Daripada menarik diri dari perjanjian tersebut, Indonesia seharusnya justru makin berperan dalam diskusi-diskusi formal.
Dunia kecewa, tetapi tidak terkejut, ketika Presiden Amerika Serikat Donald Trump, tepat setelah kembali ke Gedung Putih, mengumumkan penarikan negaranya dari Perjanjian Iklim Paris untuk kedua kalinya. Mundurnya Amerika Serikat akan merusak upaya global untuk mengurangi dampak krisis planet ini.
Namun, utusan khusus presiden bidang iklim dan energi Hashim Djojohadikusumo telah mengejutkan banyak orang karena menyarankan agar Indonesia mengikuti jejak Trump. Memang, alasan yang diajukan berbeda. Hashim, yang juga adik dari Presiden Prabowo Subianto, mempertanyakan alasan Indonesia harus mematuhi pakta iklim jika AS menolak untuk mematuhi perjanjian tersebut.
Ia kemudian mencatat "ketidakadilan" dari kesepakatan iklim tersebut. Indonesia, dengan emisi karbon per kapita tahunan sebesar 3 ton, telah dituntut untuk menutup pembangkit listrik tenaga batubara oleh negara-negara seperti AS. Padahal, AS mengeluarkan emisi yang jauh lebih tinggi tetapi komitmennya terhadap iklim lebih rendah.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bahlil Lahadalia juga mengatakan bahwa ia pun bingung terhadap tekanan untuk berkomitmen pada kesepakatan iklim, ketika AS, salah satu pemrakarsa utama perjanjian di dunia, menarik diri dari Perjanjian Paris.
Pernyataan semacam yang dikeluarkan Hashim dan Bahlil tersebut telah mengirimkan sinyal yang salah soal hilangnya kepercayaan pada Perjanjian Paris. Atau, bisa jadi pemerintah berniat untuk mengabaikan tanggung jawab Indonesia sebagai pihak yang terlibat dalam kesepakatan bersejarah tersebut. Hashim dan Bahlil dikenal berhubungan dekat dengan industri batu bara. Tetapi sebagai bagian dari pemerintah yang berkomitmen terhadap transisi energi menuju emisi nol bersih, mereka seharusnya sejak awal tidak mengeluarkan pernyataan semacam itu.
Kita tentu tidak ingin percaya pada retorika anti-sains Trump, yang membuatnya menarik diri dari perjanjian tersebut. Seperti yang diketahui, Perjanjian Paris menggarisbawahi dan memantau komitmen global untuk mengurangi dan melakukan adaptasi terkait krisis iklim.
Ya, kita harus mengakui bahwa secara umum, perjanjian dan negosiasi iklim global tidak adil terhadap negara-negara berkembang seperti Indonesia. Perundingan iklim yang panjang dan sering kali berlangsung kacau di Mesir dan Azerbaijan dalam dua tahun terakhir, misalnya, hanya menyepakati hasil kecil yang tidak terlalu membantu negara-negara berkembang, atau Global South, agar bertahan dari krisis.
Tetap saja, bukan berarti negara-negara seperti Indonesia boleh mundur dari Perjanjian Paris.
Menarik diri dari Perjanjian Paris dapat menyebabkan Indonesia kehilangan kredibilitasnya dalam wacana terkait iklim. Hal itu sudah dihadapi AS saat ini. Indonesia juga dapat kehilangan akses terhadap pendanaan untuk, antara lain, proyek pembangunan kembali wilayah yang rusak akibat bencana yang terjadi karena perubahan iklim. Bisa juga akses pendanaan dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan energi nasional Indonesia lewat sumber-sumber energi terbarukan. Langkah membangun pembangkit listrik dari sumber energi terbarukan, hingga 2060, akan menghabiskan anggaran negara sekitar 62 miliar dolar Amerika per tahun.
Berbeda dengan argumen Bahlil bahwa Indonesia masih perlu membakar batubara untuk memenuhi kebutuhan listriknya, seharusnya kita mulai mengurangi, atau menghilangkan, batubara dalam bauran energi kita. Batubara adalah salah satu bahan bakar fosil yang mengeluarkan gas rumah kaca, seperti metana dan karbondioksida, yang meningkatkan suhu rata-rata global.
Semakin panas planet bumi, semakin banyak pula kejadian akibat cuaca ekstrem di berbagai belahan dunia. Indonesia sendiri, pada tahun lalu, telah mengalami lebih dari 6.000 bencana terkait iklim. Tentunya, kita tidak ingin lebih banyak bencana terjadi di tahun-tahun mendatang. Kita juga tidak berharap bencana itu terjadi di dekat wilayah tempat kita tinggal.
Untuk saat ini, kita bisa bernapas lega setelah Kementerian Lingkungan Hidup mengatakan bahwa Indonesia telah diuntungkan dengan penandatanganan perjanjian iklim, termasuk Perjanjian Paris. Kementerian tersebut juga menegaskan bahwa Indonesia perlu menunjukkan komitmennya untuk mengatasi dampak lingkungan global.
Daripada menarik diri dari perjanjian tersebut, Indonesia harus meningkatkan perannya di forum-forum diskusi. Para pejabat dan diplomat harus mewujudkan visi Presiden Prabowo untuk menjadikan Indonesia sebagai pemimpin Global South, termasuk dalam negosiasi iklim. Indonesia dapat mencoba menghadapi tantangan pada konferensi iklim di Brasil pada akhir tahun ini, dengan memimpin pembicaraan tentang pendanaan iklim. Kita dapat menekankan bahwa negara-negara berkembang harus berkontribusi dalam pendanaan iklim.
Pernyataan kontroversial dari Hashim dan Bahlil hanya menegaskan ketidakkonsistenan antara janji negara dan kenyataan yang ada, dalam hal mempromosikan energi ramah lingkungan. Dengan mengundurkan diri dari kemajuan kecil, apa pun itu, yang telah dicapai dalam mitigasi dan adaptasi iklim, Indonesia akan dikenang sebagai pihak yang bertanggung jawab atas berbagai bencana dan kematian yang disebabkan oleh krisis iklim yang tak kunjung reda.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.