Mengirim kucing liar ke salah satu pulau di Kepulauan Seribu adalah cara jitu untuk menghancurkan kehidupan para kucing tersebut, terutama jika populasi manusia di sana terlalu sedikit.
Hidup kucing liar sangatlah menentang bahaya. Tanpa manusia pemilik mereka, kucing-kucing itu akan hidup di jalanan, mengais makanan di tempat sampah, dan berkelahi dengan kucing lain, bertarung dengan hewan lain, dan terkadang harus melawan manusia. “Bahaya” adalah nama tengah mereka, seandainya mereka terlahir punya marga.
Dan kini, kucing-kucing Jakarta menghadapi bahaya tambahan, mungkin bisa disebut juga sebagai ancaman eksistensial. Pasalnya, Gubernur Pramono Anung berencana mengendalikan populasi kucing di kota ini.
Baru sebulan sejak pelantikannya, Pramono telah memenangkan penghargaan dari Museum Rekor Indonesia (MURI) karena mengebiri lebih dari 1.000 kucing liar. Targetnya tahun ini adalah membuat 20.000 kucing jantan jadi steril.
Gubernur tidak berhenti di situ. Ia mengajukan ide mengumpulkan semua kucing jalanan di Jakarta dan mendeportasi mereka ke salah satu pulau kecil di Kabupaten Kepulauan Seribu di Teluk Jakarta. Wilayah Kepulauan Seribu juga berada di bawah kewenangannya.
Ini bukan ide baru. Pramono mungkin terinspirasi Aoshima, sebuah pulau khusus kucing di prefektur Ehime, Jepang. Dulu, kucing-kucing dibawa ke pulau itu untuk membantu memerangi tikus di desa nelayan kecil di sana. Kucing-kucing mendapat imbalan sebagian dari hasil tangkapan nelayan.
Pramono bahkan berpikir untuk mengubah pulau kucing versinya, menjadi objek wisata.
Namun, jika ada pelajaran yang dapat ditarik dari Aoshima, Pramono mungkin perlu memikirkan ulang rencananya. Baru-baru ini, sebuah artikel di The Guardian melaporkan bahwa hari-hari Aoshima sebagai tujuan wisata, yaitu dunia kucing, sudah nyaris berakhir. Penyebabnya, industri sarden lokal mulai gulung tikar dan populasi manusia di pulau itu menurun. Dari sekitar 200 kucing liar yang terdata satu dekade lalu, kini jumlahnya telah menyusut menjadi 80. Dan semua kucing itu berusia lebih dari tujuh tahun. Menurut artikel tersebut, sepertiga dari mereka berjuang melawan penyakit, termasuk kebutaan dan penyakit pernapasan, yang disebabkan oleh perkawinan sedarah selama puluhan tahun.
Mengirim kucing liar ke satu pulau di Kabupaten Kepulauan Seribu adalah cara jitu untuk menghancurkan kehidupan mereka, terutama jika populasi manusia di sana terlalu sedikit. Dengan lebih sedikit sampah manusia untuk dikais, para kucing akan bergantung pada dukungan pemerintah daerah atau pengunjung, itu pun jika rencana pariwisata berhasil. Ide menjadikan kucing sebagai tontonan penarik wisatawan bertentangan dengan konsep kucing liar, yang terlahir dengan naluri bertahan hidup yang kuat di alam bebas.
Ada alasan kuat untuk mengendalikan populasi kucing di Jakarta. Seorang pejabat pemerintahan kota memperkirakan ada 1,5 juta kucing liar di Jakarta. Jumlah itu dapat bertambah dengan cepat, karena kucing melahirkan tiga atau empat anak kucing sekaligus. Hanya beberapa dari anak-anak kucing ini yang akan diadopsi manusia. Sementara, yang tidak diadopsi harus berkeliaran di jalan dengan harapan dapat bertahan hidup. Tingkat kesuburan kucing liar cukup tinggi. Jika kucing liar dibiarkan, Jakarta pasti akan mengalami krisis.
Beberapa organisasi swasta menawarkan layanan pengebirian. Tetapi, banyak orang enggan membawa kucing atau anak kucing mereka ke tempat-tempat seperti itu, karena cemas jika layanan kebiri ternyata hanya penipuan. Mereka malah lalu membuang kucing-kucing itu di jalanan atau pasar basah, tempat para kucing punya peluang lebih baik untuk tetap hidup. Hanya kucing jalanan yang paling tangguh yang akhirnya bisa selamat.
Mengebiri kucing dan mengirim mereka ke pulau tertentu rupanya merupakan bagian dari kampanye Pramono, menjelang pemilihan gubernur bulan November lalu. Karena hampir tidak ada yang ingat rencana yang ia usung dalam kampanyenya itu, rasanya bukan karena ide itu ia terpilih jadi gubernur. Ia berharap, dengan mengurangi jumlah kucing di Jakarta, kucing-kucing lainnya akan memiliki kehidupan yang lebih baik. Ia mengklaim ini adalah cara paling manusiawi untuk mengatasi masalah kucing liar di Jakarta.
Kucing jalanan mungkin tidak setuju saran Pramono itu. Sayangnya, suara meong mereka tidak akan didengar, meski ada satu kucing dari kalangan mereka, bernama Bobby Kertanegara, yang menjadi Kucing Istana. Sebagai kucing milik Presiden Prabowo Subianto, Bobby tinggal dalam kemewahan Istana Kepresidenan. Konon, Bobby diadopsi dari jalanan.
Karena kucing disebut-sebut punya sembilan nyawa, mari kita berharap mereka bisa menghemat nyawa mereka itu untuk melawan atau melarikan diri dari rencana Pramono.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.