Dengan lebih dari 13 persen dari 4 juta penjudi daring di Indonesia adalah warga negara berusia di bawah 20 tahun, urgensi untuk mengatur platform media sosial bukanlah sesuatu yang dibesar-besarkan.
Indonesia sedang berada di persimpangan jalan. Epidemi judi daring memperlihatkan konsekuensi dari platform digital yang punya kemampuan menghancurkan tanpa bisa dikendalikan.
Dengan lebih dari 13 persen dari 4 juta penjudi daring di Indonesia adalah warga negara berusia di bawah 20 tahun, urgensi untuk mengatur platform media sosial bukanlah sesuatu yang dibesar-besarkan. Hal itu dikemukakan oleh satuan tugas pemberantasan perjudian daring.
Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto harus mencontoh Australia. Baru-baru ini, negara tersebut mengambil langkah berani dengan melarang akses media sosial bagi mereka yang berusia di bawah 16 tahun. Risikonya besar. Dan sekarang saat yang tepat untuk mengambil tindakan.
Tak dapat dipungkiri, media sosial telah menjadi kekuatan yang memberi kebaikan di Indonesia. Media sosial telah memperkuat suara para aktivis, memberdayakan masyarakat sipil, dan berfungsi sebagai alat penting untuk menuntut pertanggungjawaban dari pihak penguasa.
Baik itu mengungkap korupsi atau memastikan keadilan dalam kasus-kasus yang belum tuntas, platform seperti Twitter, Instagram, dan TikTok telah terbukti sangat diperlukan di negara yang alam demokrasinya masih berkembang ini.
Namun, ekosistem tersebut, jika tidak diatur, diam-diam juga menaburkan benih-benih bahaya. Dan bahaya itu mengancam kalangan anak muda serta mereka yang mudah dipengaruhi.
Pada intinya, model bisnis media sosial berkembang pesat karena efek candu. Seorang mantan orang dalam di dalam salah satu platform, secara terbuka, mengakui bahwa platform seperti Facebook dirancang untuk mengeksploitasi kerentanan psikologis. Platform itu menciptakan "lingkaran validasi sosial yang sahut-sahutan". Pada akhirnya, hal itu membuat penggunanya kecanduan.
Sensasi dopamin yang didapat dari tombol suka (like), bagikan (share), juga dari komentar, tidak hanya bersifat manipulatif tetapi juga sangat adiktif. Dan hal itu terutama bagi anak-anak dan remaja. Organisasi Kesehatan Dunia telah menandai penggunaan media sosial yang penuh enigma sebagai masalah yang meningkat di kalangan remaja di seluruh dunia.
Bagi kaum muda Indonesia, konsekuensinya sangat nyata. Mulai dari tantangan kesehatan mental seperti kecemasan dan depresi, hingga paparan cyberbullying, serta paparan konten berbahaya seperti perjudian daring.
Angka-angka dalam data tersebut membongkar kisah yang mengerikan. Anak-anak berusia 10 tahun menjadi korban situs perjudian yang secara rancu ditampilkan sebagai permainan atau media interaksi sosial yang tidak berbahaya. Sementara masyarakat pedesaan, yang umumnya terlindungi dari kejahatan semacam itu, kini juga terjerat.
Krisis yang tak kunjung berakhir ini menuntut kerangka regulasi yang komprehensif. Hal itu mirip dengan yang telah dicapai Australia dengan RUU Usia Minimum untuk Berinteraksi dengan Media Sosial (Social Media Minimum Age Bill). Jika diberlakukan di Indonesia, regulasi serupa dapat mengatur batasan usia sekaligus hukuman yang lebih ketat bagi perusahaan teknologi yang gagal mematuhi aturan yang memastikan bahwa anak di bawah umur terlindungi dari cengkeraman kecanduan platform.
Para kritikus mungkin berpendapat bahwa tindakan tersebut melanggar kebebasan berbicara dan berekspresi. Padahal, nilai-nilai itulah yang telah diperjuangkan keras untuk dipertahankan oleh Indonesia. Namun, kebebasan tidak dapat hadir tanpa tanggung jawab.
Sama seperti acara televisi dan film yang tunduk pada peringkat, atau rating, media sosial – produk yang dikonsumsi oleh jutaan orang setiap hari – juga memerlukan pengawasan. Bukan berarti langkah ini membungkam perbedaan pendapat atau mengekang aktivisme. Justru langkah itu akan menciptakan lingkungan digital yang lebih aman. Kaum muda dapat berkembang tanpa menjadi korban algoritma yang berbahaya.
Presiden Prabowo telah berjanji untuk memprioritaskan pengembangan sumber daya manusia. Dan visi tersebut tidak dapat diwujudkan tanpa tindakan mengatasi kecanduan digital yang menjangkiti kaum muda Indonesia.
Kementerian Komunikasi dan Digital, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, serta Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, antara lain, harus memimpin upaya ini. Mereka harus menyusun kebijakan yang seimbang antara kebebasan dan perlindungan. Dalam hal kebijakan, yang harus dilakukan termasuk menetapkan batasan usia yang jelas atas platform, memastikan kontrol orang tua pada dunia digital, dan mewajibkan transparansi dalam algoritma platform.
Yang terpenting, jalan Indonesia ke depan haruslah jalan yang kolaboratif dan berwawasan budaya.
Mengambil contoh dari Australia, para pembuat kebijakan Indonesia harus melibatkan masyarakat sipil, pendidik, dan pakar teknologi untuk merancang kerangka regulasi yang mencerminkan nilai dan tantangan lokal. Jadi, yang dilakukan bukan meniru model asing secara keseluruhan, tetapi mengadopsi praktik terbaik dan menyesuaikannya dengan konteks unik Indonesia.
Perusahaan media sosial, yang selalu mendewakan keuntungan, tidak akan mengawasi diri mereka sendiri. Keputusannya ada di tangan pemerintah, termasuk pemerintah kita, untuk turun tangan dan memastikan bahwa platform ini melayani masyarakat, dan bukan sekadar mengeksploitasi warga negara.
Anak-anak Indonesia layak mendapatkan yang lebih baik. Merupakan tanggung jawab kolektif kita semua untuk melindungi mereka. Bagaimana pun, masa depan bangsa kita bergantung pada anak-anak tersebut.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.