Tekad Indonesia harus ditunjukkan dengan kerja keras dan komitmen kerja di lapangan. Indonesia bisa mulai dengan melindungi hutan di seluruh nusantara, dan tidak menebangnya demi proyek pertanian dan pertambangan.
KTT perubahan iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa lagi-lagi berlangsung lebih lama dari yang dijadwalkan. Dan, lagi-lagi, setelahnya hanya menghasilkan kesepakatan yang kurang memadai tentang bagaimana dunia, terutama negara-negara kaya, mendanai upaya untuk mengurangi dan beradaptasi dengan dampak perubahan iklim.
Hal lain yang juga masih sama saja pada KTT soal iklim COP29 tahun ini di Azerbaijan adalah bahwa Indonesia, sekali lagi, menunjukkan lemahnya kemauan terhadap penanganan krisis iklim.
Fokus Indonesia dalam COP29, yang diselenggarakan di Baku, ibu kota negara bagian yang mengandalkan ekonomi pada minyak, dapat disimpulkan dari pidato utama yang disampaikan oleh utusan presiden. Sang utusan, pengusaha Hashim Djojohadikusumo, mengatakan bahwa Indonesia fokus menciptakan lapangan kerja, memberantas kelaparan, dan mengurangi kemiskinan sambil menjaga lingkungan.
Hashim membanggakan rencana dalam beberapa tahun ke depan berupa 75 gigawatt energi terbarukan. Selain itu, Hashim juga bertahan membela proyek-proyek lumbung pangan di Indonesia. Menurutnya, proyek-proyek seperti itu, yang juga diusung oleh saudaranya, Presiden Prabowo Subianto, merupakan hak Indonesia untuk mendorong ketahanan pangan bagi rakyat.
Menempatkan masalah lingkungan hidup di titik paling ujung dalam daftar fokus menunjukkan kemauan pemerintah untuk mengerahkan segala upaya demi memajukan ekonomi terlebih dahulu. Hal itu pun terutama tampak sejak Presiden Prabowo menyampaikan di forum-forum internasional, selama lawatan perdananya ke luar negeri pekan lalu, tentang rencananya mencapai pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 8 persen guna memberantas kemiskinan dan kelaparan.
Tentu saja, tidak ada salahnya memerangi kemiskinan dan memacu pertumbuhan ekonomi. Hal itu terutama di Indonesia, yang rasionya menunjukkan bahwa lebih dari satu di antara 10 orang hidup di bawah garis kemiskinan. Namun, target memacu pertumbuhan ekonomi tidak boleh mengorbankan lingkungan hidup. Apalagi mengingat kita saat ini berada di era yang oleh Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres disebut sebagai "global boiling" atau pendidihan global.
Hingga saat ini, banyak langkah telah diambil untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Bahkan setelah melakukan semua langkah itu pun, para ilmuwan telah memproyeksikan bahwa kita akan melewati ambang batas kenaikan suhu global 1,5 derajat. Dampak kenaikan suhu tersebut tidak dapat dipulihkan dan berakibat fatal, menyembabkan kematian jutaan, bahkan miliaran orang, akibat badai dan kekeringan yang lebih parah, belum lagi dampak lain dari perubahan iklim.
Daripada menargetkan peningkatan drastis dalam produk domestik bruto (PDB), Indonesia harus bekerja serius untuk mencapai pertumbuhan berkelanjutan. PBB telah mendefiniskan pertumbuhan berkelanjutan sebagai pemenuhan kebutuhan saat ini, tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Pembangunan berkelanjutan semacam itu hanya dapat dicapai dengan mendorong kegiatan ekonomi rendah karbon.
Misalnya, daripada menebangi hutan asli Papua untuk lahan lumbung pangan, pemerintah harus memilih sebidang tanah yang sudah terdegradasi untuk membangun pertanian berskala besar. Lebih baik lagi, pemerintah harus mendorong produksi pangan berbahan dasar hasil bumi lokal, dan bukan sekadar mendorong produksi pangan skala besar. Menurut para ahli, langkah yang demikian berpotensi menyelesaikan masalah ketahanan pangan, problem iklim, dan masalah ekonomi lokal sekaligus.
Memang, upaya semacam itu butuh biaya. Namun, ini juga jadi alasan yang lebih kuat bagi Indonesia untuk menunjukkan komitmen kuat pada langkah mitigasi dan adaptasi krisis iklim, sehingga dapat menjadi pemimpin terkait isu-isu tersebut di konferensi atau dalam diskusi. Dengan menjadi pemimpin, Indonesia akan mampu berjuang tidak hanya untuk negeri sendiri, tetapi juga bagi negara-negara Global South lainnya, yang akan paling rentan terhadap dampak pemanasan global.
Tekad Indonesia harus ditunjukkan dengan kerja keras dan komitmen kerja di lapangan. Langkahnya bisa dimulai dengan melindungi hutan di seluruh nusantara, dan bukannya menebang pohonnya demi keperluan proyek pertanian, apalagi pertambangan. Ujian penting lainnya dari komitmen Indonesia untuk menyelamatkan planet ini adalah kecepatannya mewujudkan transisi ke energi terbarukan.
Isu iklim harus menjadi perspektif utama yang memandu kebijakan Indonesia di dalam dan luar negeri, terutama ketika berbicara tentang ekonomi. Bagaimana pun, apa gunanya pertumbuhan ekonomi yang tinggi jika planet yang kita tinggali selamanya menjadi tidak layak huni?
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.