Laut dan pesisir kita harus tetap terbuka untuk menjamin kelangsungan hidup masyarakat pesisir dan melindungi keanekaragaman hayati laut.
Pagar tanpa asal usul jelas di laut yang luas di Tangerang, Banten, telah memicu perdebatan sengit tentang masalah reklamasi lahan tanpa izin. Pagar tersebut menghambat akses nelayan ke laut
Kita tidak akan bisa menyebutkan harga wilayah perairan kita. Laut kita sangat berharga. Apalagi, ketika masih belum jelas siapa pemasang penghalang bambu sepanjang 30 kilometer di lepas pantai Tangerang tersebut, dan apa tujuannya.
Pagar tersebut berdiri sekitar 700 meter dari garis pantai. Pagar dibangun di zona yang ditetapkan sebagai fasilitas umum, misalnya untuk penangkapan ikan dan pengelolaan energi.
Sejauh ini, penyelidikan pemerintah menunjukkan bahwa pagar tersebut tidak punya izin kegiatan kesesuaian pemanfaatan ruang laut (KKPRL). Artinya, pagar itu ilegal. Menurut peraturan pemerintah pengganti undang-undang tahun 2022, KKPRL merupakan persyaratan dasar untuk mendapatkan izin usaha maritim.
Pagar tanpa izin itu dikhawatirkan dapat merusak habitat laut dan memengaruhi mata pencaharian lebih dari 4.000 nelayan di daerah tersebut.
Ombudsman Indonesia memperkirakan bahwa secara kolektif, nelayan harus menanggung antara Rp7,7 miliar (474.137 dolar Amerika) hingga Rp9 miliar per tahun hanya untuk biaya operasional. Dan para ahli mengatakan bahwa pagar itu dapat mengurangi pendapatan nelayan hingga puluhan miliar per tahun.
Kerugian nelayan sudah cukup memberi kita alasan untuk berpendapat bahwa laut dan pesisir kita harus tetap terbuka, untuk memastikan mata pencaharian masyarakat pesisir. Pagar liar juga harus ditiadakan demi melindungi keanekaragaman hayati laut.
Setidaknya 17 juta orang yang tinggal di sepanjang garis pantai Indonesia, yang panjangnya hampir 55.000 km, bergantung pada laut untuk mata pencaharian mereka. Jika pemerintah pusat di Jakarta tidak dapat mengatasi pagar bambu yang sangat panjang di Tangerang, halaman belakangnya sendiri, siapa yang sanggup membela jutaan masyarakat pesisir di seluruh negeri?
Sulit dipercaya bahwa pemasangan pagar liar yang begitu panjang bisa berlangsung lama, lolos dari pengawasan pihak berwenang.
Diyakini, pagar itu pertama kali diketahui publik pada Mei 2023. Saat itu, panjangnya baru setengah kilometer. Kemudian, Agustus tahun lalu, beberapa nelayan dilaporkan telah memberi tahu Dinas Kelautan dan Perikanan Banten tentang bangunan pagar itu. Panjangnya sudah 7 km. Masih belum jelas bagaimana pagar bisa mencapai panjang 30 km sejak itu.
Satu-satunya klaim yang menyatakan bertanggung jawab atas pembangunan pagar datang dari kelompok yang kredibilitasnya belum terbukti. Mereka menamakan diri Jaringan Rakyat Pantura. Kelompok itu mengatakan bahwa masyarakat setempat telah mendanai dan memasang pagar itu untuk mencegah erosi pantai lebih lanjut. Mereka juga mengatakan bahwa nelayan setempat telah menggunakan penghalang lepas pantai yang luas itu untuk membudidayakan udang dan memanen kerang.
Klaim itu menimbulkan keraguan luas, yang kemudian memicu pertanyaan tentang kemampuan jaringan tersebut mengumpulkan cukup dana untuk proyek pagar laut.
Ada laporan keluhan dari nelayan setempat, yang mengatakan pagar tersebut menghalangi akses mereka ke laut. Keluhan tersebut semakin meragukan kebenaran klaim bahwa pendirian pagar didukung oleh masyarakat.
Di media sosial, beredar spekulasi bahwa mungkin perusahaan swasta telah menyalahgunakan izin mereka untuk membangun penghalang tersebut. Pembangunan itu menjadi bagian dari proyek reklamasi yang tidak diperhatikan oleh pemerintah.
Reklamasi lahan merupakan topik yang sangat diperdebatkan. Meskipun dapat menyediakan ruang yang sangat dibutuhkan untuk memperluas kota, membangun perumahan baru, dan area komersial, secara permanen reklamasi mengubah sifat alami sumber daya pesisir. Karena itulah, reklamasi menimbulkan risiko serius terhadap lingkungan dan dapat merusak mata pencaharian mereka yang bergantung pada laut.
Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono baru-baru ini mengatakan dugaannya bahwa pagar tersebut merupakan bagian dari upaya "reklamasi alami" untuk memperluas lahan di sepanjang garis pantai Tangerang. Menurutnya, pagar tersebut dibangun untuk menjebak sedimen yang dibawa oleh gelombang hingga kemudian tercipta lahan baru.
Kini setelah TNI AL mulai membongkar pagar tersebut atas perintah Presiden Prabowo Subianto, pihak berwenang harus mencari tahu dalang sebenarnya di balik pagar ilegal tersebut. Harus jelas juga alasannya pendiriannya.
Tidak seorang pun boleh kebal hukum, terutama jika mereka telah membagi-bagi wilayah laut Indonesia secara sewenang-wenang.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.