Perkembangan terkini seputar perintah ekstradisi untuk pengusaha yang buron, Paulus Tannos, telah menarik perhatian terkait kemanjuran Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Singapura.
Tannos, yang terlibat dalam skandal korupsi besar-besaran dalam proyek kartu tanda pengenal elektronik (e-KTP) Indonesia, saat ini sedang menggugat rencana ekstradisinya dari Singapura.
Situasi ini menimbulkan pertanyaan kritis tentang potensi perjanjian tersebut, serta komitmen kedua negara untuk memerangi korupsi.
Menteri Hukum dan Dalam Negeri Singapura Kasiviswanathan Shanmugam telah menyatakan bahwa negaranya sedang memproses permintaan ekstradisi Indonesia untuk Tannos. Ia berkomitmen untuk mempercepat prosesnya.
Namun, fakta bahwa Tannos mampu mengajukan gugatan terkait ekstradisi tersebut menimbulkan kekhawatiran adanya potensi celah dalam perjanjian. Hal itu dapat dimanfaatkan oleh para buron.
Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Singapura mulai berlaku pada Maret 2024. Perjanjian itu dianggap sebagai tonggak penting dalam hubungan bilateral dua negara.
Perjanjian ekstradisi diharapkan dapat meningkatkan kerja sama dalam memerangi kejahatan transnasional, khususnya korupsi dan pencucian uang. Perjanjian tersebut memuat ketentuan tentang ekstradisi individu yang terlibat dalam 31 jenis tindak pidana, termasuk korupsi, dengan efek retroaktif selama 18 tahun.
Meskipun ketentuan-ketentuan tersebut sudah kuat, kasus Tannos mengungkap potensi kerentanan dalam penerapan Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Singapura tersebut.
Tannos, yang telah tinggal di Singapura sejak 2017 dan memiliki izin tinggal tetap di sana, ditangkap oleh Biro Investigasi Praktik Korupsi Singapura pada Januari. Penangkapan dilakukan setelah ada permintaan dari Indonesia. Ia dituduh berkolusi dengan anggota DPR dan pejabat untuk mendapatkan kontrak bagi perusahaannya, dengan harga yang terlalu tinggi, Hal itu menyebabkan kerugian finansial yang signifikan bagi Indonesia.
Meskipun otoritas Singapura telah menyatakan komitmen mereka untuk melakukan ekstradisi, proses hukum telah diperpanjang karena Tannos mengajukan keberatan. Situasi ini menggarisbawahi tantangan yang melekat dalam proses ekstradisi, bahkan di bawah perjanjian yang dirancang untuk memfasilitasi keadilan secara cepat.
Kasus Tannos juga menimbulkan kekhawatiran tentang potensi buronan akan mengeksploitasi jalur hukum demi menunda atau menghindari ekstradisi.
Kasus Tannos menjadi uji coba bagi efektivitas Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Singapura. Jika Tannos berhasil mengelak dari ekstradisi, hal itu dapat menjadi preseden yang mengkhawatirkan. Langkahnya akan memberi sinyal pada buronan lain bahwa perjanjian tersebut dapat dihindari. Seandainya Tannos lolos, rusaklah tujuan perjanjian yang dimaksud, sekaligus melemahkan upaya kedua negara untuk memerangi korupsi.
Lebih jauh, kasus ini menyoroti pentingnya kemauan politik dan kerja sama antarnegara dalam menegakkan perjanjian ekstradisi. Kerangka hukum memang penting. Namun, efektivitasnya sangat bergantung pada komitmen pihak-pihak yang terlibat untuk menegakkan semangat perjanjian tersebut.
Setiap persepsi yang mencerminkan keengganan atau ketidakkonsistenan dalam menegakkan perjanjian tersebut, dapat mengikis kepercayaan publik terhadap komitmen pemerintah untuk pemberantasan korupsi.
Di masa lalu, Indonesia telah menghadapi kendala menangkap buron, dengan para buronan yang mencari perlindungan di negara-negara tanpa perjanjian ekstradisi. Hal itu sangat menghambat upaya antikorupsi. Perjanjian dengan Singapura diharapkan dapat menutup celah tersebut. Sayangnya, situasi saat ini menunjukkan bahwa masih banyak yang perlu dilakukan untuk memastikan efektivitas perjanjian ekstradisi.
Mengingat perkembangan ini, pemerintah Indonesia harus segera meninjau kembali ketentuan perjanjian ekstradisi. Pemerintah harus mengatasi segala kelemahan yang dapat dimanfaatkan oleh para buronan.
Dalam prosesnya, harus diadakan kajian menyeluruh terhadap proses hukum dan tenggat waktu terkait permintaan ekstradisi, untuk mencegah penundaan yang tidak semestinya.
Selain itu, Indonesia harus memperkuat kerangka hukum dan investigasi domestiknya. Hal itu perlu dilakukan untuk memastikan bahwa permintaan ekstradisi didukung oleh bukti yang komprehensif dan kuat. Pendekatan ini akan meminimalkan kemungkinan para buronan berhasil melawan ekstradisi atas dasar prosedural atau pembuktian.
Sangat penting bagi Singapura untuk menegakkan komitmennya terhadap perjanjian tersebut. Hal itu akan menjaga reputasi internasionalnya sebagai negara yang tidak menoleransi korupsi. Meskipun proses hukum sangat penting, proses hukum tidak boleh dimanipulasi untuk melindungi individu dari jerat hukum atas kejahatan serius.
Kasus Tannos juga menjadi pengingat akan tantangan yang lebih luas dalam memerangi korupsi transnasional. Kasus ini menuntut perhatian akan perlunya kolaborasi berkelanjutan serta rasa saling percaya antara negara-negara, untuk memastikan bahwa instrumen hukum seperti perjanjian ekstradisi berfungsi secara efektif.
Tindakan Indonesia dan Singapura dalam menangani kasus yang rumit ini akan diawasi ketat oleh masyarakat internasional.
Keberhasilan ekstradisi akan memperkuat pesan bahwa tidak ada tempat yang aman bagi para koruptor. Sebaliknya, kegagalan untuk menegakkan perjanjian secara efektif dapat membuat buronan lain semakin berani, sehingga melemahkan inisiatif antikorupsi yang dicanangkan di kawasan.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.