleh surat perintah penyadapan dari dewan pengawas yang bertanggung jawab kepada presiden.
Syarat bahwa pegawai KPK harus menjadi pegawai negeri sipil mendorong pemecatan puluhan penyidik utama KPK yang saat itu tengah menangani kasus-kasus besar. Salah satu kasusnya adalah dugaan suap yang melibatkan politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Harun Masiku, yang masih buron.
KPK juga melakukan penyidikan terhadap kasus-kasus yang dinilai bermotif politik karena dilakukan di waktu yang tidak tepat. Langkah Partai NasDem yang mengusung pasangan calon presiden Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, menentang pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka yang diusung Jokowi, telah membuat mantan Menteri Pertanian Syahrul dipenjara karena kasus korupsi. Anies dan Muhaimin juga diperiksa secara terpisah terkait kasus korupsi.
Hasil akhir pemilihan pimpinan baru menunjukkan bahwa KPK tidak mungkin mengubah pola cengkeraman penguasa tersebut. Sebagai presiden, Prabowo tidak menunjukkan minat untuk melakukan sesuatu yang berbeda terkait KPK.
Prabowo sering mengatakan bahwa ia menginginkan pemerintahan yang bersih dan bahwa ia ingin memerangi korupsi. Namun faktanya, pemerintahannya tidak banyak melakukan upaya untuk membuktikan keinginannya itu. Kenyataan ini cukup mengkhawatirkan mengingat kabinetnya besar, dengan 109 menteri dan wakil menteri. Komitmennya yang rendah terhadap pemberantasan korupsi akan menjadi kelemahannya. Para pembantunya akan melihatnya sebagai pemimpin yang lemah, yang tidak akan mengambil tindakan terhadap praktik-praktik seperti itu.
Masyarakat, terutama yang memantau korupsi, telah lama berduka atas kematian KPK. Mungkin tidak akan ada bedanya jika pemerintah menutup saja komisi tersebut. Bagaimanapun, KPK adalah lembaga ad-hoc, yang dibentuk untuk memerangi korupsi pada awal era Reformasi sekitar dua dekade lalu.
Membubarkan KPK juga dapat membantu pemerintahan Prabowo menghemat anggaran, dan membiayai kabinetnya yang terlalu besar. Meski membubarkan KPK berarti mengorbankan upaya pemberantasan korupsi di negara ini.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.