Kementerian Luar Negeri mengatakan bahwa ada 157 WNI di penjara luar negeri yang proses hukumnya masih berlangsung, karena mereka menghadapi hukuman mati. Dari jumlah itu, 111 karena perdagangan narkoba dan 46 karena pembunuhan.
Meskipun negara memiliki kewajiban konstitusional untuk menjaga kesejahteraan semua WNI di mana pun mereka tinggal, kita boleh saja mempertanyakan apakah mereka memperhatikan warga negara kita yang dipenjara di luar negeri.
Pertanyaan tersebut menjadi penting karena pemerintah sedang mempertimbangkan untuk mengatur mekanisme pemulangan narapidana secara bilateral dengan beberapa negara lain. Pengaturan ini diperlukan karena, pada dasarnya, pemerintah mengharapkan para WNI yang dipenjara itu menjalani hukuman mereka di tanah air.
Presiden Prabowo Subianto memulai wacana tentang pemulangan narapidana WNI ketika ia memutuskan memberi izin pulang bagi napi asing pengedar narkoba.
Salah satu dari mereka, seorang wanita Filipina, divonis hukuman mati. Sebelumnya, permohonan grasinya ditolak oleh pendahulu Prabowo, Joko “Jokowi” Widodo. Nyawanya telah diselamatkan sejak kembali ke negaranya, karena Filipina telah menghapus hukuman mati. Lima warga negara Australia yang dijatuhi hukuman penjara berdurasi panjang juga telah dipulangkan.
Di awal masa jabatannya sebagai presiden, Prabowo menggunakan hak prerogatifnya untuk menyetujui pemulangan narapidana tersebut. Ia menanggapi permintaan pribadi para mitranya dari Filipina dan Australia, dalam sebuah pertemuan di sela-sela konferensi tingkat tinggi di luar negeri. Kabinetnya kemudian memberi penjelasan hukum bahwa pemulangan tersebut dilakukan berdasarkan mekanisme pemindahan narapidana.
Hal itu memicu diskusi terkait kemungkinan pemerintah kita mencoba memulangkan warga negara Indonesia yang saat ini menjalani hukuman di penjara asing. Jawaban singkatnya adalah ya, tetapi hanya untuk tahanan-tahanan tertentu.
Ada ribuan WNI yang dipenjara di luar negeri. Jumlahnya terus bertambah seiring dengan meningkatnya jumlah warga Indonesia yang bepergian ke luar negeri, baik untuk bekerja maupun berlibur. Beberapa dari mereka tertangkap tangan berbuat kriminal dan dipenjara. Namun, upaya untuk memulangkan mereka semua akan membuat pemerintah kewalahan. Mengingat buruknya kondisi penjara di Indonesia yang penuh sesak, banyak dari mereka mungkin lebih baik berada di tempat mereka saat ini untuk menjalani hukuman.
Pemulangan WNI yang dipenjara melalui mekanisme pemindahan tahanan harus dilakukan berdasarkan penilaian kasus per kasus. Sayangnya, dua kasus yang mengemuka dalam wacana saat ini, Hambali dan Reynhard Sinaga, bukanlah contoh yang menarik. Jika memang ada napi WNI yang boleh pulang, mereka seharusnya menjadi pilihan terakhir.
Hambali adalah seorang buronan yang melarikan diri dari Indonesia setelah pengeboman Bali pada 2002. Ia ditangkap di Thailand, yang kemudian diserahkan oleh pemerintah Thailand kepada pemerintah Amerika Serikat. Yang terakhir ini mengirimnya ke penjara Guantanamo, tahanan khusus tersangka teroris. Hambali tidak pernah diadili di pengadilan AS. Meski begitu, jika ia diadili di pengadilan Indonesia, kemungkinan besar ia akan dijatuhi hukuman mati, seperti tiga orang yang dihukum karena kasus bom Bali.
Kasus Reynhard muncul baru-baru ini, setelah ada laporan bahwa ia telah menjadi sasaran tindak kekerasan di penjara Inggris. Dia menjalani hukuman seumur hidup setelah pengadilan memutuskan dia bersalah atas 159 kasus pelanggaran seksual. Kejahatannya termasuk memperkosa 136 pria muda antara tahun 2015 dan 2017. Bukan hal yang aneh bagi pemerkosa yang dihukum jika mereka lalu menghadapi kekerasan di dalam penjara. Di banyak negara, kekerasan yang terjadi dilihat sebagai semacam hukum karma. Membawa pulang Reinhard tidak akan serta-merta menjamin keselamatannya.
Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra mengatakan bahwa kantornya masih menghitung jumlah warga negara Indonesia yang mendekam di penjara-penjara asing. Tetapi sebagian besar dari mereka kemungkinan berada di Malaysia dan Arab Saudi. Di dua negara itu, terdapat banyak pekerja migran Indonesia, baik yang melengkapi dokumen maupun tidak.
Kementerian Luar Negeri mengatakan bahwa ada 157 warga negara Indonesia yang proses hukumnya masih berlangsung karena mereka menghadapi hukuman mati. Dari angka tersebut, 111 dihukum karena perdagangan narkoba, sisanya karena kasus pembunuhan. Kedutaan besar Indonesia bekerja keras untuk memastikan bahwa mereka mendapatkan bantuan pendampingan ahli hukum untuk menghindari hukuman mati.
Jika WNI yang dijatuhi hukuman mati menjadi target pengaturan pemulangan tahanan, maka akan lebih baik jika hukuman mati di Indonesia dihapuskan terlebih dahulu. Karena ketentuan perjanjian biasanya menetapkan bahwa negara asal harus memastikan para narapidana tetap menjalani hukuman yang dijatuhkan oleh pengadilan di negara asing.
Menurut kami, ada alasan kuat untuk memulangkan WNI yang tidak menjalani proses hukum yang semestinya. Bisa juga yang dipulangkan adalah mereka yang terlibat kasus-kasus terkait kesalahan peradilan. Atau mereka yang dipenjara karena sistem peradilan dan hukum tidak punya kredibilitas untuk dapat bersikap adil.
Nah, mereka lebih layak diselamatkan. Negara harus melakukan segala upaya untuk memulangkan mereka.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.