Prabowo dapat memulai reformasi pertanian dengan memastikan bahwa tidak ada lagi petani Indonesia yang bekerja dengan peralatan dan benih serta pupuk yang buruk.
Sektor pertanian Indonesia perlu reformasi besar-besaran untuk mewujudkan impian Presiden Prabowo Subianto tentang swasembada pangan.
Prabowo dapat memulai reformasi pertanian dengan memastikan bahwa tidak ada lagi petani Indonesia yang bekerja dengan peralatan dan benih serta pupuk yang buruk. Seringkali, mereka membeli benih dan pupuk dengan dana seadanya yang dikumpulkan dari panen sebelumnya.
Penambahan hasil produksi hanya mungkin dilakukan jika petani kecil mampu membeli peralatan dan teknologi canggih. Teknologi pertanian yang canggih, misalnya, drone, mesin pemanen massal, serta benih dan pupuk berkualitas tinggi.
Meminta agar negara dapat menyediakan semua kebutuhan pertanian ini kemungkinan besar tidak akan membawa hasil signifikan. Alasannya, selama bertahun-tahun, upaya pengadaan pemerintah telah gagal akibat korupsi, birokrasi yang berbelit-belit, dan kesalahan dalam pendaftaran penerima.
Idealnya, petani kecil harus aktif berorganisasi. Mereka dapat membentuk koperasi sehingga mampu mencapai skala ekonomi tertentu, yang dapat membantu mereka secara mandiri membeli peralatan dan materi cocok tanam yang lebih canggih.
Namun, mencapai skala ekonomi tinggi hanya mungkin dicapai jika pertanian menjadi bisnis yang menguntungkan. Hal inilah yang harus diupayakan oleh pemerintah, agar terwujud. Bertani tidak seharusnya menjadi sesuatu yang dilakukan seseorang hanya karena tanggung jawab sosial, rasa nasionalisme, atau keterbatasan pilihan hidup.
Pemerintah dapat memulai jalan menuju sektor pertanian yang baik secara bisnis dengan menetapkan harga jual yang adil di tingkat petani. Harga harus menguntungkan petani, agar dapat dipastikan bahwa mereka terus menanam di setiap musim, serta mempertahankan skala produksi lahan mereka.
India, Tiongkok, dan Thailand, misalnya, telah lama memiliki sistem harga minimum. Dalam sistem tersebut, pemerintah bertindak sebagai jaring pengaman untuk mencegah harga jatuh hingga di bawah ambang batas, yang dapat mengancam mata pencaharian petani. Jika diperlukan, pemerintah dapat menawarkan pinjaman kepada petani dengan persyaratan yang menguntungkan, untuk membantu mereka meningkatkan skala usaha.
Di Indonesia, penetapan harga pangan cenderung menguntungkan konsumen akhir. Hal ini dilakukan, sebagian demi menahan inflasi. Sayangnya, harga yang menguntungkan konsumen sering kali merugikan petani kecil, dan hanya bisa dicapai dengan bantuan produk impor. Masalah diperburuk oleh adanya perantara dan spekulan. Selama bertahun-tahun, pemerintah tidak bisa memberantas mereka.
Ketidakpastian harga telah membuat banyak petani lokal putus asa. Karena alasan itu, beberapa di antara petani telah memutuskan untuk tidak lagi menanam tanaman pangan, dan menggantinya dengan tanaman komersial. Beberapa bahkan berhenti bertani sama sekali.
Tidak mengherankan jika semakin sedikit anak muda Indonesia yang ingin menjadi petani. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) pada akhir 2023, jumlah petani di negara ini telah turun 7,45 persen selama dekade terakhir, yaitu dari 31,7 juta menjadi 29,34 juta.
Selama kurun waktu tersebut, jika didata berdasarkan kelompok umur, hanya porsi petani berusia 45 tahun ke atas yang meningkat. Persentase petani di bawah usia tersebut turun signifikan. Pasalnya, orang-orang yang lebih muda memilih mencari peluang kerja yang lebih menguntungkan.
Penurunan produksi tanaman pangan utama telah mengiringi tren penurunan jumlah petani ini. Produksi jagung menurun dari 16,5 juta ton pada 2022 menjadi 14,8 juta ton pada 2023. Pada tahun-tahun yang sama, produksi padi turun dari 31,5 juta menjadi 31,1 juta ton.
Agar bergerak maju, pertanian Indonesia butuh lebih dari sekadar traktor dan benih gratis, juga tidak hanya pupuk bersubsidi.
Program Brigade Swasembada Pangan, yang baru-baru ini dibentuk dan dipimpin oleh kementerian, merupakan langkah ke arah yang benar. Mereka menjanjikan penghasilan Rp10 juta ($628,38 dolar Amerika) per bulan bagi kaum muda Indonesia, jika berhasil menanam tanaman pangan dengan peralatan yang disediakan pemerintah.
Namun, inisiatif dari atas seperti ini, juga perkebunan pangan yang dibanggakan secara luas, hanya dapat membawa kita maju sekadarnya. Apalagi jika para petani sendiri tidak diberi perhatian yang mereka perlukan.
Sektor pertanian harus cukup menarik dan menguntungkan, sehingga kita tidak perlu memohon-mohon agar ada yang mau bekerja di ladang.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.